Kamis, 30 April 2015

Bisakah Aku Menyempurnakan Agamamu?

Cerpen 
Asma Karimah (1113046000055)


“Udaaa Faisaaal! Kapan mau ajak Laisa main hah?”
            Faisal, namanya Faisal Hazmi. Mahasiswa Sains dan Teknologi lulusan S1 dan S2 di salah satu Universitas Negri ternama di Bandung. Kini ia sudah kembali ke kampung halamannya, Padang tepatnya di Bukit Tinggi. Laki-laki cerdas nan tampan yang berumur 27 tahun itu setelah pulang tak sedikit wanita yang hendak berusaha mencuri hatinya. Laki-laki sholeh dan berbakti pada orang tua, yang tak pernah absen sholat tepat waktu di Masjid, bacaan Al-Qur’annya pun tartil nan indah, pantas saja wanita ingin mendapatkannya. Tapi entahlah, di umur yang sudah hampir berkepala tiga itu tak terburu-buru mencari pendamping. Sibuk dengan pencobaan-percobaannya, aku tidak tahu apa yang ia buat mana mengertilah aku tentang teknik.
            “Mamak, Uda Faisal tidak mau menemani Laisa main, Uda Faisal jahat!”
            “Yasudahlah, Laisa bermain dengan mamak saja yo? Udamu sedang sibuk.” Kata mamak menenangkan gadis kecil itu.
            “Nanti kalau Uda sudah selesai, Uda temani Laisa main. Sabar ya bidadari kecil Udaa!” sambil mencubit kedua pipi Laisa yang kemerahan, merona. Laisa pergi dengan muka kesalnya, dengan tangan yang dilipat ke dadanya, gayanya seperti orang dewasa saja.
            “Kapan kau akan menikah Faisal? Tetangga sudah menunggu undangan darimu nak. Cepat lah cari pendamping hidup” kata mamak tiba-tiba sambil mengelus bahu Faisal, Faisal hanya tersenyum tanpa jawaban. Amak pun hanya menggelengkan kepala dan pergi meniggalkan Faisal.
            Entahlah apa lagi yang ditunggu dari laki-laki itu. Bergelar sarjana sudah, pekerjaanya pun sudah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya, sholih nan tampan sudah ia miliki. Itu yang sampai saat ini masih aku fikirkan dalam pikiranku dan benakku. Dia bukannya belum menikah. Sungguh dia sudah pernah menikahi seorang wanita sholihah nan elok wajahnya. Tapi sayang sungguh sayang. Nasibnya sungguh sial. Wanita itu mengidap penyakit kaker hati stadium 3, di detik-detik terakhir nafasnya Faisal di minta untuk menikahi wanita itu. Faisal menerimanya? Tentu! Faisal benar menikahinya. Apa katanya? “Wanita ini sungguh baik, elok akhlaknya, manis rupanya dan sungguh sangat menyedihkan bila sebagian agamanya belum sempurna karena penderitaannya itu. Biarku sempurnakan separuh dari agamanya yang belum sempurna. Sungguh hanya semata-mata karena-Mu ya Allah. Ridhoi lah kami.” Akad nikah berlangsung di Rumah Sakit. Aku yang menyaksikannya hanya bisa menangis, bukan tangisan kecemburuan melainkan tangisan haru yang laki-laki itu lakukan untuk wanita yang sedang menderita itu. Dan setelah janji suci itu terucap, takdir kematian datang menghampiri wanita yang berwajah teduh dengan bibir pucat. Sang Izrail telah menjemput wanita itu. Di hari pernikahannya dengan gaun pengantin yang amat cantik kini benar-benar terlihat indah dengan senyuman perpisahannya. Faisal mengecup kening wanita itu dengan air mata yang terjatuh. Untuk pertama kalinya aku dapat melihatnya menangis.
“Yasmin!!” teriakan itu membuat lamunan ku buncah. Ternyata Yuli yang berteriak. ‘Ah mengaggetkanku saja!’ batinku.
“Hai sedang apa kau disini? Melamun saja!”
“Aku sedang menunggu mamak ku memberi hasil masakannya ke Mak Dinti”
“Oh. Kok tidak ikut masuk?” Aku hanya menggelengkan kepala. Malas menjawabnya.
“Ah aku tahu. Pasti kau malu kan takut akan bertemu dengan Uda Faisal?” mencolek dagu ku, mencoba menggoda.
“Hmm Yuliii kenapa sih di otak mu Uda Faisal lagi Uda Faisal lagi! Aku bukannya takut, hanya ingin menunggu di luar saja lebih asik melihat Laisa yang sedang bermain dengan teman-temannya. Lihat! Mereka begitu menggemaskan bukan?”
“Ah kau ini, paling bisa mengalihkan pembicaraan! Oiya, kau sudah mendengar kabar tentang Hafshah?”
“Hafshah? Kenapa dia Li? Dia baik-baik saja bukan?”
“Hmm keadaannya semakin memprihatinkan. Aku tak tega melihat keadaannya yang sekarang. Akhir-akhir ini dia sering melukai kepalanya ke tembok. Kesakitan. Dia sekarang di Rumah Sakit, kau ingin menjenguknya?”
“Masya Allah. Harus Li! Aku harus menjenguknya, dia sahabat kita! Baiklah ba’da ashar nanti aku akan menjenguknya. Kau ingin ikut?”
“Iyaa aku ikut, nanti kita pergi bersama ya” aku hana mengaggukan kepala, hendak menghampiri mamak aar mensudahi obrolan mamak dengan Mak Dinti. Ingin segera bersiap-siap menjenguk Hafshah.  Aku dan mamak pun segera pulang dan aku bersiap-siap sholat Ashar dan setelah itu aku dan Yuli pun pergi ke Rumah Sakit.
            Sesampainya kami di kamar 12, aku melihat sesosok wanita yang terlihat rapuh. Amat menyedihkan. Wanita yang cerdas dan periang itu hanya berbaring lemas di kasur. Aku menggenggam tangan lembut sang wanita hafidzoh yang berada di hadapan ku. Wajahnya memang pucat, tapi entahlah wajahnya sangat teduh di pandang. Tak dapat mengalihkan pandangan.
“Yasmin?” katanya, membuyarkan lamunan ku.
“Iya Hafshah, ini aku Yasmin, sahabat terhebatmu.” Jawab ku tetiba Yuli tersedak, mungkin ia sedikit kaget dengan kata-kataku yang begitu percaya diri. Aku hanya meliriknya dilengkapi seringai dari bibirku.
“Bagaimana keadaanmu Yasminku? Sudah lama tak menatapmu.”
“Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Bagaimana keadaanmu? Maaf kan sahabatmu ini yang tidak tahu keadaanmu seperti ini. Sungguh aku bukannya tak peduli.”
“Ya bagaimana kau mau tahu Yasmin? Kerjaan mu hanya melamun saja setiap hari. Entahlah apa yang sedang kau pikirkan.” Celetuk Yuli. Dan Hafshah hanya tersenyum,, berusaha tertawa namun tertahan oleh rasa sakitnya.
“Janganlah melamun saja Yasmin, tak baik. Tak enak dipandang.” Kata Hafshah sambil mengelus lembut pipi ku. Dan lagi-lagi aku hanya bisa berseringai hendak menampakkan gigi rapih ku kepada Hafshah, seperti ingin di periksa oleh dokter gigi saja.
            Ketika kami saling bercerita satu sama lain, bercandaan riang. Tiba-tiba ibu Hafshah datang. Aku dan Yuli menyambut kehadirannya. Dia terlihat begitu senang, entahlah apa yang membuatnya terlihat senang.
“Anakku, besok pagi kau sudah boleh pulang ke rumah.” Kata ibunya sambil membelai lembut kepala Hafshah. ‘Ah mungkin itu yang membuat dia terlihat senang.’ Batinku, mencoba memperkirakan.
 “InsyaAllah Hafshah akan baik-baik saja walaupun di rawat di rumah. Nanti kalian sering-sering lah bermain ke rumah, temani Hafshah agar tidak bosan.” Jawab ayah Hafshah dengan tutur kata yang lembut. Keluarga mereka memang sangat lembut, baik dalam tutur kata maupun dalam berperilaku. Dan kami serentak menganggukan kepala bersama.
***
            Pagi hari di langit Padang begitu cerah, udara terasa sejuk terhirup, dan matahari sudah bersiap menyinari tanah Padang ini, bersiap untuk mengeringkan baju-baju yang satu dua mulai dijemur oleh para ibu. Dan aku, tentu saja aku tidak hanya melamun di pagi yang cerah ini, aku bersiap untuk pergi ke pasar bersama mamak. Sesampainya di pasar, aku mulai mencari sayur-sayuran untuk di masak hari ini. Selesainya aku membeli sayur, aku kehilangan mamak, entahlah kemana si mamak pergi. Dan ternyata mamak sedang berbicara dengan ibu Hafshah. Sepertinya perbincangan yang serius, terlihat dari wajah mamak yang begitu serius memperhatikan. Aku menghampiri dan ketika itu pun mereka menyudahi perbincangan. Aku dan mamak pun segera pulang. Di perjalanan pulang mamak hanya diam tanpa kata hanya menampakkan wajah penuh tanda tanya, entahlah apa yang sedang mamak fikirkan.
“Mamak kau baik-baik saja kan? Wajah mamak terlihat sedang memikirkan sesuatu. Mamak sedang memikirkan utang?” mencoba mengira-ngira apa yang difikirkan mamak
“Tak usah lah kau mengatakan utang di pagi yang cerah ini Yasmin. Membuat langit menjadi suram saja. Mamak sedang memikirkan Hafshah yang sebentar lagi akan menikah.”
“Menikah? Dengan siapa mak? Yasmin tidak tahu apa-apa Hafshah akan menikah. Mamak tak usah membuat gosiplah, tak baik.”
 “Siapa lagi kalau bukan Faisal. Hanya laki-laki itu yang baik hatinya ingin menikahi Hafshah yang keadaannya tidak biasa. Sungguh baik laki-laki itu, andai kau yang menikah dengannya Yasmin. Sungguh senang lah hati mamak melihatnya.” Jawab mamak. Dan aku hanya berdiam diri mendengar jawaban mamak, entahlah aku merasa ada sesuatu yang berbeda di hati ini ketika mendengar jawaban mamak. Ingin bahagia, namun tertahan oleh perasaan sakit yang ternyata terasa lebih besar dari pada rasa bahagia. Sahabat ku Hafshah akan menikah dengan laki-laki itu. Laki-laki yang selama ini tak pernah absen aku mendoakannya di malam Qiyamulail ku. Laki-laki yang setiap harinya aku pandangi dengan sembunyi-sembunyi saat hendak pergi bekerja. Laki-laki yang ketika tersenyum dengan ku, membuat hati ini berulah, berdegup dengan kencang takut akan terdengar olehnya. Langit pagi hari ini seketika terasa begitu mendung, gelap, tanpa cahaya matahari yang terasa hangat. Mamak sepertinya tidak merasakan apa yang anaknya rasakan sekarang. Mamak hanya diam. Betapa tidak pekanya mamakku ini.
            Tiga hari kemudian, benar saja pernikahan itu terjadi. Tidak begitu mewah, sederhana saja. Aku yang sedari pagi sudah berada dirumah Hafshah, membantu persiapan pernikahan. Tenda pernikahan sudah melengkung, kursi-kursi sudah siap untuk duduk para tamu. Dan aku mendandani Hafshah dengan sederhana, tidak berlebihan kosmetik yang aku pakaiakan untuk Hafshah.
“Yasmin, aku takut.” Kata Hafshah dengan wajah terlihat gugup. “Aku takut penyakitku ini menjadi cobaan untuknya. Aku tak mau menyusahi Faisal nanti ketika kami sudah berkeluarga.”
“Hafshah, tak usah kau merasa takut. Jika memang penyakitmu ini menjadi ujian untuknya, maka akan terlihat seberapa sabar dan sayang ia untuk tetap merawatmu, melindungimu, dan tentu mencintaimu. Hafshah percayalah, Faisal bukan laki-lai yang seperti biasanya. Kau harus yakin dengannya, dan kau harus kuat jangan kalah oleh penyakitmu ini. Hafshah yang ku kenal selalu ceria dan optimis. Tetaplah menjadi sahabat ku seperti itu.” Kataku meyakinkannya. Hafshah tersenyum begitu manis ketika mendengar kata-kataku. Hafshah sudah selesai aku dandani. Dan bersiap keruangan wanita, akad pernikahan pun berlangsung, lagi-lagi aku menangis, entahlah tangisan apa ini.
            Seminggu dua minggu berlalu begitu saja, dan aku masih dengan aktifitasku seperti biasanya, mengajar anak-anak SD dan sore harinya mengajar anak-anak TPA mengaji. Hari-hariku di penuhi dengan tawa, tangis dan candaan anak-anak yang begitu menggemaskan. Sorenya ketika aku pulang dari TPA, aku melewati rumah Hafshah. Aku mendengar ada suara tangisan kesakitan dari dalam rumah itu. ‘Ada apa? Hafshah kah itu yang sedang menangis?’ batin ku. Aku hendak ingin mengahampiri rumah Hafshah, ingin melihat keadaan di dalam. Ternyata pintu itu sedikit terbuka, aku mengucapkan salam namun tidak ada yang menjawab. Aku melihat di celah pintu yang sedikit terbuka itu. Dan aku melihat Hafshah sedang membenturkan kepalanya ke tembok dengan bibir yang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Memuraja’ah hafalanannya. Aku yang melihat keadaannya seperti itu, langsung menghampirinya.
“Hafshah! Apa yang kau lakukan?” mencoba meghentikan Hafshah yang membenturkan kepalanya. Melihat kepalanya luka sedikit berdarah. Aku yang melihatnya menangis, tak tega. Aku merasakan apa yang ia rasakan sekarang. Penyakitnya itu mulai beraksi lagi. Aku memeluknya mencoba menenangkan. Saat Hafshah sudah tenang ia menatapku.
“Yasmin. Lihat lah rumahku terlihat begitu bersih dan rapih bukan? Kau tahu, aku berhasil memasak untuk makan malamku dengan Faisal. Aku berharap rasanya lezat. Kau mau mencicipinya? Cicipilah atau kau boleh ikut makan malam bersama kami.” Kata Hafshah dengan lemas sambil mencoba untuk tersenyum. Senyuman itu terlihat begitu bangga karena telah berhasil memasak untuk makan malam mereka berdua. Aku hanya menganggukan kepala sambil tersenyum, tak bisa aku menahan air mataku ini.
“Yasmin. Kau tahu, setiap hari aku selalu berusaha untuk melayani Faisal. Mencoba memberikan yang terbaik untuknya tapi lagi-lagi setiap aku ingin melayaninya, sakit di kepalaku ini berulah. Dan akhirnya Faisal yang melayaniku. Tak pernah absen merawatku ketika kepala ku mulai sakit. Faisal begitu sabar, benar katamu ia bukan laki-laki yang seperti biasanya. Dan aku bersyukur aku bisa melakukan sesuatu untuknya hari ini. Aku mohon pada mu, jangan beri tahu keadaan ku sore ini padanya, aku ingin meliahat dia istirahat.” Wanita penghafal Al-Qur’an itu menangis. Aku tak dapat berkata-kata lagi. Aku tak menyangka ternyata akan seperti ini keadaannya.
            Malam harinya setelah aku mengobati luka di kepala Hafshah, kami bersiap untuk makan malam bersama. Tak lama Faisal pulang dengan senyuman yang begitu manis untuk istrinya. Makan malam berlangsung dengan ceria, banyak yang Faisal ceritakan di masa-masa kuliahnya dulu. Dan aku untuk pertama kalinya melihat ia begitu ceria bercerita. Dan melihat Hafshah yang juga begitu antusias mendengarkan. Bersyukur aku melihat sahabatku masih bisa tersenyum.
***
            Hari-hari telah terlewat, dan keadaan Hafshah semakin memprihatinkan. Setiap hari aku sering mampir kerumahnya untuk melihat keadaannya, Faisal sampai tidak bekerja karena ingin merawat Hafshah. Takut istrinya akan membenturkan kepalanya lagi. Hafshah tidak ingin ke Rumah Sakit. Lebih baik dirumah saja katanya. Pada hari Jumat ba’da ashar, Hafshah yang sedang tidur di kamarnya tiba-tiba keluar mengagetkanku.
“Yasmin! Ayah ku datang kok tidak di suruh masuk? Suruh ayah ku masuk Yasmin. Kasian dia sudah menunggu di luar.” Katanya Hafshah mengguncang-guncang tubuh ku. Aku melihat keluar tidak ada orang di luar sana. Tentu saja tidak ada, ayah Hafshah telah meniggal 2 tahun yang lalu. Aku yang melihat keadaannya teramat sakit hati ku. Aku mencoba menyadari Hafshah. Kemudian dia pingsan. Aku mencoba menopang tubuhnya dan meminta tolong ke sekitar rumah bebberapa bapak datang hendak membantu dan kemudian tiba-tiba saja Hafshah bangun dengan merangkak-rangkak pergi ke kamar. Ketika bapak-bapak ingin membantunya, ia tidak ingin di bantu. Hafshah wanita penghafal Al-Qur’an tidak ingin tubuhnya di sentuh oleh laki-laki kecuali suaminya dalam keadaan apa pun ia tidak ingin laki-laki yang bukan mahramnya menyentuhnya. Faisal datang dan membantu Hafshah bangun, ketika itu Hafshah langsung menutup pintu dan mengunci pintu kamarnya. Faisal terus mengetuk-ngetuk pintu berusaha membuka. Di dalam kamar, Hafshah melantunkan kalimat syahadat berulang-ulang kali. Sungguh kami yang mendegarnya semakin khawatir. Dan pada beberapa menit kemudian suara itu menghilang, tidak ada lagi suara Hafshah. Kami semakin khawatir Faisal masih berusaha membuka pintu dan ketika pintu itu berhasil terbuka, Hafshah terbaring pucat di atas kasur. Dia sudah tak bernafas lagi, sudah di jemput oleh Sang Izrail. Sungguh kami tak dapat menahan kesedihan. Hafshah pun segera di mandikan dan di makamkan dekat dengan kuburan ayahnya.
            Aku tak menyangka keadaannya akan seperti itu. Sahabat masa kecil ku, wanita sang penghafal Al-Qur’an yang amat periang kini telah pergi. Aku sangat yakin, Hafshah akan ditempatkan di tempat yang begitu indah. Setelah kepergian Hafshah, Faisal masih tetap menjalani aktivitasnya seperti biasanya. ‘Malang nian nasibmu Uda Faisal, untuk kedua kalinya kau menyempurnakan agama wanita sholihah dan untuk kedua kalinya pula kau di tinggal mati.’ Batinku saat melihatnya pergi bekerja.



“Maukah kau menyempurnakan sebagian agamaku Uda? Atau mungkin aku yang menyempurnakan sebagian agamamu? Ah sama saja tidak mungkin rasannya itu terjadi, menatapnya saja tak berani. Ya bagimana pun aku harus tetap optimis suatu hari nanti aku akan menyempurnakan sebagian agamamu dengan seutuhnya. Aku yakin itu!” Aku hanya berbicara sendiri dan ternyata Faisal melihatku dan tersenyum. Aku yang sedari tadi tidak sadar dengan apa yang aku ucapkan, hanya diam dengan wajah polosku. Dan itu membuatnya semakin tersenyum bahkan ingin tertawa dan ia pun berjalan kembali. ‘Mungkinkah ia mendengarnya? Ah betapa bodohnya dirimu Yasmiiiin!’ 

1 komentar:

  1. Penulisan EYD yang baik, dan cerita yang menarik.

    Membuat pembaca ikut berkhayal tentang tokoh-tokoh yang disajikan. SEmangat Asma :D

    BalasHapus