Senin, 06 April 2015

Senja di Pantai


Syarifatul Jannah 1113046000076
            Pukul empat lebih tiga puluh, suatu sore yang damai memandangi air di pantai. Matahari yang biasanya condong ke barat, memancarkan sisa sinarnya, sekarang belum muncul. Memang seharian ini cuaca mendung, senja yang cantik datang terlambat. Pukul lima, senja mulai nampak. Sinarnya yang tidak begitu cerah, membuat burung-burung berterbangan di sekitarnya. Nampak indah, mataku seperti tersihir melihat pemandangannya.
            Pada saat sekarang ini, kebanyakan nelayan sudah pulang membawa ikan hasil tangkapannya. Yang masih tersisa adalah mereka yang memang jauh-jauh datang ke pantai untuk melihat sunset. Tak terdengar suara motor dengan knalpot yang memengkakkan telinga, yang biasa dimainkan oleh beberapa remaja sebaga aksi seru-seruan mereka.
            Bangku panjang terletak kira-kira lima meter di kananku, yang setiap sore tak pernah sepi karena memang bangku panjang itu menjadi langganan ibu-ibu untuk sekedar melihat keramaian dermaga di pinggir pantai. Banyak nelayan yang lalu-lalang  membawa baju kotor dan beberapa hasil tangkapannya, wajahnya terlihat begitu letih. Wajar saja mereka berangkat dari jam empat pagi, namun ada guratan senyum di wajahnya, pasti hasil tangkapannya memuaskan hati mereka. Syukurlah.


            Di sekelilingku yang jelas terdengar adalah suara Umi dan Bibi Anung, mereka asyik sekali kalau sudah ngobrol berdua. Dermaga yang kira-kira dua belas meter di sebelah kanan, mulai ramai oleh muda-mudi, menghabiskan minggu panjang di sana. Sepanjang hari tadi, sejak pagi, para nelayanlah yang melewati dermaga itu untuk naik ke perahu miliknya. Para nelayan itu jauh lebih sopan, setidaknya sampah makanan beliau tidak dibuang sembarangan di tubuh dermaga.
            Burung-burung seripit terbang mengikuti arah angin, tak terdengar cicit mereka, yang terdengar suara anak-anak kecil yang berman sepeda, disela-sela suara orang dewasa yang tertawa terbahak-bahak entah menertawakan apa, deru motor, dan bunyi mangkuk tukang bakso namun belum terlihat gerobak si Abang bakso.
            Dari sebelah kanan, di seberang Pulau Seribu, terdengar sayup-sayup suara mesin kapal perahu menuju arah sini, terdengar pula anak-anak yang sedang memancing d pinggir pantai. Mereka senang sekali memancing, anehnya walaupun di pinggir pantai, setidaknya ikan satu ekor selalu mereka peroleh. Suara Rajib, pemancing cilik, terdengar bahagia mendapatkan ikan lebih cepat daripada teman-temannya.
            Umi dan Bibi Anung telah selesai ngobrol, lalu mereka pulang ke rumah. Mereka mengajakku untuk pulang juga, aku menolak karena masih ingin duduk di pinggir pantai yang damai dengan gelombang ombak yang lembut. Rintik-rintik hujan mulai turun dari langit, rintik-rintik hujan tidak membuat yang lain untuk pulang ke rumah masing-masing, malah dengan datang rintik hujan suasana menjadi semakin menyenangkan.
            Rintik-rintik hujan sudah berhenti, awan mulai agak cerah. Tiba-tiba terdengar suara anak-anak mengatakan “pelangi” sambil menunjuk jari mungilnya ke langit. Pandanganku langsung melihat langit, memastikan ucapan bocah lucu itu, ternyata benar ada pelangi. Mereka malah menyanyikan lagu pelangi, gemas sekali melihat mereka. Aku bersyukur bisa melihat keindahan Tuhan sekaligus, pelangi dan anak-anak kecil yang lucu.
            Pukul delapan nanti aka nada gerhana bulan, namun banyak yang belum mengetahuinya. Umi ditanyakan akan hal ini, jawabannya “tidak tahu”. Aku segera membersihkan tubuhku, sebelum diperintah oleh Umi, sementara pantaiku akan tertidur lelap sepanjang malam, mengumpulkan tenaga untuk esok hari menghadapi sentuhan pancing para nelayan.

2 komentar:

  1. Sarab saya ketika penulisan pukul lima, mungkin perlu ditambahkan pukul lima sore. dan kata ngobrol akan lebih bagus mungkin jika di ganti dengan berbicara. Terima kasih

    BalasHapus
  2. Sarab? Saran kali ya :))

    Terima kasih sarannya, untuk menanggapi saran saudara @zaima latifah
    Mengapa penulis tidak menambahkan sore, karena senja terjadi di sore hari maka pembaca sudah mengetahuinya bahwa jam 5 sore. sehingga tidak terjadi pemborosan kata ^^

    Untuk kata "ngobrol", mengapa penulis memberikan kata "ngobrol" karena sebagai ungkapan bahwa tokoh Umi dan Bi Anung ini memang sangat akrab dan membahas topik yang santai, bukan yang serius dengan pemaparan persentasi sehingga menggunakan kata "berbicara" seperti formal jatuhnya :))

    Syarifatul Jannah ^^

    BalasHapus