Cinta, sebuah perasaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Entah itu kata sayang, perhatian maupun pengertian. Cinta begitu penting bagi
semua orang, karena tanpa cinta, dunia akan terasa gelap dan tak akan ada lagi
semangat untuk meneruskan hidup! Begitupun aku. Aku hidup untuk mencari cinta
suci di tengah temaramnya fatamorgana dunia. Seolah energi yang kupunya hampir
punah saat ini. Tapi, aku tak ingin semangatku mati tanpa menemuinya dan
membertitahunya betapa aku merindukannya.
“Kamu pergi berapa lama, Ris?”
Diriku terus bertanya hal yang sama pada menjelang dia akan pergi
ke Prancis untuk urusan bisnisnya. Tapi dia sama sekali tak menggubrisku.
“Ayolah Ris, beritahu aku” aku tak mengerti mengapa dia tak pernah menjawabnya.
Aku hanya bertanya “berapa lama dia akan meninggalkanku” apa aku salah bertanya
seperti itu, padahal aku adalah kekasihnya.
Hari itu pun tiba. Rasanya aku ingin menangis didekapannya untuk
yang terakhir kalinya sebelum dia pergi meninggalkanku dalam waktu yang entah
sampai kapan.
“Ris, kamu serius gak mau kasih tau aku kapan kamu pulang lagi ke
Indonesia?” tanyaku lagi.
“Putri sayang, aku pun tak tahu kapan aku kembali. Tapi yang perlu kamu tahu kalau aku mencintaimu. Aku akan kembali untukmu. Bersamamu…”
“Putri sayang, aku pun tak tahu kapan aku kembali. Tapi yang perlu kamu tahu kalau aku mencintaimu. Aku akan kembali untukmu. Bersamamu…”
“Tapi, Ris...”
“Putri, jarak gak mungkin memisahkan cinta kita. Dan saat aku
kembali, aku akan menikahimu sehari sesudahnya”
“Kamu gila. Bagaimana mungkin aku akan siap?”
“Aku gak perlu persiapan apapun dari kamu”
“Bagaimana bisa, Ris. Gimana kalau saat kamu kembali, aku berpaling
darimu?”
“Aku tahu kamu, Put. Kamu akan tetap setia menungguku”
Saat
selesai berkata demikian, Haris mendekap tubuhku. Dia juga mencium puncak
kepalaku dalam dekapannya. Entah mengapa, aku begitu takut sekali saat itu,
taku akan kehilanganmu, Ris.
Hari
demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Dan terus berlanjut selama
hampir 4 tahun lamanya. Aku merasa lelah. Aku lelah menunggu yang tak pasti. “Kejam
sekali kau, Haris. Aku kekasihmu tapi tak sedikitpun kau memberitahu kabarmu
padaku secara langsung” gumamku saat hujan turun membasahi bumi, seperti
mengetahui bahwa perasaanku sekarang sedang sedih.
“Putri, move
on, kamu gak bisa terus-terusan kayak gini, Put” ucap seorang sahabatku,
Liza.
“Aku percaya Haris, Za”
“Aku percaya Haris, Za”
“Bagaimana
bisa? Bahkan sudah 4 tahun sejak dia meninggalkanmu, dia bahkan tak pernah
mencoba menghubungimu. Hanya berlembar-lembar surat. Kamu bahkan tak akan
pernah tahu bagaimana suaranya saat mengucapkan kata-kata dari isi surat itu?” protesnya
Ah iya, Liza
memang tak begitu menyukai Haris. Jadi kurasa mengucapkan hal seperti itu
sangatlah mudah untuknya.
“Putri
Putri” panggilnya. Nada keputusasaan terdengar jelas saat dia mengucapkan
namaku.
Seperti
biasa, aku selalu menunggu kedatangan surat yang dituliskan Haris, untukku.
Biasanya, akan ada surat di dalam kotak surat di depan rumahku saat pergantian
bulan di kalender. Tapi sampai sekarang, aku tak menemui selembar surat pun di
dalam sana.
Jantungku
berdetak lebih cepat sekarang. Aku tak tahu mengapa. Dan kuputuskan untuk
berhenti mengharapkannya…
“Kamu
kenapa jadi begini, sih, Put?” cemas Liza. Kulihat di sudut matanya ada setitik
cairan bening tergantung di ujung pelupuknya dan akhirnya terjatuh membasahi
pipinya.
Kini sudah
hampir menginjak tahun ke 5 semenjak Haris meninggalkanku. Dan sudah setahun
ini dia tak memberi kabar. Aku semakin lelah. Harapanku kini hampir memudar.
Tapi aku masih menyisakan kerinduanku untuknya. “Oh Haris kemana kabarmu
belakangan ini, sudah setahun kau tak mengabariku?”
Hari itu
suara dering handphone memecahkan lamunanku. Sebuah nomor tak bernama
menelponku berkali-kali. Dan saat aku mengangkatnya, terdengar jelas suara Haris
di seberang sana menanyakan kabarku. Hatiku terlonjak senang saat mengetahui
bahwa dia akan pulang karena pekerjaannya telah selesai disana.
Hari
itu, tak seperti biasanya. Liza yang biasanya tak menyukai Haris seketika
memberikan tawaran untuk mengantarkanku menjemput Haris di Bandara Soekarno
Hatta. “Serius Za, kamu mau?” tanyaku tak percaya.
“aku
hanya tak ingin membiarkanmu sendiri ke sana dengan keadaanmu yang seperti ini,
Putri”
“Ayolah, Za. Aku sehat kok”
“Ayolah, Za. Aku sehat kok”
Tak biasanya
jalanan kota Jakarta di hari liburan seperti ini lumayan sepi. Sehingga
mempercepat laju kendaraan kami. Tapi aku merasa tubuhku semakin lemah. Dan
seketika menjadi gelap.
“Putri,
sayang, bangun dong. Ini aku, Haris. Aku ingin melihat bola matamu yang kecokelat-cokelatan…”
aku mendengar suara yang kurindukan. Kurasa telapak tanganku hangat dan basah
saat ini. Tuhan, kenapa mataku begitu berat? Aku juga ingin melihat mata indahnya,
Tuhan… resahku dalam hati.
“Ini
semua gara-gara kamu, Ris. Dari awal aku gak suka kamu dekati Putri. Dan
gara-gara kamu gak ngasih Putri kabar setahun terakhir ini, Putri jadi
kehilangan semangat hidupnya. Apasih susahnya kamu ngasih kabar? Emangnya di Prancis
sana gak ada alat komunikasi bahkan kertas yang kamu gunakan untuk menulis
surat kehabisan dan tak tersisa satu pun apa?”
Kini
kudengar suara Liza yang terlihat sangat marah. “Oh Za, kenapa kamu harus
memarahi Haris? Lebih baik aku yang kau marahi daripada Haris”. Balasku dalam
hati.
Kini
kukerahkan semua tenagaku. Aku tak ingin mendengar lebih banyak lagi. Aku ingin
giliran mereka yang mendengarkan suaraku. Kukumpulkan segenap tenaga yang
tersisa walau hanya untuk membuka mata. Dan akhirnya..
“Haris..
Liza..” ucapku lemah.
“Putriiii!!”
ucap mereka bersamaan.
“Hey,
kamu cantik banget. Mata dan wajah kamu tak banyak perubahan. Justru semakin
cantik bagiku”
“Berhenti menggombaliku, Ris. Kau tak berubah. Masih seperti yang dulu” ucapku dengan suara yang terdengar lemah dan semakin pelan.
“Berhenti menggombaliku, Ris. Kau tak berubah. Masih seperti yang dulu” ucapku dengan suara yang terdengar lemah dan semakin pelan.
“Sesuai
janjiku, aku akan menikahimu besok, Putri”
“Gila
kau, Ris!! Lihat keadaan Putri, apa menurutmu dia bisa menikah dalam keadaannya
yang seperti ini?” amarah Liza memuncak.
“Aku
mencintainya, Za. Aku mohon kamu merestuiku dengan Putri”.
Liza tak
menjawab permintaan Haris. Dia hanya melihatku dan menatapku dalam hening.
Cairan bening pun kini menetes dari 3 pasang mata saat ini.
“Haris,
sungguh aku tak ingin menagih janjimu. Melihatmu berada di sampingku saat ini,
itu sudah cukup bagiku. Cukup untuk menghilangkan segala kerinduanku selama 5
tahun ini, Ris. Dan untuk Liza, aku sangat menyanyangimu. Terima kasih telah menjadi
sahabatku selama hampir 7 tahun kita bersahabat. Terima kasih telah memberiku
kasih sayang yang tak pernah kudapat semenjak aku kehilangan semua keluargaku.
Aku menyanyangi kalian…”
Saat
menyelesaikan kata-kata yang begitu panjangnya, tiba-tiba aku merasakan suatu
keajaiban yang terjadi pada diriku. Tubuhku merasa ringan, merasa agak baikan.
Aku bangun dari tempatku berbaring selama setahun ini, tubuhku yang baru saja
dalam keadaan duduk, langsung dengan cepatnya Haris memelukku sangat erat. Erat
sekali. Dia berjanji, esok malam akan menjadi malam yang tak akan terlupakan
oleh aku dan dirinya.
Pagi
buta aku sudah dibangunkan dengan sentuhan lembutnya yang menyentuh keningku.
Ia mengajakku pergi ke Kediri, melihat keindahan Monumen Kediri. Aku
bersemangat untuk berjalan-jalan bersamanya. Sudah 5 tahun aku menunggu momen
bersamanya, dan akhirnya hari ini keinginanku tercapai.
Tiba di
sana, kami makan di tempat makan sederhana namun makananya sangat khas sekali
dengan cita rasa Indonesia
“Aku
kangen sekali rasa getuk pisang ini, Put. Dulu waktu kursus di Kampung Inggris
aku senang sekali dengan getuk pisang ini. Cobain deh, enak loh!”
Aku mencicipi
getuk pisang, penasaran dengan rasanya. Dan ternyata rasanya memang sangat
enak, perpaduan rasa asam dan manis yang alami. Indonesia banget. Akhirnya aku
ketagihan. Haris hanya tertawa melihat aku menghabiskan getuk pisang miliknya.
Malam
pun tiba, aku dan Haris sudah berada tepat di depan sebuah menara yang mirip
dengan Menara L Arc De Triomphe di Prancis. Nama menara ini adalah Menara
Simpang Lima Gumul Kediri. Nampak indah di malam hari. Haris merangkul bahuku
dan membisikan tepat di telingaku “will you marry me?”. Tersentak aku sangat
terkejut dengan ucapannya yang sangat cocok dengan suasana malam ini. So
sweet.
Haris
mengulangnya lagi, dengan nada yang membuat semua orang tertuju kepada kami. Kemudian
semua orang menunggu jawabanku. Nafasku benar-benar sesak dengan perlakuan
Haris yang membuat mukaku seperti kepiting rebus. Akhirnya aku menjawab dengan
anggukan kepalaku, karena aku tak bisa berucap apa-apa karena begitu bahagianya.
Semua orang bertepuk tangan ramai, senang melihat kemesraan kami.
Satu
yang tak akan kulupakan dalam hidupku, mahar cinta L Arc De Triomphe tiruan
dari Harisku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar