Kamis, 30 April 2015

Mahar Cinta L Arc De Triomphe oleh Syarifatul Jannah (1113046000076)



Cinta, sebuah perasaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Entah itu kata sayang, perhatian maupun pengertian. Cinta begitu penting bagi semua orang, karena tanpa cinta, dunia akan terasa gelap dan tak akan ada lagi semangat untuk meneruskan hidup! Begitupun aku. Aku hidup untuk mencari cinta suci di tengah temaramnya fatamorgana dunia. Seolah energi yang kupunya hampir punah saat ini. Tapi, aku tak ingin semangatku mati tanpa menemuinya dan membertitahunya betapa aku merindukannya.
“Kamu pergi berapa lama, Ris?”
Diriku terus bertanya hal yang sama pada menjelang dia akan pergi ke Prancis untuk urusan bisnisnya. Tapi dia sama sekali tak menggubrisku. “Ayolah Ris, beritahu aku” aku tak mengerti mengapa dia tak pernah menjawabnya. Aku hanya bertanya “berapa lama dia akan meninggalkanku” apa aku salah bertanya seperti itu, padahal aku adalah kekasihnya.
Hari itu pun tiba. Rasanya aku ingin menangis didekapannya untuk yang terakhir kalinya sebelum dia pergi meninggalkanku dalam waktu yang entah sampai kapan.
“Ris, kamu serius gak mau kasih tau aku kapan kamu pulang lagi ke Indonesia?” tanyaku lagi.
“Putri sayang, aku pun tak tahu kapan aku kembali. Tapi yang perlu kamu tahu kalau aku mencintaimu. Aku akan kembali untukmu. Bersamamu…”
“Tapi, Ris...”
“Putri, jarak gak mungkin memisahkan cinta kita. Dan saat aku kembali, aku akan menikahimu sehari sesudahnya”
“Kamu gila. Bagaimana mungkin aku akan siap?”
“Aku gak perlu persiapan apapun dari kamu”
“Bagaimana bisa, Ris. Gimana kalau saat kamu kembali, aku berpaling darimu?”
“Aku tahu kamu, Put. Kamu akan tetap setia menungguku”
Saat selesai berkata demikian, Haris mendekap tubuhku. Dia juga mencium puncak kepalaku dalam dekapannya. Entah mengapa, aku begitu takut sekali saat itu, taku akan kehilanganmu, Ris.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Dan terus berlanjut selama hampir 4 tahun lamanya. Aku merasa lelah. Aku lelah menunggu yang tak pasti. “Kejam sekali kau, Haris. Aku kekasihmu tapi tak sedikitpun kau memberitahu kabarmu padaku secara langsung” gumamku saat hujan turun membasahi bumi, seperti mengetahui bahwa perasaanku sekarang sedang sedih.
“Putri, move on, kamu gak bisa terus-terusan kayak gini, Put” ucap seorang sahabatku, Liza.
“Aku percaya Haris, Za”
“Bagaimana bisa? Bahkan sudah 4 tahun sejak dia meninggalkanmu, dia bahkan tak pernah mencoba menghubungimu. Hanya berlembar-lembar surat. Kamu bahkan tak akan pernah tahu bagaimana suaranya saat mengucapkan kata-kata dari isi surat itu?” protesnya
Ah iya, Liza memang tak begitu menyukai Haris. Jadi kurasa mengucapkan hal seperti itu sangatlah mudah untuknya.
“Putri Putri” panggilnya. Nada keputusasaan terdengar jelas saat dia mengucapkan namaku.
Seperti biasa, aku selalu menunggu kedatangan surat yang dituliskan Haris, untukku. Biasanya, akan ada surat di dalam kotak surat di depan rumahku saat pergantian bulan di kalender. Tapi sampai sekarang, aku tak menemui selembar surat pun di dalam sana.
Jantungku berdetak lebih cepat sekarang. Aku tak tahu mengapa. Dan kuputuskan untuk berhenti mengharapkannya…
“Kamu kenapa jadi begini, sih, Put?” cemas Liza. Kulihat di sudut matanya ada setitik cairan bening tergantung di ujung pelupuknya dan akhirnya terjatuh membasahi pipinya.
Kini sudah hampir menginjak tahun ke 5 semenjak Haris meninggalkanku. Dan sudah setahun ini dia tak memberi kabar. Aku semakin lelah. Harapanku kini hampir memudar. Tapi aku masih menyisakan kerinduanku untuknya. “Oh Haris kemana kabarmu belakangan ini, sudah setahun kau tak mengabariku?”
Hari itu suara dering handphone memecahkan lamunanku. Sebuah nomor tak bernama menelponku berkali-kali. Dan saat aku mengangkatnya, terdengar jelas suara Haris di seberang sana menanyakan kabarku. Hatiku terlonjak senang saat mengetahui bahwa dia akan pulang karena pekerjaannya telah selesai disana.
Hari itu, tak seperti biasanya. Liza yang biasanya tak menyukai Haris seketika memberikan tawaran untuk mengantarkanku menjemput Haris di Bandara Soekarno Hatta. “Serius Za, kamu mau?” tanyaku tak percaya.
“aku hanya tak ingin membiarkanmu sendiri ke sana dengan keadaanmu yang seperti ini, Putri”
“Ayolah, Za. Aku sehat kok”
Tak biasanya jalanan kota Jakarta di hari liburan seperti ini lumayan sepi. Sehingga mempercepat laju kendaraan kami. Tapi aku merasa tubuhku semakin lemah. Dan seketika menjadi gelap.
“Putri, sayang, bangun dong. Ini aku, Haris. Aku ingin melihat bola matamu yang kecokelat-cokelatan…” aku mendengar suara yang kurindukan. Kurasa telapak tanganku hangat dan basah saat ini. Tuhan, kenapa mataku begitu berat? Aku juga ingin melihat mata indahnya, Tuhan… resahku dalam hati.
“Ini semua gara-gara kamu, Ris. Dari awal aku gak suka kamu dekati Putri. Dan gara-gara kamu gak ngasih Putri kabar setahun terakhir ini, Putri jadi kehilangan semangat hidupnya. Apasih susahnya kamu ngasih kabar? Emangnya di Prancis sana gak ada alat komunikasi bahkan kertas yang kamu gunakan untuk menulis surat kehabisan dan tak tersisa satu pun apa?”
Kini kudengar suara Liza yang terlihat sangat marah. “Oh Za, kenapa kamu harus memarahi Haris? Lebih baik aku yang kau marahi daripada Haris”. Balasku dalam hati.
Kini kukerahkan semua tenagaku. Aku tak ingin mendengar lebih banyak lagi. Aku ingin giliran mereka yang mendengarkan suaraku. Kukumpulkan segenap tenaga yang tersisa walau hanya untuk membuka mata. Dan akhirnya..
“Haris.. Liza..” ucapku lemah.
“Putriiii!!” ucap mereka bersamaan.
“Hey, kamu cantik banget. Mata dan wajah kamu tak banyak perubahan. Justru semakin cantik bagiku”
“Berhenti menggombaliku, Ris. Kau tak berubah. Masih seperti yang dulu” ucapku dengan suara yang terdengar lemah dan semakin pelan.
“Sesuai janjiku, aku akan menikahimu besok, Putri”
“Gila kau, Ris!! Lihat keadaan Putri, apa menurutmu dia bisa menikah dalam keadaannya yang seperti ini?” amarah Liza memuncak.
“Aku mencintainya, Za. Aku mohon kamu merestuiku dengan Putri”.
Liza tak menjawab permintaan Haris. Dia hanya melihatku dan menatapku dalam hening. Cairan bening pun kini menetes dari 3 pasang mata saat ini.
“Haris, sungguh aku tak ingin menagih janjimu. Melihatmu berada di sampingku saat ini, itu sudah cukup bagiku. Cukup untuk menghilangkan segala kerinduanku selama 5 tahun ini, Ris. Dan untuk Liza, aku sangat menyanyangimu. Terima kasih telah menjadi sahabatku selama hampir 7 tahun kita bersahabat. Terima kasih telah memberiku kasih sayang yang tak pernah kudapat semenjak aku kehilangan semua keluargaku. Aku menyanyangi kalian…”
Saat menyelesaikan kata-kata yang begitu panjangnya, tiba-tiba aku merasakan suatu keajaiban yang terjadi pada diriku. Tubuhku merasa ringan, merasa agak baikan. Aku bangun dari tempatku berbaring selama setahun ini, tubuhku yang baru saja dalam keadaan duduk, langsung dengan cepatnya Haris memelukku sangat erat. Erat sekali. Dia berjanji, esok malam akan menjadi malam yang tak akan terlupakan oleh aku dan dirinya.
Pagi buta aku sudah dibangunkan dengan sentuhan lembutnya yang menyentuh keningku. Ia mengajakku pergi ke Kediri, melihat keindahan Monumen Kediri. Aku bersemangat untuk berjalan-jalan bersamanya. Sudah 5 tahun aku menunggu momen bersamanya, dan akhirnya hari ini keinginanku tercapai.
Tiba di sana, kami makan di tempat makan sederhana namun makananya sangat khas sekali dengan cita rasa Indonesia
“Aku kangen sekali rasa getuk pisang ini, Put. Dulu waktu kursus di Kampung Inggris aku senang sekali dengan getuk pisang ini. Cobain deh, enak loh!”
Aku mencicipi getuk pisang, penasaran dengan rasanya. Dan ternyata rasanya memang sangat enak, perpaduan rasa asam dan manis yang alami. Indonesia banget. Akhirnya aku ketagihan. Haris hanya tertawa melihat aku menghabiskan getuk pisang miliknya.
Malam pun tiba, aku dan Haris sudah berada tepat di depan sebuah menara yang mirip dengan Menara L Arc De Triomphe di Prancis. Nama menara ini adalah Menara Simpang Lima Gumul Kediri. Nampak indah di malam hari. Haris merangkul bahuku dan membisikan tepat di telingaku “will you marry me?”. Tersentak aku sangat terkejut dengan ucapannya yang sangat cocok dengan suasana malam ini. So sweet.
Haris mengulangnya lagi, dengan nada yang membuat semua orang tertuju kepada kami. Kemudian semua orang menunggu jawabanku. Nafasku benar-benar sesak dengan perlakuan Haris yang membuat mukaku seperti kepiting rebus. Akhirnya aku menjawab dengan anggukan kepalaku, karena aku tak bisa berucap apa-apa karena begitu bahagianya. Semua orang bertepuk tangan ramai, senang melihat kemesraan kami.
Satu yang tak akan kulupakan dalam hidupku, mahar cinta L Arc De Triomphe tiruan dari Harisku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar