Cerpen
Asma Karimah (1113046000055)
“Udaaa Faisaaal! Kapan mau ajak Laisa main hah?”
Faisal, namanya
Faisal Hazmi. Mahasiswa Sains dan Teknologi lulusan S1 dan S2 di salah satu
Universitas Negri ternama di Bandung. Kini ia sudah kembali ke kampung
halamannya, Padang tepatnya di Bukit Tinggi. Laki-laki cerdas nan tampan yang
berumur 27 tahun itu setelah pulang tak sedikit wanita yang hendak berusaha
mencuri hatinya. Laki-laki sholeh dan berbakti pada orang tua, yang tak pernah
absen sholat tepat waktu di Masjid, bacaan Al-Qur’annya pun tartil nan indah,
pantas saja wanita ingin mendapatkannya. Tapi entahlah, di umur yang sudah
hampir berkepala tiga itu tak terburu-buru mencari pendamping. Sibuk dengan
pencobaan-percobaannya, aku tidak tahu apa yang ia buat mana mengertilah aku tentang
teknik.
“Mamak, Uda Faisal
tidak mau menemani Laisa main, Uda Faisal jahat!”
“Yasudahlah, Laisa
bermain dengan mamak saja yo? Udamu sedang sibuk.” Kata mamak menenangkan gadis
kecil itu.
“Nanti kalau Uda
sudah selesai, Uda temani Laisa main. Sabar ya bidadari kecil Udaa!” sambil
mencubit kedua pipi Laisa yang kemerahan, merona. Laisa pergi dengan muka
kesalnya, dengan tangan yang dilipat ke dadanya, gayanya seperti orang dewasa
saja.
“Kapan kau akan
menikah Faisal? Tetangga sudah menunggu undangan darimu nak. Cepat lah cari
pendamping hidup” kata mamak tiba-tiba sambil mengelus bahu Faisal, Faisal
hanya tersenyum tanpa jawaban. Amak pun hanya menggelengkan kepala dan pergi
meniggalkan Faisal.
Entahlah apa lagi yang
ditunggu dari laki-laki itu. Bergelar sarjana sudah, pekerjaanya pun sudah
lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya, sholih nan tampan sudah ia
miliki. Itu yang sampai saat ini masih aku fikirkan dalam pikiranku dan benakku.
Dia bukannya belum menikah. Sungguh dia sudah pernah menikahi seorang wanita
sholihah nan elok wajahnya. Tapi sayang sungguh sayang. Nasibnya sungguh sial.
Wanita itu mengidap penyakit kaker hati stadium 3, di detik-detik terakhir
nafasnya Faisal di minta untuk menikahi wanita itu. Faisal menerimanya? Tentu!
Faisal benar menikahinya. Apa katanya? “Wanita ini sungguh baik, elok
akhlaknya, manis rupanya dan sungguh sangat menyedihkan bila sebagian agamanya
belum sempurna karena penderitaannya itu. Biarku sempurnakan separuh dari
agamanya yang belum sempurna. Sungguh hanya semata-mata karena-Mu ya Allah. Ridhoi
lah kami.” Akad nikah berlangsung di Rumah Sakit. Aku yang menyaksikannya hanya
bisa menangis, bukan tangisan kecemburuan melainkan tangisan haru yang
laki-laki itu lakukan untuk wanita yang sedang menderita itu. Dan setelah janji
suci itu terucap, takdir kematian datang menghampiri wanita yang berwajah teduh
dengan bibir pucat. Sang Izrail telah menjemput wanita itu. Di hari
pernikahannya dengan gaun pengantin yang amat cantik kini benar-benar terlihat
indah dengan senyuman perpisahannya. Faisal mengecup kening wanita itu dengan
air mata yang terjatuh. Untuk pertama kalinya aku dapat melihatnya menangis.
“Yasmin!!” teriakan itu membuat lamunan ku buncah. Ternyata Yuli yang
berteriak. ‘Ah mengaggetkanku saja!’ batinku.
“Hai sedang apa kau disini? Melamun saja!”
“Aku sedang menunggu mamak ku memberi hasil masakannya ke Mak
Dinti”
“Oh. Kok tidak ikut masuk?” Aku hanya menggelengkan kepala. Malas
menjawabnya.
“Ah aku tahu. Pasti kau malu kan takut akan bertemu dengan Uda
Faisal?” mencolek dagu ku, mencoba menggoda.
“Hmm Yuliii kenapa sih di otak mu Uda Faisal lagi Uda Faisal lagi!
Aku bukannya takut, hanya ingin menunggu di luar saja lebih asik melihat Laisa
yang sedang bermain dengan teman-temannya. Lihat! Mereka begitu menggemaskan
bukan?”
“Ah kau ini, paling bisa mengalihkan pembicaraan! Oiya, kau sudah
mendengar kabar tentang Hafshah?”
“Hafshah? Kenapa dia Li? Dia baik-baik saja bukan?”
“Hmm keadaannya semakin memprihatinkan. Aku tak tega melihat
keadaannya yang sekarang. Akhir-akhir ini dia sering melukai kepalanya ke
tembok. Kesakitan. Dia sekarang di Rumah Sakit, kau ingin menjenguknya?”
“Masya Allah. Harus Li! Aku harus menjenguknya, dia sahabat kita!
Baiklah ba’da ashar nanti aku akan menjenguknya. Kau ingin ikut?”
“Iyaa aku ikut, nanti kita pergi bersama ya” aku hana mengaggukan
kepala, hendak menghampiri mamak aar mensudahi obrolan mamak dengan Mak Dinti.
Ingin segera bersiap-siap menjenguk Hafshah. Aku dan mamak pun segera pulang dan aku
bersiap-siap sholat Ashar dan setelah itu aku dan Yuli pun pergi ke Rumah
Sakit.
Sesampainya kami
di kamar 12, aku melihat sesosok wanita yang terlihat rapuh. Amat menyedihkan. Wanita
yang cerdas dan periang itu hanya berbaring lemas di kasur. Aku menggenggam
tangan lembut sang wanita hafidzoh yang berada di hadapan ku. Wajahnya memang
pucat, tapi entahlah wajahnya sangat teduh di pandang. Tak dapat mengalihkan
pandangan.
“Yasmin?” katanya, membuyarkan lamunan ku.
“Iya Hafshah, ini aku Yasmin, sahabat terhebatmu.” Jawab ku tetiba
Yuli tersedak, mungkin ia sedikit kaget dengan kata-kataku yang begitu percaya
diri. Aku hanya meliriknya dilengkapi seringai dari bibirku.
“Bagaimana keadaanmu Yasminku? Sudah lama tak menatapmu.”
“Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Bagaimana keadaanmu? Maaf
kan sahabatmu ini yang tidak tahu keadaanmu seperti ini. Sungguh aku bukannya
tak peduli.”
“Ya bagaimana kau mau tahu Yasmin? Kerjaan mu hanya melamun saja
setiap hari. Entahlah apa yang sedang kau pikirkan.” Celetuk Yuli. Dan Hafshah
hanya tersenyum,, berusaha tertawa namun tertahan oleh rasa sakitnya.
“Janganlah melamun saja Yasmin, tak baik. Tak enak dipandang.” Kata
Hafshah sambil mengelus lembut pipi ku. Dan lagi-lagi aku hanya bisa
berseringai hendak menampakkan gigi rapih ku kepada Hafshah, seperti ingin di
periksa oleh dokter gigi saja.
Ketika kami saling
bercerita satu sama lain, bercandaan riang. Tiba-tiba ibu Hafshah datang. Aku dan
Yuli menyambut kehadirannya. Dia terlihat begitu senang, entahlah apa yang
membuatnya terlihat senang.
“Anakku, besok pagi kau sudah boleh pulang ke rumah.” Kata ibunya
sambil membelai lembut kepala Hafshah. ‘Ah mungkin itu yang membuat dia terlihat senang.’ Batinku, mencoba memperkirakan.
“InsyaAllah Hafshah akan
baik-baik saja walaupun di rawat di rumah. Nanti kalian sering-sering lah
bermain ke rumah, temani Hafshah agar tidak bosan.” Jawab ayah Hafshah dengan
tutur kata yang lembut. Keluarga mereka memang sangat lembut, baik dalam tutur
kata maupun dalam berperilaku. Dan kami serentak menganggukan kepala bersama.
***
Pagi hari di
langit Padang begitu cerah, udara terasa sejuk terhirup, dan matahari sudah
bersiap menyinari tanah Padang ini, bersiap untuk mengeringkan baju-baju yang satu
dua mulai dijemur oleh para ibu. Dan aku, tentu saja aku tidak hanya melamun di
pagi yang cerah ini, aku bersiap untuk pergi ke pasar bersama mamak. Sesampainya
di pasar, aku mulai mencari sayur-sayuran untuk di masak hari ini. Selesainya aku
membeli sayur, aku kehilangan mamak, entahlah kemana si mamak pergi. Dan ternyata
mamak sedang berbicara dengan ibu Hafshah. Sepertinya perbincangan yang serius,
terlihat dari wajah mamak yang begitu serius memperhatikan. Aku menghampiri dan
ketika itu pun mereka menyudahi perbincangan. Aku dan mamak pun segera pulang.
Di perjalanan pulang mamak hanya diam tanpa kata hanya menampakkan wajah penuh
tanda tanya, entahlah apa yang sedang mamak fikirkan.
“Mamak kau baik-baik saja kan? Wajah mamak terlihat sedang
memikirkan sesuatu. Mamak sedang memikirkan utang?” mencoba mengira-ngira apa
yang difikirkan mamak
“Tak usah lah kau mengatakan utang di pagi yang cerah ini Yasmin. Membuat
langit menjadi suram saja. Mamak sedang memikirkan Hafshah yang sebentar lagi
akan menikah.”
“Menikah? Dengan siapa mak? Yasmin tidak tahu apa-apa Hafshah akan
menikah. Mamak tak usah membuat gosiplah, tak baik.”
“Siapa lagi kalau bukan
Faisal. Hanya laki-laki itu yang baik hatinya ingin menikahi Hafshah yang
keadaannya tidak biasa. Sungguh baik laki-laki itu, andai kau yang menikah
dengannya Yasmin. Sungguh senang lah hati mamak melihatnya.” Jawab mamak. Dan aku
hanya berdiam diri mendengar jawaban mamak, entahlah aku merasa ada sesuatu
yang berbeda di hati ini ketika mendengar jawaban mamak. Ingin bahagia, namun
tertahan oleh perasaan sakit yang ternyata terasa lebih besar dari pada rasa
bahagia. Sahabat ku Hafshah akan menikah dengan laki-laki itu. Laki-laki yang
selama ini tak pernah absen aku mendoakannya di malam Qiyamulail ku. Laki-laki
yang setiap harinya aku pandangi dengan sembunyi-sembunyi saat hendak pergi
bekerja. Laki-laki yang ketika tersenyum dengan ku, membuat hati ini berulah,
berdegup dengan kencang takut akan terdengar olehnya. Langit pagi hari ini
seketika terasa begitu mendung, gelap, tanpa cahaya matahari yang terasa
hangat. Mamak sepertinya tidak merasakan apa yang anaknya rasakan sekarang. Mamak
hanya diam. Betapa tidak pekanya mamakku ini.
Tiga hari
kemudian, benar saja pernikahan itu terjadi. Tidak begitu mewah, sederhana
saja. Aku yang sedari pagi sudah berada dirumah Hafshah, membantu persiapan
pernikahan. Tenda pernikahan sudah melengkung, kursi-kursi sudah siap untuk duduk
para tamu. Dan aku mendandani Hafshah dengan sederhana, tidak berlebihan
kosmetik yang aku pakaiakan untuk Hafshah.
“Yasmin, aku takut.” Kata Hafshah dengan wajah terlihat gugup. “Aku
takut penyakitku ini menjadi cobaan untuknya. Aku tak mau menyusahi Faisal
nanti ketika kami sudah berkeluarga.”
“Hafshah, tak usah kau merasa takut. Jika memang penyakitmu ini menjadi
ujian untuknya, maka akan terlihat seberapa sabar dan sayang ia untuk tetap
merawatmu, melindungimu, dan tentu mencintaimu. Hafshah percayalah, Faisal
bukan laki-lai yang seperti biasanya. Kau harus yakin dengannya, dan kau harus
kuat jangan kalah oleh penyakitmu ini. Hafshah yang ku kenal selalu ceria dan
optimis. Tetaplah menjadi sahabat ku seperti itu.” Kataku meyakinkannya. Hafshah
tersenyum begitu manis ketika mendengar kata-kataku. Hafshah sudah selesai aku
dandani. Dan bersiap keruangan wanita, akad pernikahan pun berlangsung,
lagi-lagi aku menangis, entahlah tangisan apa ini.
Seminggu dua
minggu berlalu begitu saja, dan aku masih dengan aktifitasku seperti biasanya,
mengajar anak-anak SD dan sore harinya mengajar anak-anak TPA mengaji. Hari-hariku
di penuhi dengan tawa, tangis dan candaan anak-anak yang begitu menggemaskan. Sorenya
ketika aku pulang dari TPA, aku melewati rumah Hafshah. Aku mendengar ada suara
tangisan kesakitan dari dalam rumah itu. ‘Ada apa? Hafshah kah itu yang
sedang menangis?’ batin ku. Aku hendak ingin mengahampiri rumah Hafshah,
ingin melihat keadaan di dalam. Ternyata pintu itu sedikit terbuka, aku
mengucapkan salam namun tidak ada yang menjawab. Aku melihat di celah pintu
yang sedikit terbuka itu. Dan aku melihat Hafshah sedang membenturkan kepalanya
ke tembok dengan bibir yang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Memuraja’ah
hafalanannya. Aku yang melihat keadaannya seperti itu, langsung menghampirinya.
“Hafshah! Apa yang kau lakukan?” mencoba meghentikan Hafshah yang
membenturkan kepalanya. Melihat kepalanya luka sedikit berdarah. Aku yang
melihatnya menangis, tak tega. Aku merasakan apa yang ia rasakan sekarang. Penyakitnya
itu mulai beraksi lagi. Aku memeluknya mencoba menenangkan. Saat Hafshah sudah
tenang ia menatapku.
“Yasmin. Lihat lah rumahku terlihat begitu bersih dan rapih bukan? Kau
tahu, aku berhasil memasak untuk makan malamku dengan Faisal. Aku berharap
rasanya lezat. Kau mau mencicipinya? Cicipilah atau kau boleh ikut makan malam
bersama kami.” Kata Hafshah dengan lemas sambil mencoba untuk tersenyum. Senyuman
itu terlihat begitu bangga karena telah berhasil memasak untuk makan malam
mereka berdua. Aku hanya menganggukan kepala sambil tersenyum, tak bisa aku
menahan air mataku ini.
“Yasmin. Kau tahu, setiap hari aku selalu berusaha untuk melayani
Faisal. Mencoba memberikan yang terbaik untuknya tapi lagi-lagi setiap aku ingin
melayaninya, sakit di kepalaku ini berulah. Dan akhirnya Faisal yang melayaniku.
Tak pernah absen merawatku ketika kepala ku mulai sakit. Faisal begitu sabar,
benar katamu ia bukan laki-laki yang seperti biasanya. Dan aku bersyukur aku
bisa melakukan sesuatu untuknya hari ini. Aku mohon pada mu, jangan beri tahu
keadaan ku sore ini padanya, aku ingin meliahat dia istirahat.” Wanita penghafal
Al-Qur’an itu menangis. Aku tak dapat berkata-kata lagi. Aku tak menyangka
ternyata akan seperti ini keadaannya.
Malam harinya
setelah aku mengobati luka di kepala Hafshah, kami bersiap untuk makan malam
bersama. Tak lama Faisal pulang dengan senyuman yang begitu manis untuk
istrinya. Makan malam berlangsung dengan ceria, banyak yang Faisal ceritakan di
masa-masa kuliahnya dulu. Dan aku untuk pertama kalinya melihat ia begitu ceria
bercerita. Dan melihat Hafshah yang juga begitu antusias mendengarkan. Bersyukur
aku melihat sahabatku masih bisa tersenyum.
***
Hari-hari telah
terlewat, dan keadaan Hafshah semakin memprihatinkan. Setiap hari aku sering
mampir kerumahnya untuk melihat keadaannya, Faisal sampai tidak bekerja karena
ingin merawat Hafshah. Takut istrinya akan membenturkan kepalanya lagi. Hafshah
tidak ingin ke Rumah Sakit. Lebih baik dirumah saja katanya. Pada hari Jumat ba’da
ashar, Hafshah yang sedang tidur di kamarnya tiba-tiba keluar mengagetkanku.
“Yasmin! Ayah ku datang kok tidak di suruh masuk? Suruh ayah ku
masuk Yasmin. Kasian dia sudah menunggu di luar.” Katanya Hafshah mengguncang-guncang
tubuh ku. Aku melihat keluar tidak ada orang di luar sana. Tentu saja tidak
ada, ayah Hafshah telah meniggal 2 tahun yang lalu. Aku yang melihat keadaannya
teramat sakit hati ku. Aku mencoba menyadari Hafshah. Kemudian dia pingsan. Aku
mencoba menopang tubuhnya dan meminta tolong ke sekitar rumah bebberapa bapak
datang hendak membantu dan kemudian tiba-tiba saja Hafshah bangun dengan
merangkak-rangkak pergi ke kamar. Ketika bapak-bapak ingin membantunya, ia
tidak ingin di bantu. Hafshah wanita penghafal Al-Qur’an tidak ingin tubuhnya
di sentuh oleh laki-laki kecuali suaminya dalam keadaan apa pun ia tidak ingin
laki-laki yang bukan mahramnya menyentuhnya. Faisal datang dan membantu Hafshah
bangun, ketika itu Hafshah langsung menutup pintu dan mengunci pintu kamarnya. Faisal
terus mengetuk-ngetuk pintu berusaha membuka. Di dalam kamar, Hafshah
melantunkan kalimat syahadat berulang-ulang kali. Sungguh kami yang mendegarnya
semakin khawatir. Dan pada beberapa menit kemudian suara itu menghilang, tidak
ada lagi suara Hafshah. Kami semakin khawatir Faisal masih berusaha membuka
pintu dan ketika pintu itu berhasil terbuka, Hafshah terbaring pucat di atas
kasur. Dia sudah tak bernafas lagi, sudah di jemput oleh Sang Izrail. Sungguh kami
tak dapat menahan kesedihan. Hafshah pun segera di mandikan dan di makamkan
dekat dengan kuburan ayahnya.
Aku tak menyangka
keadaannya akan seperti itu. Sahabat masa kecil ku, wanita sang penghafal
Al-Qur’an yang amat periang kini telah pergi. Aku sangat yakin, Hafshah akan
ditempatkan di tempat yang begitu indah. Setelah kepergian Hafshah, Faisal
masih tetap menjalani aktivitasnya seperti biasanya. ‘Malang nian nasibmu Uda
Faisal, untuk kedua kalinya kau menyempurnakan agama wanita sholihah dan untuk
kedua kalinya pula kau di tinggal mati.’ Batinku saat melihatnya pergi bekerja.
“Maukah kau menyempurnakan sebagian agamaku Uda? Atau mungkin aku
yang menyempurnakan sebagian agamamu? Ah sama saja tidak mungkin rasannya itu
terjadi, menatapnya saja tak berani. Ya bagimana pun aku harus tetap optimis
suatu hari nanti aku akan menyempurnakan sebagian agamamu dengan seutuhnya. Aku
yakin itu!” Aku hanya berbicara sendiri dan ternyata Faisal melihatku dan
tersenyum. Aku yang sedari tadi tidak sadar dengan apa yang aku ucapkan, hanya
diam dengan wajah polosku. Dan itu membuatnya semakin tersenyum bahkan ingin
tertawa dan ia pun berjalan kembali. ‘Mungkinkah ia mendengarnya? Ah betapa
bodohnya dirimu Yasmiiiin!’
Penulisan EYD yang baik, dan cerita yang menarik.
BalasHapusMembuat pembaca ikut berkhayal tentang tokoh-tokoh yang disajikan. SEmangat Asma :D