Kamis, 30 April 2015

Zaky Mubarak 1113046000118 (Cerpen UTS)



Katastrofa Balada Wanita Bisu
Zaky Mubarak
  Dan pada akhirnya, pasca kejadian perang tempo hari lalu yang hampir menghancurkan seluruh daerah kekuasaannya. Kini Raja Cotys telah menghapus peraturan yang menyatakan bahwa setiap bayi perempuan yang lahir harus segera dibunuh. Itu semua akibat pengorbanan Astiti dan Astuti, dua wanita kembar yang sangat berambisius untuk menghapuskan diskriminasi gender yang ada di kota kelahirannya. Mereka berkorban untuk memberikan secercah harapan kehidupan kepada setiap bayi perempuan yang lahir, meskipun untuk membuktikannya mereka harus rela untuk berkorban dan menghancurkan diri mereka sendiri. Sebuah katastrofa pengorbanan yang begitu indah dan tulus, atas perjuangan mereka berdua Raja Cotys mendirikan dua patung wanita kembar di depan gerbang kampung pacitan sebagai tanda apresiasi terhadap perjuangan dan gugurnya dua panglima perang yang hebat dalam medan perang.
Kala sore itu, senja yang biasanya mematung di barat cakrawala sama sekali tidak menampakkan keindahannya, yang terlihat hanyalah arak-arakan awan yang mulai berganti warna dari biru laut menjadi oranye keemasan. Mungkin mereka juga turut berduka atas hilangnya dua pahlawan wanita kembar yang selama ini mati-matian membela tanah kelahirannya. Kicauan burung yang saling bersahutan dan geraknya angin yang tak bersuara menambah kesunyian Kampung Pacitan malam itu yang tak seperti biasanya. Akan tetapi meskipun langit sore tak menampakkan senjanya, langit malam dengan begitu siap menujukkan betapa agungnya ciptaan tuhan yang tiada duanya ini. Ratusan bintang merentang mulai menghiasi hamparan langit dibawah cakrawala yang begitu besar, dengan ditemani bulan sabit yang menyinari alam semesta penuh dengan kegelapan ini. Dua pahlawan wanita kembar ini layaknya seperti sosok kartini kecil, yang selama ini membawa banyak perubahan untuk tempat tinggalnya. Ia berusaha menyinari cahaya kegelapan meskipun harus dengan cara membakar dirinya sendiri. Sebuah katastrofa pengorbanan yang indah dan begitu tulus. Meskipun kini mereka berdua tidak akan pernah dirasakan lagi sosok keberadaanya di Kampung Pacitan, akan tetapi para warga akan selalu mengingat jasa mereka berdua. Bulan sabit kala itu seraya tersenyum, karena ia begitu yakin bahwa Astiti dan Astuti sedang tersenyum lebar melihat kehidupan Kampung Pacitan yang kini mulai kembali menjadi damai dan sejahtera kembali. Sedangkan keesokan harinya, guyuran hujan yang deras membasahi tanah-tanah kering Kampung Pacitan yang selama ini begitu tandus akibat musim panceklik yang berkepanjangan. Mungkin ini adalah salah satu berkah yang diberikan oleh sang tuhan, karna sang raja mengetahui bahwa peraturan tersebut salah dan tidak berprikemanusian. Dalam turunnya hujan semua warga berharap, semoga kedua pahlawan wanita kembar mereka yang gugur dalam medan perang diberi tempat peristirahatan yang tenang.
                                                           *****
“Argggghhhhhhh... Pufttt.. Pufftt aku gak kuat lagi mbook.” rintih Darmiyati yang tengah menangis menahan rasa sakit seperti tubuhnya dihujami batu meteor berkali-kali. Tepat di depannya mbok Ngatimin dengan begitu sabarnya menuntun Darmiyati agar bisa mengatur nafas dengan baik.
“ayoo kamu pasti bisa ti, tarik 1...2..3 iyaa dorong” ujar si mbok memberikan semangat. Sementara itu di sudut bagian dapur, terlihat seorang pria yang begitu cemas menunggu proses persalinan istrinya yang pertama kali, ia begitu resah sampai berjalan mondar-mandir sambil berkomat-kamit memanjatkan do’a agar persalinan bisa lancar. Sementara itu di dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia juga berharap semoga cabang bayi yang tengah dikandung istrinya berjenis kelamin laki-laki. Karna ia tak sanggup membayangkan bagaimana kalau ternyata anak yang dikandung oleh istrinya itu berjenis kelamin perempuan, pasti sang Raja Cotys akan murka dan marah besar. Setelah itu ia akan menyuruh prajuritnya untuk mengambil anaknya secara paksa dan segera membunuhnya dengan cara yang kejam.
Tradisi buruk yang selama ini menjadi adat kebiasaan kampung Pacitan adalah dimana tidak diperbolehkannya makhluk berjenis kelamin perempuan hidup di daerah kekuasaan Raja Cotys. Karena kalau sampai sang Raja tahu ada bayi yang baru lahir dan itu adalah berjenis kelamin perempuan, maka sang Raja akan segera merampas anak bayi yang tidak tahu apa-apa itu untuk segera dibunuh. Suatu perilaku yang kejam dan tidak berprikemanusiaan. Tradisi ini mulai berjalan dan ditentukan sejak sebelas tahun yang lalu, dimana pada saat itu selama delapan tahun Kampung Pacitan dilanda musim kemarau yang berkepanjangan, sedangkan salah satu sumber kehidupan Kampung Pacitan yang selama ini menolong para warga untuk mendapatkan air yang bersih hanya berasal dari salah satu sumur tua di samping istana kerajaan, karna memang hanya sumur tersebut yang menghasilkan air jernih meskipun kemarau sedang berlangsung. Dan pada saat itu pula Raja Cotys membuat peraturan bahwa setiap ada bayi perempuan yang lahir maka harus segera dibunuh, karna pada nantinya bayi tersebut hanya akan menghabiskan persediaan air dan makanan yang ada di sumur dan lumbung istana, dan para masyarakat pun setuju demi keberlangsungan hidup keluarga mereka satu sama lain. Sejak saat itu pula para masyarakat merasa khawatir apabila istrinya mengandung anak perempuan, dan mereka semua berharap agar kiranya sang tuhan mau untuk menganugrahkan seorang anak bayi laki-laki yang kuat agar sang raja merasa gembira dan tidak murka ketika mendengar kabar tersebut.
“Owek..Owek..Owek” suara jeritan tangisan bayi yang begitu terasa asing di telinga Taryat sontak membuat lamunannya terhenti sejenak setelah mendengar suara tersebut. Dengan penuh rasa syukur ia segera bersujud mendaratkan dahinya yang begitu lebar ke hamparan tanah berwarna merah kecoklatan, dengan mata yang berkaca-kaca  bak awan mendung yang akan segera mengeluarkan tetesan hujan. ia mengucapkan puji syukur kepada sang tuhan atas kedatangan buah hatinya yang pertama ke dunia ini. Setelah beberapa lama bersujud mengucapkan puji syukur, terdengar kembali suara tangisan anak bayi dengan suara yang berbeda. Ia pun segera bangun dan membersihkan jidatnya dari beberapa debu yang menempel di dahinya. Sambil mengerutkan dahinya tanda mengerti bahwa istrinya telah mengandung dan melahirkan dua anak kembar.
Tak lama kemudian, Mbok Ngatimin mempersilakan masuk kepada Taryat untuk melihat keadaan istri dan anak pertamanya. Dengan perasaan senang dan sigap Taryat segera berjalan menghampiri kamar persalinan guna melihat bagaimana keadaan istri dan bayinya. Dalam hati kecilnya pun berharap, semoga anak kembarnya tersebut berjenis kelamin laki-laki agar sang bayi dapat hidup dengan tenang dan diperlakukan sama dengan anak kecil lainnya oleh pihak Kerajaan.
Begitu Taryat masuk ke dalam kamar, ia kebingungan melihat istrinya di atas kasur menangis sesegukan sesekali sambil menjambak rambutnya dan berteriak histeris bagaikan orang yang sudah kehilangan akal sehatnya. Sedangkan Mbok Ngatimin, hanya bisa terdiam di pojok ruangan sambil menenangkan kedua anaknya yang baru saja lahir. Dengan cepat ia segera menghampiri si mbok untuk menanyakan apa yang sedang terjadi. “Bagaimana mbok ? anak saya sehatkan ? apa jenis kelaminnya ? Laki-laki kan mbok ?” Tanya Taryat kepada si mbok dengan rasa ingin tahu yang besar. Sedangkan si mbok hanya terdiam menundukkan kepalanya ke hamparan tanah yang kosong. Melihat tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan, Taryat mencoba untuk menggendong kedua bayinya untuk segera memastikan.
Akan tetapi dengan anehnya, Mbok Ngatimin justru menjauhkan kedua anak tersebut dari pantauan Taryat yang mencoba untuk menggendongnya. Merasa tidak diperbolehkan untuk menggendong darah dagingnya sendiri, Taryat pun naik pitam bagaikan orang kesetanan. “Ini semua ada apa mboook ? HAH ?! ADA APA ? Kenapa semua orang terdiam ? Apa jenis kelamin anak saya mbok ? jawab mboook!...” Ceracau Taryat kepada si mbok dengan mata yang berkaca-kaca.
Setelah menarik nafas panjang Mbok pun menanggapi pertanyaan taryat...
“Anakmu dua-duanya perempuan yaat, lebih baik kau tenangkan dirimu sejenak dengan istrimu. Hibur istrimu, lalu tentukan langkah apa selanjutnya yang akan kau ambil untuk kedua anak ini” saran si Mbok kepada Taryat dengan wajah yang serius. Mungkin masalah seperti ini adalah hal yang biasa ditemukan oleh si Mbok ketika membantu warga Kampung Pacitan ketika selesai melahirkan. Sehingga ia sudah begitu paham dengan apa yang harus ia lakukan.
Dengan perasaan yang hancur dan badan yang lemas, Taryat mencoba untuk bangkit dan mengumpulkan sisa-sisa tenaganya untuk menghibur darmiyati yang tengah stres parah terbaring diatas kasur. Dibelakangnya Mbok Ngatimin mengikuti Taryat sambil menggendong kedua bayi Taryat yang sudah mulai tenang.
“tttiii, kamu kenapa ? harusnya kita bersyukur karna anak kita lahir dengan sehat dan fisik yang normal” ucap Taryat mengibur istrinya..
“ttaapi anak kita perempuan mas.. anak kita permpuaaaan” suara darmiyati lirih sambil sesegukan. Bola matanya yang indah kini pun mulai membengkak akibat terlalu banyak mengeluarkan air mata.
“paduka raja pasti marah besar. Dan aku sama sekali tak sanggup membayangkan kedua anak kita yang baru saja lahir akan segera dibunuh.. aku tidak sanggup mas.. heeeehhh heeeehh” ucap Darmiyati dengan wajah yang penuh dengan kesedihan.
Taryat dan si Mbok pun hanya terdiam dan membisu, mereka hanya sedang memberikan kesempatan kepada Darmiyati untuk meceritakan curahan hati seorang ibu yang terpukul, karena harus kehilangan kedua putrinya akibat hukum adat yang tidak berprikemanusiaan.
“Selama dua belas bulan aku mengandung, dan selama 31.104.000 detik aku menunggu kehadirannya buah hatiku ke dunia ini mas. Dengan begitu sabar aku selalu mengajaknya bicara ketika masih dalam kandungan, menjaga setiap asupan makanan yang kumakan dengan makanan bergizi agar ia nanti bisa lahir dengan normal dan sehat dan dengan begitu sayangnya, sampai aku rela meninggalkan semua aktifitasku, agar sang bayi tetap sehat dan tak terganggu mas..” ucap Darmiyati lirih sambil mengusap air matanya yang sejak tadi mengalir. “Dan aku tidak akan pernah ridho dan ikhlas apabila anak ini harus dirampas dan dibunuh oleh para prajurit sialan itu !!!! aku tidak akan pernah rela mas !!! nyawa ini yang akan menjadi taruhannya” sambil menepuk tangannya ke atas dada Darmiyati yang tadinya lemah menjadi begitu kuat dan tegas. Bagaikan seorang prajurit yang siap untuk berjuang di medan perang.
“Tttaaapi bagaimana kalo sampai nanti Raja Cotys mengetahuinya?” tanya Taryat penuh keraguan
“Rawatlah anak ini sampai keduanya besar dan sehat. Berikanlah ia berdua asupan yang bergizi setiap harinya agar kedua anak ini memiliki tubuh yang besar layaknya seorang laki-laki. Dan jikalau mereka hendak keluar rumah berikanlah jubah hitam besar dan dandanilah sesuai dengan perawakan laki-laki pada umumnya. Niscaya paduka raja tidak akan mengetahuinya jika kalian pandai menyiasatinya” Nasehat Mbok kepada Taryat dan Darmayati tanda setuju dengan permintaan Darmiyati untuk tetap membesarkan kedua putri kembar tersebut”.
“Kenapa Mbok mengizinkan kami berdua untuk merawat kedua putri ini?” tanya Taryat penuh keheranan.
“Karena aku melihat masa depan Kampung ini dari kedua bola matanya yang tak biasa. Percayalah padaku” ucap si Mbok  dengan penuh keyakinan.
Tak lama kemudian akhirnya si mbok pamit untuk segera pulang, karna matahari sebentar lagi akan naik dan fajar akan segera menghilang. Taryat dan Darmiyati pun mengucapkan banyak terima kasih atas saran dan bantuan si mbok dalam membantu proses kelahiran kedua anaknya. Taryat dan Darmiyati pun bersepakat dan membuat komitmen agar tetap merawat kedua putrinya yang diberi nama Astiti dan Astuti, berharap mereka bisa jadi anak yang berguna ketika mereka besar nanti.
Sang fajar telah pergi entah kemana, cerahnya sinar matahari perlahan mulai menerobos masuk ke dalam permukaan atap yang berlubang. Tetesan embun pagi mulai membasahi bulir padi pada setiap petiknya. Geraknya angin yang tak bersuara membuat daun-daun yang jatuh ke permukaan tanah tak sempat untuk berlabuh. Sang petani dengan begitu semangatnya beranjak ke sawah untuk segera bercocok tanam di ladangnya, dengan cangkul yang diletakkan di bahu kanan ia seraya berjalan sambil bergoyang dengan ditemani kicauan burung yang saling bersahutan seakan sedang bernyanyi dengan riangnya. Seperti riangnya hati kedua pasangan suami istri yang baru dikaruniai kedua putri yang amat cantik dan sehat. Dibalik pagi hari yang cerah, terasa bahwa semua makhluk hidup turut merasa senang atas kelahiran kedua putri kembar yang konon katanya akan menjadi pahlawan masa depan bagi kampung Pacitan.
****
Seiring dengan berjalannya waktu, kini Astuti dan Astiti tengah tumbuh menjadi anak wanita yang cerdas dan selalu berbakti kepada orang tuanya. Taryat dan Darmiyati sangat bersyukur, karena di usianya yang tidak muda lagi mereka diberikan kedua malaikat tanpa sayap yang begitu cantik akhlaknya dan berbudi pekerti luhur oleh sang Tuhan. Astiti dan Astuti selalu menuruti apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya, bahkan dikala ayahnya sakit ia berdua rela turun ke sawah menggantikan peran ayahnya sebagai tulang punggung keluarga. Selama 19 tahun Taryat dan Darmiyati berjuang keras merawat dan melindungi kedua putri kembarnya dari jahatnya tangan kanan utusan Raja Cotys yang mencoba untuk membunuh setiap anak perempuan yang baru lahir maupun sedang tumbuh menjadi dewasa. Astiti dan Astuti hanya diperbolehkan main keluar rumah oleh kedua orang tuanya hanya pada siang hari sampai adzan ashar tiba, karna pada saat itu penduduk kampung tengah sibuk memanjakan tubuhnya untuk beristirahat setelah lelah bekerja dari pagi hari. Tak lupa darmiyati selalu memberikan kedua putrinya mantel hitam besar yang memiliki topi tudung dibagian atasnya agar mereka terlihat seperti anak laki-laki sebagaimana mestinya. Kemudian untuk menutupi wajah ayu mereka berdua, taryat menjahitkan sebuah cadar berwarna hitam agar wajah perempuan kedua anaknya tidak terlihat dan suaranya menjadi samar-samar. Astiti dan Astuti diwajibkan oleh kedua orang tuanya untuk menghabiskan dua kendi susu tiap harinya agar tubuh mereka menjadi besar layaknya tubuh yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Bukan perjuangan yang mudah untuk merawat kedua anak perempuan yang melanggar hukum tradisi adat dilingkungan sendiri yang bisa membahayakan bagi sanak keluarganya. Setidaknya itulah yang dirasakan Taryat selama belasan tahun ini, akan tetapi karena rasa sayangnya kepada sang buah hati membuat ia sama sekali tak goyah untuk tetap menjalankan amanah yang diberikan oleh Mbok Ngatimin, yang sudah tiga tahun lalu menutup usianya.
                                                  ****
“Kak.. Kemarilah. Lihat lelaki tampan yang sedang mengarit rumput di ujung sana” Teriak Astuti dari atas pohon, membuat Astiti terpaksa menghentikan sulamannya yang hampir jadi. “Astuti, coba kau kecilkan suaramu kalau sedang berbicara, bisa berbahaya nanti kalo sampai mata-mata Raja Cotys mengetahuinya, kita berdua pasti langsung dibunuh” bisik Astuti kepada adiknya. “Iya maaf kak, tapi aku benar-benar menyukai sosok pria tersebut” ucap astuti dengan wajah yang memerah. “Hey Astuti yang jelek dan hitam” baru saja Astiti ingin berbicara langsung dipotong oleh Astuti yang tak terima dengan ledekan yang dilontarkan oleh kakaknya “enak saja, aku jelek. Kata ayah dan ibu aku lebih cantik dari kakak” ucap Astuti membela dirinya. “Iya terserah apa katamu. Tapi lihatlah kondisi kita sekarang, ayah dan ibu selalu melarang kita untuk bersosialisasi dengan warga kampung agar identitas kita tidak ketahuan. Untuk bergaul saja tidak boleh apalagi berbagi kasih dengan laki-laki lain” sanggah Astuti dengan wajah yang serius. “iya, tapi sampai kapan kak kita seperti ini” Tanya Astuti dengan penuh kekecewaan. “Justru itu dik, selama sembilan belas tahun lamanya keberadaan kita menjadi aib keluarga yang selalu meresahkan pikiran ayah dan ibu. Kita sebagai anak yang cerdas, harus menghapus perbedaan gender yang selama ini menjadi tradisi buruk di kampung kita” tegas Astuti. “Tapi bagaimana cara untuk mewujudkan itu semua kak?” Tanya Astuti lagi. “Entahlah, bagaimanapun caranya kita harus tetap mewujudkan itu semua agar ayah dan ibu bangga kepada kita” ucap Astiti dengan nada datar. Akhirnya mereka berdua terdiam satu sama lain, hanyut dalam pikiran masing-masing tentang bagaimana cara mewujudkan impian tersebut.
****
Dalam heningnya kesejukan malam, kini suasana kampung Pacitan menjadi begitu sunyi dan sepi. Kini yang terdengar hanyalah beberapa sahutan suara jangkrik dari ujung pematang sawah bagaikan sang penguasa malam yang tak pernah tidur sampai sang matahari beranjak dari peraduannya. Sang rembulan seraya menari dengan ratusan bintang lainnya menggenapi sosok keindahan malam itu menjadi lebih berwarna. Akan tetapi malam itu, keheningan yang biasanya datang tanpa di pinta berubah menjadi sebuah malam yang begitu menakutkan dan buruk. Rentetan bunyi suara dentuman keras membahana di separuh jagat raya. Para warga yang tadinya tengah asik terbuai dalam mimpi indahnya, kini berubah menjadi sebuah jeritan manusia yang begitu ketakutan dan tak berdaya. Teriakan kesakitan, pekikan takbir, tangisan anak kecil, juga umpat-umpatan kasar berbaur menjadi satu. Bau bahan ledakan yang digunakan menjadi momok bagi persada, menciptakan trauma bagi jiwa-jiwa lemah tak berdaya.
Kampung Pacitan malam itu tengah diserang oleh pihak kerajaan lain yang mencoba untuk mengambil alih daerah kekuasaan Raja Cotys, karna di dalam wilayah kekuasannya terdapat sumur tua yang menyimpan mata air jernih meskipun musim panceklil sedang berlangsung. sederet tempat tinggal warga di bakar habis-habisan tanpa menyisakan pondasi sedikitpun. Suara jeritan dan dentuman bahan peledak yang di keluarkan memperparah kisruhnya keadaan Kampung Pacitan malam itu. Setidaknya ratusan warga kehilangan nyawanya akibat korban dari penjajahan Kerajaan Reshus yang mencoba untuk melakukan eksapansi wilayahnya kekuasaanya. Beruntungnya Astiti dan Astuti serta kedua orang tuanya selamat dari serangan malam itu. Kemudian mereka bersama warga lainnya yang selamat pergi bersama-sama ke istana untuk meminta perlindungan dari pihak kerajaan. Begitu dengan puasnya memporak-porandakan Kampung Pacitan menjadi hancur berantakan, Raja Reshus bersama pasukan lainnya kembali ke istananya untuk menyusun kembali strategi perang sesungguhnya yang akan dilaksanakan esok pagi.
Ketika mendengar kabar serangan tersebut, dengan geramnya sang Raja Cotys langsung turun ke daerah pemukiman warga untuk mengecek langsung apa yang tengah terjadi. Dalam sejuknya angin malam, terlihat beberapa asap hitam mengebul dari daerah pemukiman warga dengan tergeletaknya ratusan warga yang sebagian besar adalah prajurit istana. mereka tak sempat menyelamatkan diri akibat sedang terlelapnya tidur. Hal ini benar-benar membuat sang raja menjadi geram dan naik pitam, tanpa berfikir panjang ia kembali memecut kudanya untuk kembali ke istana guna menyusun strategi perang melawan kebangsaan Reshus yang begitu pengecut dan tak pandai aturan berperang.
“Para rakyat ku sekalian yang terhormat. Kiranya malam ini akan menjadi sejarah terburuk dalam masa kekuasaanku dalam memimpin kampung ini” Ucap sang paduka raja, berpidato di depan istana kerajaan. “Bagaimana tidak, hampir setengah dari total prajurit ku telah gugur sebelum berperang akibat menerima serangan Reshus yang benar-benar pengecut. Tempat ibadah, Pasar, Surau, Jembatan dan beberapa tempat tinggal warga telah dibakar oleh bajingan yang kaya akan kekuasaan tersebut. Maka dari itu, ku umumkan kepada kalian bahwa esok pagi mari bersama-sama kita satukan kekuatan kita dengan alam untuk menghancurkan Kerajaan Reshus, agar tidak ada lagi jeritan tangis air mata, pertumpahan darah dan terciptanya kembali kedamaian kampung pacitan yang selama ini kita jaga bersama-sama”. Motivasi sang raja menggebu-gebu, sehingga membuat para warga menjadi begitu bersemangat dan siap untuk menghadapi perang esok pagi. “Hidup Raja Cotys !!! Hidup Raja Cotys !!!” ucap sang warga berkali-kali sebagai tanda hormat dan bangga karna memiliki seorang Raja yang pemberani dan bertanggung jawab. Dengan mengepalkan tangannya ke atas langit seraya membuat para warga yang tadinya beteriak penuh dengan ambisi menjadi terdiam sunyi bagaikan kerbau yang sedang bernyanyi lalu dicucuk hidungnya. “Lantas siapa yang bersedia untuk menjadi panglima perang menggantikan para prajuritku yang telah gugur dan menyusun strategi perang dengan kuantitas pasukan yang sedikit?” tantang sang Raja. Dengan begitu percaya dirinya Astiti dan Astuti mengacungkan jarinya bersama-sama, tanda siap untuk menjadi pemimpin perang pada pertempuran kali ini.  “Saya paduka” Ucap Astiti dan Astuti bersamaan. “hmm rupanya kau laki-laki berjubah kembar. Apa alasannya kau begitu yakin untuk memimpin jalannya perperangan ini ?” Tanya sang Raja dengan mimik wajah yang serius. “Karna kami berdua mempunyai konsep strategi perang bagus dan sesuai dengan kuantitas prajurit yang sedikit paduka” Ucap Astiti dengan membesarkan pita suaranya agar terdengar seperti laki-laki yang berbicara. “Bisakah kau jelaskan bagaimana ide strategi perang yang kau miliki ?” Tanya sang Raja meyakinkan.
Setelah menjelaskan bagaimana strategi perang yang akan dipakai untuk pertempuran besok, ternyata usulan Astiti dan Astuti diterima baik oleh sang Raja. Startegi perang yang digunakan oleh kedua putri kembar ini adalah strategi gerilya yang dipakai oleh bangsa Inggris dalam melawan musuhnya pada saat perang dunia ke dua. “Karna hanya dengan cara ini kita dapat membuktikan kepada semua orang bahwa wanita adalah bukan makhluk yang lemah dan dapat diandalkan” Bisik Astiti kepada adiknya memberi semangat, kemudian diikuti anggukan pelan adiknya tanda setuju. Setelah itu tanpa berpikir panjang para warga menyiapkan segala perlengkapan dan kebutuhan perang dengan di pimpinnya dua wanita jendral Raja Cotys yang dipercayai berjenis kelamin laki-laki.
****
Kala suasana pagi itu tidak menjadi begitu damai bagi seluruh warga kampung pacitan, karna perasaan mereka menjadi campur aduk dengan rasa semangat berperang tetapi juga mengkhawatirkan jumlah prajurit yang sedikit. Pagi itu Astiti dan Astuti begitu gagah mengenakan pakaian perang beralaskan anti peluru dengan samurai panjang yang begitu kokoh menempel di pundaknya, sehingga ia benar-benar terlihat bagaimana panglima perang yang sesungguhnya. Darmiyati yang awalnya tidak mengizinkan justru kini memberikan semangat kepada mereka demi mempertahankan tanah kelahiran nenek moyang mereka yang dari dulu mati-matian menjaga kampung ini agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Sebuah jebakan tanah longsor di dekat tepi jalan  yang di kelilingi oleh tingginya tanah sekitar empat meter sudah dengan sempurnanya terpasang guna menghancurkan formasi strategi musuh. Dan ternyata strategi ini berhasil dilakukan. Pada saat pasukan Kerajaan Reshus mencoba melewati jalan setapak  yang dipasangi sebuh jebakan, sang Jendral prajurit Reshus dengan begitu begitu bodohnya menyingkirkan sebatang kayu yang menghalangi jalan mereka. Sehingga pada saat kayu itu disingkirkan, kedua batu yang tadinya tertahan menjadi bergeser sehingga tanah menjadi longsor dan menimpa beberapa prajurit Kerajaan Reshus. Dengan termakannya jebakan ini, setengah dari pasukan Kerajaan Reshus telah gugur sebelum sampai ke medan perang akibat tertimpa tanah longsor, sehingga dengan terpaksa Raja Reshus mengganti rencana strategi perang cadangan.
Begitu pasukan kedua raja berkumpul disebuah tempat yang telah ditentukan. Astiti sebagai panglima perang memberikan kata-kata semangat juang untuk kepada para parajuritnya agar mereka tak gentar sedikitpun melawan musuh. “Pada saat ini..pada hari ini... Jadilah pria yang sesungguhnya!. Kau memilikinya dalam dirimu sendiri, untuk menulis legenda yang kau inginkan.. biarkan menjadi kematian atau kemenangan!” Ucap Astuti dengan suara yang lantang diikuti dengan tangan kanannya yang terkepal kuat diarahkan ke langit-langit sebagai tanda bahwa perperangan siap dimulai.
Pasukan pedang Raja Reshus dengan kuda tentaranya mulai menyerang pasukan Raja Cotys dengan lantangnya sambil mengangkat pedangnya seraya siap menghabiskan lawannya. Sementara Astiti dan Astuti masih berdiri tegap di barisan baling depan sambil menunggu waktu yang tepat untuk menahan serangan lawan. “Dinding perisai, Melebar!!!” ucap Astiti memberikan aba-aba kepada prajuritnya. Setelah pasukan kuda lawan hampir mendekati barisan prajuritnya, Astuti menggerakkan tangannya berbentuk 45 derajat tanda memberikan aba-aba kepada pasukan pemanah kuda berjalan untuk segera menahan datangnya serangan pasukan lawan. Dengan prajurit ahli panah yang sangat hebat, pasukan tombak lawan gugur berjatuhan menerima busur panah yang mematikan. “Pasukan panah.. Tembak!!!” Teriak Astuti memberikan aba-aba kepada pemanah barisan belakang untuk menyerang kembali, akhirnya prajurit dari Kerajaan Reshus banyak yang gugur berjatuhan akibat menerima serangan panah dari atas langit yang begitu banyak, bagaikan rintik hujan yang berjatuhan. Melihat pasukannya banyak yang gugur, Raja Reshus kembali memberikan aba-aba kepada pemanah api untuk melancarkan serangannya. “Bakar mereka..” Aba-aba sang Raja kepada prajuritnya. Melihat banyaknya panahan api yang mengincar barisan pasukannya, Astiti memberikan aba-aba perisai berlindung kepada para prajuritnya. “Berlindung, Lindungi sang Raja Cotys” Ucap Astuti memberi aba-aba kembali kepada para prajuritnya. Dengan begitu sigapnya pasukan tentara Raja Cothys membentuk perisai berlindung sehingga tak satupun dari prajuritnya terkena serangan tersebut. Melihat dari formasi strategi perang yang begitu hebat, Raja Reshus menjadi tidak berkutik dan terdiam sesaat. Kini keadaan pun menjadi berbalik, prajurit kerajaan sragen menjadi sedikit. Sang Raja Cotys berdecak kagum melihat panglima perangnya memimpin jalannya perang ini dengan sangat cerdas dan hebat. Tanpa membuang waktu, Astiti memberikan aba-aba kepada prajuritnya untuk segera menyerang balik pasukan sragen. Karena pasukan yang sedikit dan melihat mimik wajah sang Raja Reshus yang ketakutan, akhirnya para prajurit Seragen memilih mundur dan kabur dalam perperangan. Sebuah tanda bahwa prajurit kerajaan Cotys telah memenangkan perperangan dan berhasil mempertahankan daerah kekuasaannya. Kini yang tertinggal hanyalah raja seragen yang siap bertarung dengan kedua panglima kerajaan Cotys yakni Astiti dan Astuti secara dua lawan satu. Pada awalnya Astiti dan Astuti bisa menahan serangan yang dilancarkan oleh Raja Reshus kepada dirinya, akan tetapi dikarenakan ilmu bela diri yang dimiliki Raja lebih hebat, Pedang panjang Raja Reshus berhasil menusuk jantung Astiti sampai ia jatuh gugur di medan perang. Melihat sang kakak kembarnya mati tertusuk oleh pedang Raja Reshus, maka Astuti menjadi sangat marah sampai berhasil merebut pedang Raja Seragen dan berhasil memotong leher Raja Reshus hingga palanya terpisah dari badan. Setelah berhasil mengalahkan sang raja yang pengecut, Astuti segera menghampiri mayat kakaknya yang sudah penuh dengan darah segar di sekujur tubuhnya. Akan tetapi pada saat ia mecoba untuk menghampiri mayat sang kakak, secara tiba-tiba tepat di dahinya ia menerima busuran panah dari atas tebing sehingga membuatnya terjatuh dan tersungkur kesakitan. Sang pelontar busur panah tersebut pun lari setelah selesai menjalankan misinya. Dengan seketika semua prajurit menghampiri sang kedua panglima perang yang kini telah gugur dalam perang untuk membela kampung halamannya. Raja Cotys yang melihat keadaan tersebut hanya terlihat diam dan begitu sedih. Karena ia kini telah kembali kehilang panglima perang yang sudah terbukti kehebatannya dalam memimpin perang. Semua prajurit lalu membawa kedua mayat panglima tersebut ke istana untuk segera di makamkan. Akan tetapi betapa kagetnya sang Raja ketika membuka jubah tersebut ternyata panglima perang yang selama ini bisa diandalkan dan ia banggakan adalah sesosok wanita kembar yang begitu cantik dan cerdas. Sesosok makhluk berjenis kelamin perempuan yang dulu ia haramkan keberadannya di daerah kekuasannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar