Katastrofa Balada Wanita Bisu
Zaky Mubarak
Dan pada akhirnya, pasca kejadian perang tempo
hari lalu yang hampir menghancurkan seluruh daerah kekuasaannya. Kini Raja Cotys
telah menghapus peraturan yang menyatakan bahwa setiap bayi perempuan yang
lahir harus segera dibunuh. Itu semua akibat pengorbanan Astiti dan Astuti, dua
wanita kembar yang sangat berambisius untuk menghapuskan diskriminasi gender yang
ada di kota kelahirannya. Mereka berkorban untuk memberikan secercah harapan
kehidupan kepada setiap bayi perempuan yang lahir, meskipun untuk
membuktikannya mereka harus rela untuk berkorban dan menghancurkan diri mereka sendiri.
Sebuah katastrofa pengorbanan yang begitu indah dan tulus, atas perjuangan
mereka berdua Raja Cotys mendirikan dua patung wanita kembar di depan gerbang kampung
pacitan sebagai tanda apresiasi terhadap perjuangan dan gugurnya dua panglima
perang yang hebat dalam medan perang.
Kala
sore itu, senja yang biasanya mematung di barat cakrawala sama sekali tidak
menampakkan keindahannya, yang terlihat hanyalah arak-arakan awan yang mulai
berganti warna dari biru laut menjadi oranye keemasan. Mungkin mereka juga
turut berduka atas hilangnya dua pahlawan wanita kembar yang selama ini
mati-matian membela tanah kelahirannya. Kicauan burung yang saling bersahutan
dan geraknya angin yang tak bersuara menambah kesunyian Kampung Pacitan malam
itu yang tak seperti biasanya. Akan tetapi meskipun langit sore tak menampakkan
senjanya, langit malam dengan begitu siap menujukkan betapa agungnya ciptaan tuhan
yang tiada duanya ini. Ratusan bintang merentang mulai menghiasi hamparan
langit dibawah cakrawala yang begitu besar, dengan ditemani bulan sabit yang
menyinari alam semesta penuh dengan kegelapan ini. Dua pahlawan wanita kembar
ini layaknya seperti sosok kartini kecil, yang selama ini membawa banyak
perubahan untuk tempat tinggalnya. Ia berusaha menyinari cahaya kegelapan
meskipun harus dengan cara membakar dirinya sendiri. Sebuah katastrofa
pengorbanan yang indah dan begitu tulus. Meskipun kini mereka berdua tidak akan
pernah dirasakan lagi sosok keberadaanya di Kampung Pacitan, akan tetapi para
warga akan selalu mengingat jasa mereka berdua. Bulan sabit kala itu seraya
tersenyum, karena ia begitu yakin bahwa Astiti dan Astuti sedang tersenyum lebar
melihat kehidupan Kampung Pacitan yang kini mulai kembali menjadi damai dan
sejahtera kembali. Sedangkan keesokan harinya, guyuran hujan yang deras
membasahi tanah-tanah kering Kampung Pacitan yang selama ini begitu tandus
akibat musim panceklik yang berkepanjangan. Mungkin ini adalah salah satu
berkah yang diberikan oleh sang tuhan, karna sang raja mengetahui bahwa
peraturan tersebut salah dan tidak berprikemanusian. Dalam turunnya hujan semua
warga berharap, semoga kedua pahlawan wanita kembar mereka yang gugur dalam
medan perang diberi tempat peristirahatan yang tenang.
*****
“Argggghhhhhhh... Pufttt.. Pufftt aku
gak kuat lagi mbook.” rintih Darmiyati yang tengah menangis menahan rasa sakit
seperti tubuhnya dihujami batu meteor berkali-kali. Tepat di depannya mbok Ngatimin
dengan begitu sabarnya menuntun Darmiyati agar bisa mengatur nafas dengan baik.
“ayoo kamu pasti bisa ti, tarik 1...2..3
iyaa dorong” ujar si mbok memberikan semangat. Sementara itu di sudut bagian
dapur, terlihat seorang pria yang begitu cemas menunggu proses persalinan
istrinya yang pertama kali, ia begitu resah sampai berjalan mondar-mandir
sambil berkomat-kamit memanjatkan do’a agar persalinan bisa lancar. Sementara
itu di dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia juga berharap semoga cabang
bayi yang tengah dikandung istrinya berjenis kelamin laki-laki. Karna ia tak
sanggup membayangkan bagaimana kalau ternyata anak yang dikandung oleh istrinya
itu berjenis kelamin perempuan, pasti sang Raja Cotys akan murka dan marah
besar. Setelah itu ia akan menyuruh prajuritnya untuk mengambil anaknya secara
paksa dan segera membunuhnya dengan cara yang kejam.
Tradisi buruk yang selama ini menjadi
adat kebiasaan kampung Pacitan adalah dimana tidak diperbolehkannya makhluk
berjenis kelamin perempuan hidup di daerah kekuasaan Raja Cotys. Karena kalau
sampai sang Raja tahu ada bayi yang baru lahir dan itu adalah berjenis kelamin
perempuan, maka sang Raja akan segera merampas anak bayi yang tidak tahu
apa-apa itu untuk segera dibunuh. Suatu perilaku yang kejam dan tidak
berprikemanusiaan. Tradisi ini mulai berjalan dan ditentukan sejak sebelas
tahun yang lalu, dimana pada saat itu selama delapan tahun Kampung Pacitan
dilanda musim kemarau yang berkepanjangan, sedangkan salah satu sumber
kehidupan Kampung Pacitan yang selama ini menolong para warga untuk mendapatkan
air yang bersih hanya berasal dari salah satu sumur tua di samping istana
kerajaan, karna memang hanya sumur tersebut yang menghasilkan air jernih
meskipun kemarau sedang berlangsung. Dan pada saat itu pula Raja Cotys membuat
peraturan bahwa setiap ada bayi perempuan yang lahir maka harus segera dibunuh,
karna pada nantinya bayi tersebut hanya akan menghabiskan persediaan air dan
makanan yang ada di sumur dan lumbung istana, dan para masyarakat pun setuju
demi keberlangsungan hidup keluarga mereka satu sama lain. Sejak saat itu pula
para masyarakat merasa khawatir apabila istrinya mengandung anak perempuan, dan
mereka semua berharap agar kiranya sang tuhan mau untuk menganugrahkan seorang
anak bayi laki-laki yang kuat agar sang raja merasa gembira dan tidak murka ketika
mendengar kabar tersebut.
“Owek..Owek..Owek” suara jeritan
tangisan bayi yang begitu terasa asing di telinga Taryat sontak membuat
lamunannya terhenti sejenak setelah mendengar suara tersebut. Dengan penuh rasa
syukur ia segera bersujud mendaratkan dahinya yang begitu lebar ke hamparan
tanah berwarna merah kecoklatan, dengan mata yang berkaca-kaca bak awan mendung yang akan segera mengeluarkan
tetesan hujan. ia mengucapkan puji syukur kepada sang tuhan atas kedatangan
buah hatinya yang pertama ke dunia ini. Setelah beberapa lama bersujud
mengucapkan puji syukur, terdengar kembali suara tangisan anak bayi dengan
suara yang berbeda. Ia pun segera bangun dan membersihkan jidatnya dari beberapa
debu yang menempel di dahinya. Sambil mengerutkan dahinya tanda mengerti bahwa
istrinya telah mengandung dan melahirkan dua anak kembar.
Tak lama kemudian, Mbok Ngatimin
mempersilakan masuk kepada Taryat untuk melihat keadaan istri dan anak pertamanya.
Dengan perasaan senang dan sigap Taryat segera berjalan menghampiri kamar persalinan
guna melihat bagaimana keadaan istri dan bayinya. Dalam hati kecilnya pun
berharap, semoga anak kembarnya tersebut berjenis kelamin laki-laki agar sang
bayi dapat hidup dengan tenang dan diperlakukan sama dengan anak kecil lainnya
oleh pihak Kerajaan.
Begitu Taryat masuk ke dalam kamar, ia
kebingungan melihat istrinya di atas kasur menangis sesegukan sesekali sambil
menjambak rambutnya dan berteriak histeris bagaikan orang yang sudah kehilangan
akal sehatnya. Sedangkan Mbok Ngatimin, hanya bisa terdiam di pojok ruangan
sambil menenangkan kedua anaknya yang baru saja lahir. Dengan cepat ia segera
menghampiri si mbok untuk menanyakan apa yang sedang terjadi. “Bagaimana mbok ?
anak saya sehatkan ? apa jenis kelaminnya ? Laki-laki kan mbok ?” Tanya Taryat
kepada si mbok dengan rasa ingin tahu yang besar. Sedangkan si mbok hanya
terdiam menundukkan kepalanya ke hamparan tanah yang kosong. Melihat tidak
mendapatkan jawaban yang diinginkan, Taryat mencoba untuk menggendong kedua
bayinya untuk segera memastikan.
Akan
tetapi dengan anehnya, Mbok Ngatimin justru menjauhkan kedua anak tersebut dari
pantauan Taryat yang mencoba untuk menggendongnya. Merasa tidak diperbolehkan
untuk menggendong darah dagingnya sendiri, Taryat pun naik pitam bagaikan orang
kesetanan. “Ini semua ada apa mboook ? HAH ?! ADA APA ? Kenapa semua orang
terdiam ? Apa jenis kelamin anak saya mbok ? jawab mboook!...” Ceracau Taryat
kepada si mbok dengan mata yang berkaca-kaca.
Setelah
menarik nafas panjang Mbok pun menanggapi pertanyaan taryat...
“Anakmu
dua-duanya perempuan yaat, lebih baik kau tenangkan dirimu sejenak dengan
istrimu. Hibur istrimu, lalu tentukan langkah apa selanjutnya yang akan kau
ambil untuk kedua anak ini” saran si Mbok kepada Taryat dengan wajah yang
serius. Mungkin masalah seperti ini adalah hal yang biasa ditemukan oleh si Mbok
ketika membantu warga Kampung Pacitan ketika selesai melahirkan. Sehingga ia
sudah begitu paham dengan apa yang harus ia lakukan.
Dengan perasaan yang hancur dan badan
yang lemas, Taryat mencoba untuk bangkit dan mengumpulkan sisa-sisa tenaganya
untuk menghibur darmiyati yang tengah stres parah terbaring diatas kasur.
Dibelakangnya Mbok Ngatimin mengikuti Taryat sambil menggendong kedua bayi Taryat
yang sudah mulai tenang.
“tttiii,
kamu kenapa ? harusnya kita bersyukur karna anak kita lahir dengan sehat dan
fisik yang normal” ucap Taryat mengibur istrinya..
“ttaapi
anak kita perempuan mas.. anak kita permpuaaaan” suara darmiyati lirih sambil
sesegukan. Bola matanya yang indah kini pun mulai membengkak akibat terlalu
banyak mengeluarkan air mata.
“paduka
raja pasti marah besar. Dan aku sama sekali tak sanggup membayangkan kedua anak
kita yang baru saja lahir akan segera dibunuh.. aku tidak sanggup mas..
heeeehhh heeeehh” ucap Darmiyati dengan wajah yang penuh dengan kesedihan.
Taryat dan si Mbok pun hanya terdiam dan
membisu, mereka hanya sedang memberikan kesempatan kepada Darmiyati untuk
meceritakan curahan hati seorang ibu yang terpukul, karena harus kehilangan
kedua putrinya akibat hukum adat yang tidak berprikemanusiaan.
“Selama
dua belas bulan aku mengandung, dan selama 31.104.000 detik aku menunggu kehadirannya
buah hatiku ke dunia ini mas. Dengan begitu sabar aku selalu mengajaknya bicara
ketika masih dalam kandungan, menjaga setiap asupan makanan yang kumakan dengan
makanan bergizi agar ia nanti bisa lahir dengan normal dan sehat dan dengan
begitu sayangnya, sampai aku rela meninggalkan semua aktifitasku, agar sang
bayi tetap sehat dan tak terganggu mas..” ucap Darmiyati lirih sambil mengusap
air matanya yang sejak tadi mengalir. “Dan aku tidak akan pernah ridho dan
ikhlas apabila anak ini harus dirampas dan dibunuh oleh para prajurit sialan
itu !!!! aku tidak akan pernah rela mas !!! nyawa ini yang akan menjadi
taruhannya” sambil menepuk tangannya ke atas dada Darmiyati yang tadinya lemah
menjadi begitu kuat dan tegas. Bagaikan seorang prajurit yang siap untuk
berjuang di medan perang.
“Tttaaapi
bagaimana kalo sampai nanti Raja Cotys mengetahuinya?” tanya Taryat penuh
keraguan
“Rawatlah
anak ini sampai keduanya besar dan sehat. Berikanlah ia berdua asupan yang
bergizi setiap harinya agar kedua anak ini memiliki tubuh yang besar layaknya
seorang laki-laki. Dan jikalau mereka hendak keluar rumah berikanlah jubah
hitam besar dan dandanilah sesuai dengan perawakan laki-laki pada umumnya.
Niscaya paduka raja tidak akan mengetahuinya jika kalian pandai menyiasatinya”
Nasehat Mbok kepada Taryat dan Darmayati tanda setuju dengan permintaan Darmiyati
untuk tetap membesarkan kedua putri kembar tersebut”.
“Kenapa
Mbok mengizinkan kami berdua untuk merawat kedua putri ini?” tanya Taryat penuh
keheranan.
“Karena
aku melihat masa depan Kampung ini dari kedua bola matanya yang tak biasa.
Percayalah padaku” ucap si Mbok dengan
penuh keyakinan.
Tak lama kemudian akhirnya si mbok pamit
untuk segera pulang, karna matahari sebentar lagi akan naik dan fajar akan
segera menghilang. Taryat dan Darmiyati pun mengucapkan banyak terima kasih
atas saran dan bantuan si mbok dalam membantu proses kelahiran kedua anaknya. Taryat
dan Darmiyati pun bersepakat dan membuat komitmen agar tetap merawat kedua
putrinya yang diberi nama Astiti dan Astuti, berharap mereka bisa jadi anak
yang berguna ketika mereka besar nanti.
Sang fajar telah
pergi entah kemana, cerahnya sinar matahari perlahan mulai menerobos masuk ke
dalam permukaan atap yang berlubang. Tetesan embun pagi mulai membasahi bulir
padi pada setiap petiknya. Geraknya angin yang tak bersuara membuat daun-daun
yang jatuh ke permukaan tanah tak sempat untuk berlabuh. Sang petani dengan
begitu semangatnya beranjak ke sawah untuk segera bercocok tanam di ladangnya,
dengan cangkul yang diletakkan di bahu kanan ia seraya berjalan sambil
bergoyang dengan ditemani kicauan burung yang saling bersahutan seakan sedang
bernyanyi dengan riangnya. Seperti riangnya hati kedua pasangan suami istri
yang baru dikaruniai kedua putri yang amat cantik dan sehat. Dibalik pagi hari
yang cerah, terasa bahwa semua makhluk hidup turut merasa senang atas kelahiran
kedua putri kembar yang konon katanya akan menjadi pahlawan masa depan bagi
kampung Pacitan.
****
Seiring dengan berjalannya waktu, kini
Astuti dan Astiti tengah tumbuh menjadi anak wanita yang cerdas dan selalu berbakti
kepada orang tuanya. Taryat dan Darmiyati sangat bersyukur, karena di usianya
yang tidak muda lagi mereka diberikan kedua malaikat tanpa sayap yang begitu
cantik akhlaknya dan berbudi pekerti luhur oleh sang Tuhan. Astiti dan Astuti
selalu menuruti apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya, bahkan dikala
ayahnya sakit ia berdua rela turun ke sawah menggantikan peran ayahnya sebagai
tulang punggung keluarga. Selama 19 tahun Taryat dan Darmiyati berjuang keras
merawat dan melindungi kedua putri kembarnya dari jahatnya tangan kanan utusan
Raja Cotys yang mencoba untuk membunuh setiap anak perempuan yang baru lahir
maupun sedang tumbuh menjadi dewasa. Astiti dan Astuti hanya diperbolehkan main
keluar rumah oleh kedua orang tuanya hanya pada siang hari sampai adzan ashar
tiba, karna pada saat itu penduduk kampung tengah sibuk memanjakan tubuhnya
untuk beristirahat setelah lelah bekerja dari pagi hari. Tak lupa darmiyati
selalu memberikan kedua putrinya mantel hitam besar yang memiliki topi tudung
dibagian atasnya agar mereka terlihat seperti anak laki-laki sebagaimana
mestinya. Kemudian untuk menutupi wajah ayu mereka berdua, taryat menjahitkan
sebuah cadar berwarna hitam agar wajah perempuan kedua anaknya tidak terlihat
dan suaranya menjadi samar-samar. Astiti dan Astuti diwajibkan oleh kedua orang
tuanya untuk menghabiskan dua kendi susu tiap harinya agar tubuh mereka menjadi
besar layaknya tubuh yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Bukan perjuangan
yang mudah untuk merawat kedua anak perempuan yang melanggar hukum tradisi adat
dilingkungan sendiri yang bisa membahayakan bagi sanak keluarganya. Setidaknya
itulah yang dirasakan Taryat selama belasan tahun ini, akan tetapi karena rasa
sayangnya kepada sang buah hati membuat ia sama sekali tak goyah untuk tetap
menjalankan amanah yang diberikan oleh Mbok Ngatimin, yang sudah tiga tahun
lalu menutup usianya.
****
“Kak.. Kemarilah. Lihat lelaki tampan
yang sedang mengarit rumput di ujung sana” Teriak Astuti dari atas pohon,
membuat Astiti terpaksa menghentikan sulamannya yang hampir jadi. “Astuti, coba
kau kecilkan suaramu kalau sedang berbicara, bisa berbahaya nanti kalo sampai
mata-mata Raja Cotys mengetahuinya, kita berdua pasti langsung dibunuh” bisik
Astuti kepada adiknya. “Iya maaf kak, tapi aku benar-benar menyukai sosok pria
tersebut” ucap astuti dengan wajah yang memerah. “Hey Astuti yang jelek dan
hitam” baru saja Astiti ingin berbicara langsung dipotong oleh Astuti yang tak
terima dengan ledekan yang dilontarkan oleh kakaknya “enak saja, aku jelek. Kata
ayah dan ibu aku lebih cantik dari kakak” ucap Astuti membela dirinya. “Iya
terserah apa katamu. Tapi lihatlah kondisi kita sekarang, ayah dan ibu selalu
melarang kita untuk bersosialisasi dengan warga kampung agar identitas kita
tidak ketahuan. Untuk bergaul saja tidak boleh apalagi berbagi kasih dengan
laki-laki lain” sanggah Astuti dengan wajah yang serius. “iya, tapi sampai kapan
kak kita seperti ini” Tanya Astuti dengan penuh kekecewaan. “Justru itu dik,
selama sembilan belas tahun lamanya keberadaan kita menjadi aib keluarga yang
selalu meresahkan pikiran ayah dan ibu. Kita sebagai anak yang cerdas, harus
menghapus perbedaan gender yang selama ini menjadi tradisi buruk di kampung
kita” tegas Astuti. “Tapi bagaimana cara untuk mewujudkan itu semua kak?” Tanya
Astuti lagi. “Entahlah, bagaimanapun caranya kita harus tetap mewujudkan itu
semua agar ayah dan ibu bangga kepada kita” ucap Astiti dengan nada datar.
Akhirnya mereka berdua terdiam satu sama lain, hanyut dalam pikiran
masing-masing tentang bagaimana cara mewujudkan impian tersebut.
****
Dalam heningnya kesejukan malam, kini
suasana kampung Pacitan menjadi begitu sunyi dan sepi. Kini yang terdengar
hanyalah beberapa sahutan suara jangkrik dari ujung pematang sawah bagaikan
sang penguasa malam yang tak pernah tidur sampai sang matahari beranjak dari
peraduannya. Sang rembulan seraya menari dengan ratusan bintang lainnya
menggenapi sosok keindahan malam itu menjadi lebih berwarna. Akan tetapi malam
itu, keheningan yang biasanya datang tanpa di pinta berubah menjadi sebuah
malam yang begitu menakutkan dan buruk. Rentetan bunyi suara dentuman keras
membahana di separuh jagat raya. Para warga yang tadinya tengah asik terbuai
dalam mimpi indahnya, kini berubah menjadi sebuah jeritan manusia yang begitu ketakutan
dan tak berdaya. Teriakan kesakitan, pekikan takbir, tangisan anak kecil, juga
umpat-umpatan kasar berbaur menjadi satu. Bau bahan ledakan yang digunakan
menjadi momok bagi persada, menciptakan trauma bagi jiwa-jiwa lemah tak
berdaya.
Kampung Pacitan malam itu tengah
diserang oleh pihak kerajaan lain yang mencoba untuk mengambil alih daerah
kekuasaan Raja Cotys, karna di dalam wilayah kekuasannya terdapat sumur tua
yang menyimpan mata air jernih meskipun musim panceklil sedang berlangsung.
sederet tempat tinggal warga di bakar habis-habisan tanpa menyisakan pondasi
sedikitpun. Suara jeritan dan dentuman bahan peledak yang di keluarkan memperparah
kisruhnya keadaan Kampung Pacitan malam itu. Setidaknya ratusan warga
kehilangan nyawanya akibat korban dari penjajahan Kerajaan Reshus yang mencoba untuk
melakukan eksapansi wilayahnya kekuasaanya. Beruntungnya Astiti dan Astuti
serta kedua orang tuanya selamat dari serangan malam itu. Kemudian mereka
bersama warga lainnya yang selamat pergi bersama-sama ke istana untuk meminta
perlindungan dari pihak kerajaan. Begitu dengan puasnya memporak-porandakan Kampung
Pacitan menjadi hancur berantakan, Raja Reshus bersama pasukan lainnya kembali
ke istananya untuk menyusun kembali strategi perang sesungguhnya yang akan
dilaksanakan esok pagi.
Ketika mendengar kabar serangan tersebut,
dengan geramnya sang Raja Cotys langsung turun ke daerah pemukiman warga untuk
mengecek langsung apa yang tengah terjadi. Dalam sejuknya angin malam, terlihat
beberapa asap hitam mengebul dari daerah pemukiman warga dengan tergeletaknya
ratusan warga yang sebagian besar adalah prajurit istana. mereka tak sempat
menyelamatkan diri akibat sedang terlelapnya tidur. Hal ini benar-benar membuat
sang raja menjadi geram dan naik pitam, tanpa berfikir panjang ia kembali
memecut kudanya untuk kembali ke istana guna menyusun strategi perang melawan
kebangsaan Reshus yang begitu pengecut dan tak pandai aturan berperang.
“Para rakyat ku sekalian yang terhormat.
Kiranya malam ini akan menjadi sejarah terburuk dalam masa kekuasaanku dalam
memimpin kampung ini” Ucap sang paduka raja, berpidato di depan istana
kerajaan. “Bagaimana tidak, hampir setengah dari total prajurit ku telah gugur
sebelum berperang akibat menerima serangan Reshus yang benar-benar pengecut.
Tempat ibadah, Pasar, Surau, Jembatan dan beberapa tempat tinggal warga telah
dibakar oleh bajingan yang kaya akan kekuasaan tersebut. Maka dari itu, ku umumkan
kepada kalian bahwa esok pagi mari bersama-sama kita satukan kekuatan kita
dengan alam untuk menghancurkan Kerajaan Reshus, agar tidak ada lagi jeritan
tangis air mata, pertumpahan darah dan terciptanya kembali kedamaian kampung
pacitan yang selama ini kita jaga bersama-sama”. Motivasi sang raja
menggebu-gebu, sehingga membuat para warga menjadi begitu bersemangat dan siap
untuk menghadapi perang esok pagi. “Hidup Raja Cotys !!! Hidup Raja Cotys !!!”
ucap sang warga berkali-kali sebagai tanda hormat dan bangga karna memiliki
seorang Raja yang pemberani dan bertanggung jawab. Dengan mengepalkan tangannya
ke atas langit seraya membuat para warga yang tadinya beteriak penuh dengan
ambisi menjadi terdiam sunyi bagaikan kerbau yang sedang bernyanyi lalu dicucuk
hidungnya. “Lantas siapa yang bersedia untuk menjadi panglima perang
menggantikan para prajuritku yang telah gugur dan menyusun strategi perang
dengan kuantitas pasukan yang sedikit?” tantang sang Raja. Dengan begitu
percaya dirinya Astiti dan Astuti mengacungkan jarinya bersama-sama, tanda siap
untuk menjadi pemimpin perang pada pertempuran kali ini. “Saya paduka” Ucap Astiti dan Astuti
bersamaan. “hmm rupanya kau laki-laki berjubah kembar. Apa alasannya kau begitu
yakin untuk memimpin jalannya perperangan ini ?” Tanya sang Raja dengan mimik
wajah yang serius. “Karna kami berdua mempunyai konsep strategi perang bagus
dan sesuai dengan kuantitas prajurit yang sedikit paduka” Ucap Astiti dengan
membesarkan pita suaranya agar terdengar seperti laki-laki yang berbicara. “Bisakah
kau jelaskan bagaimana ide strategi perang yang kau miliki ?” Tanya sang Raja
meyakinkan.
Setelah menjelaskan bagaimana strategi
perang yang akan dipakai untuk pertempuran besok, ternyata usulan Astiti dan Astuti
diterima baik oleh sang Raja. Startegi perang yang digunakan oleh kedua putri
kembar ini adalah strategi gerilya yang dipakai oleh bangsa Inggris dalam
melawan musuhnya pada saat perang dunia ke dua. “Karna hanya dengan cara ini
kita dapat membuktikan kepada semua orang bahwa wanita adalah bukan makhluk
yang lemah dan dapat diandalkan” Bisik Astiti kepada adiknya memberi semangat,
kemudian diikuti anggukan pelan adiknya tanda setuju. Setelah itu tanpa
berpikir panjang para warga menyiapkan segala perlengkapan dan kebutuhan perang
dengan di pimpinnya dua wanita jendral Raja Cotys yang dipercayai berjenis
kelamin laki-laki.
****
Kala suasana pagi itu tidak menjadi
begitu damai bagi seluruh warga kampung pacitan, karna perasaan mereka menjadi
campur aduk dengan rasa semangat berperang tetapi juga mengkhawatirkan jumlah
prajurit yang sedikit. Pagi itu Astiti dan Astuti begitu gagah mengenakan
pakaian perang beralaskan anti peluru dengan samurai panjang yang begitu kokoh
menempel di pundaknya, sehingga ia benar-benar terlihat bagaimana panglima
perang yang sesungguhnya. Darmiyati yang awalnya tidak mengizinkan justru kini
memberikan semangat kepada mereka demi mempertahankan tanah kelahiran nenek
moyang mereka yang dari dulu mati-matian menjaga kampung ini agar tidak jatuh
ke tangan orang lain. Sebuah jebakan tanah longsor di dekat tepi jalan yang di kelilingi oleh tingginya tanah sekitar
empat meter sudah dengan sempurnanya terpasang guna menghancurkan formasi strategi
musuh. Dan ternyata strategi ini berhasil dilakukan. Pada saat pasukan Kerajaan
Reshus mencoba melewati jalan setapak yang
dipasangi sebuh jebakan, sang Jendral prajurit Reshus dengan begitu begitu
bodohnya menyingkirkan sebatang kayu yang menghalangi jalan mereka. Sehingga
pada saat kayu itu disingkirkan, kedua batu yang tadinya tertahan menjadi
bergeser sehingga tanah menjadi longsor dan menimpa beberapa prajurit Kerajaan
Reshus. Dengan termakannya jebakan ini, setengah dari pasukan Kerajaan Reshus
telah gugur sebelum sampai ke medan perang akibat tertimpa tanah longsor,
sehingga dengan terpaksa Raja Reshus mengganti rencana strategi perang
cadangan.
Begitu pasukan kedua raja berkumpul
disebuah tempat yang telah ditentukan. Astiti sebagai panglima perang
memberikan kata-kata semangat juang untuk kepada para parajuritnya agar mereka
tak gentar sedikitpun melawan musuh. “Pada saat ini..pada hari ini... Jadilah
pria yang sesungguhnya!. Kau memilikinya dalam dirimu sendiri, untuk menulis
legenda yang kau inginkan.. biarkan menjadi kematian atau kemenangan!” Ucap Astuti
dengan suara yang lantang diikuti dengan tangan kanannya yang terkepal kuat
diarahkan ke langit-langit sebagai tanda bahwa perperangan siap dimulai.
Pasukan pedang Raja Reshus dengan kuda
tentaranya mulai menyerang pasukan Raja Cotys dengan lantangnya sambil
mengangkat pedangnya seraya siap menghabiskan lawannya. Sementara Astiti dan
Astuti masih berdiri tegap di barisan baling depan sambil menunggu waktu yang
tepat untuk menahan serangan lawan. “Dinding perisai, Melebar!!!” ucap Astiti
memberikan aba-aba kepada prajuritnya. Setelah pasukan kuda lawan hampir
mendekati barisan prajuritnya, Astuti menggerakkan tangannya berbentuk 45
derajat tanda memberikan aba-aba kepada pasukan pemanah kuda berjalan untuk
segera menahan datangnya serangan pasukan lawan. Dengan prajurit ahli panah
yang sangat hebat, pasukan tombak lawan gugur berjatuhan menerima busur panah
yang mematikan. “Pasukan panah.. Tembak!!!” Teriak Astuti memberikan aba-aba
kepada pemanah barisan belakang untuk menyerang kembali, akhirnya prajurit dari
Kerajaan Reshus banyak yang gugur berjatuhan akibat menerima serangan panah
dari atas langit yang begitu banyak, bagaikan rintik hujan yang berjatuhan.
Melihat pasukannya banyak yang gugur, Raja Reshus kembali memberikan aba-aba
kepada pemanah api untuk melancarkan serangannya. “Bakar mereka..” Aba-aba sang
Raja kepada prajuritnya. Melihat banyaknya panahan api yang mengincar barisan
pasukannya, Astiti memberikan aba-aba perisai berlindung kepada para
prajuritnya. “Berlindung, Lindungi sang Raja Cotys” Ucap Astuti memberi aba-aba
kembali kepada para prajuritnya. Dengan begitu sigapnya pasukan tentara Raja Cothys
membentuk perisai berlindung sehingga tak satupun dari prajuritnya terkena
serangan tersebut. Melihat dari formasi strategi perang yang begitu hebat, Raja
Reshus menjadi tidak berkutik dan terdiam sesaat. Kini keadaan pun menjadi
berbalik, prajurit kerajaan sragen menjadi sedikit. Sang Raja Cotys berdecak
kagum melihat panglima perangnya memimpin jalannya perang ini dengan sangat cerdas
dan hebat. Tanpa membuang waktu, Astiti memberikan aba-aba kepada prajuritnya
untuk segera menyerang balik pasukan sragen. Karena pasukan yang sedikit dan
melihat mimik wajah sang Raja Reshus yang ketakutan, akhirnya para prajurit Seragen
memilih mundur dan kabur dalam perperangan. Sebuah tanda bahwa prajurit
kerajaan Cotys telah memenangkan perperangan dan berhasil mempertahankan daerah
kekuasaannya. Kini yang tertinggal hanyalah raja seragen yang siap bertarung
dengan kedua panglima kerajaan Cotys yakni Astiti dan Astuti secara dua lawan
satu. Pada awalnya Astiti dan Astuti bisa menahan serangan yang dilancarkan
oleh Raja Reshus kepada dirinya, akan tetapi dikarenakan ilmu bela diri yang
dimiliki Raja lebih hebat, Pedang panjang Raja Reshus berhasil menusuk jantung
Astiti sampai ia jatuh gugur di medan perang. Melihat sang kakak kembarnya mati
tertusuk oleh pedang Raja Reshus, maka Astuti menjadi sangat marah sampai berhasil
merebut pedang Raja Seragen dan berhasil memotong leher Raja Reshus hingga
palanya terpisah dari badan. Setelah berhasil mengalahkan sang raja yang
pengecut, Astuti segera menghampiri mayat kakaknya yang sudah penuh dengan
darah segar di sekujur tubuhnya. Akan tetapi pada saat ia mecoba untuk
menghampiri mayat sang kakak, secara tiba-tiba tepat di dahinya ia menerima
busuran panah dari atas tebing sehingga membuatnya terjatuh dan tersungkur
kesakitan. Sang pelontar busur panah tersebut pun lari setelah selesai
menjalankan misinya. Dengan seketika semua prajurit menghampiri sang kedua
panglima perang yang kini telah gugur dalam perang untuk membela kampung
halamannya. Raja Cotys yang melihat keadaan tersebut hanya terlihat diam dan
begitu sedih. Karena ia kini telah kembali kehilang panglima perang yang sudah
terbukti kehebatannya dalam memimpin perang. Semua prajurit lalu membawa kedua
mayat panglima tersebut ke istana untuk segera di makamkan. Akan tetapi betapa
kagetnya sang Raja ketika membuka jubah tersebut ternyata panglima perang yang
selama ini bisa diandalkan dan ia banggakan adalah sesosok wanita kembar yang
begitu cantik dan cerdas. Sesosok makhluk berjenis kelamin perempuan yang dulu
ia haramkan keberadannya di daerah kekuasannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar