Liza Fatmawati Rusman (1113046000053)
MATAKU masih saja memandang ke luar jendela, namun pandanganku kosong dan pikiranku
entah kemana. Setiap orang akan mengalami masalah, mampu tidak mampu kita tetap
harus menyelesaikan masalah itu. Aku percaya dengan satu kalimat ini Tuhan memberikan ujian kepada orang yang kuat.
Tuhan saja sudah
mempercayai kita kuat. Yah, jadi kita harus kuat. Lamunanku di pagi yang cerah ini buyar, karena
client-ku menelpon.
“Selamat pagi, Bang Gabe! Saya sudah di jalan,
nih. Kita ketemu di lobby Hotel Meuligo, ya. Kira-kira setengah
jam lagi saya sampai di sana!” terdengar suara yang sangat berwibawa di seberang sana.
“Oke, Mas Andre. Saya akan menunggu
di lobby!” lalu aku menutup
telponnya.
Aku langsung bersiap untuk mandi dan sarapan. Aku turun
dari lantai 6 langsung menuju lobby
hotel yang aku tempati. Lima menit kemudian aku bertemu dengan Mas Andre. Kami langsung meeting dan membahas hal-hal yang
menyangkut kepentingan kantor.
Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul tiga lewat
sepuluh menit, aku membereskan barang-barangku. Karena jam lima sore aku harus
kembali lagi ke Medan setelah menyelesaikan pekerjaan kantor di daerah Serambi Mekah, Aceh.
Sepertinya aku tidak ingin pulang ke rumah, aku tidak
ingin berdebat lagi dengan inong[1] dan oppung[2]-ku. Bagaimana tidak, hampir dua minggu terakhir ini aku di teror dengan pertanyaan “Kapan lagi
kau mangoli? Umur mu udah
cukupnya untuk mambuat boru!”
Hal itu membuatku stres kalau pulang ke rumah. Aku
melirik jam tanganku sudah jam enam lewat sepuluh menit, aku sudah landing di Kuala Namu Airport. Kuambil telpon
genggam dari saku bajuku, lalu aku cari nomor telpon inong. Tapi langsung aku alihkan
dan aku malah mencari nomor telponnya Sondang. Aku
tidak langsung menghubungi inong, tapi aku
langsung menghubungi Sondang kekasihku. Aku mengajaknya makan malam bersama di salah satu
mall ternama di kota Medan. Ketika sampai di restoran tempat kami biasa makan, aku melihat
sesosok wanita yang berpakaian dengan warna pastel duduk di meja nomor 10. Sondang ternyata sudah menunggu. Dia langsung melemparkan senyumnya padaku.
“Bang, kok nggak pulang dulu ke rumah?” Dia bertanya Sambil merapikan rambutnya.
“Entahlah!” balasku dengan
perasaan yang tak menentu, seolah ada beban yang cukup berat. “Akhir-akhir ini Abang malas bertemu dengan
inong dan oppung.”
“Memangnya ada masalah apa, Bang, sampe-sampe Abang malas bertemu dengan mereka?” tanya Sondang agak heran, padahal selama ini aku
paling membanggakan mereka berdua kepada Sondang.
Aku langsung saja menyambar pertanyaan Sondang.
“Bagaimana
tidak stress Abang, setiap hari diteror dengan pertanyaan yang itu-itu juga,
kapan menikah. Walaupun aku sudah punya
kamu, tapi
aku rasa sekarang belum waktu yang tepat, Sondang, bukannya Abang
ingin mengulur-ulur waktu.”
“Belum tepat kenapa, Bang? Bukannya Abang sudah mempunyai
karier yang cemerlang di kantor. Lagian
sekarang abang udah punya calon, tinggal di lamar aja, Bang” Sondang langsung menanggapi pernyataanku. “Hehehe......!” Sondang tertawa renyah setengah
menggodaku.
Sebenarnya niat untuk melangkah lebih
jauh lagi bersama Sondang sudah lama aku inginkan, apalagi setelah aku
mendapatkan pekerjaan tetap. Aku ingin menghabiskan sisa waktu ku bersama
wanita idamanku.
“Ya, rasanya meskipun sudah ada kamu,
tapi bagi Abang pernikahan itu hal yang sangat spesial dalam hidup Abang,
terlebih dalam tradisi Batak yang sama kita pegang ini. Abang ingin lebih
menyiapkan mental untuk menghadapi ini. Menurut Abang pernikahan itu bukan
semata dilihat dari kesiapan materi.” balasku sambil mulai menikmati hidangan
makan malam yang sudah disajikan pramusaji. “Bagaimana menurutmu?” lanjutku
menoleh padanya sambil mengunyah makanan.
“Kalau aku sih, sebenarnya sudah siap
mendampingi Abang. Cuman aku juga harus menghargai pendapat Abang. Bukankah
langgeng tidaknya sebuah hubungan itu tergantung pada kesalingmengertian satu
sama lain?” balas Sondang sambil mengajukan pertanyaan balik padaku.
“Setidaknya kamu punya pendapat
sendiri, dong!” balasku lagi lalu kuteguk air putih membasahi kerongkonganku.
Rasanya aku mau keselek, hingga setelah minum aku terbatuk-batuk.
“Makanya, kalau bicara jangan sambil
ngunyah, Bang!” kata Sondang sambil menyodorkan tisu padaku.
Kami akhirnya memilih menyelesaikan
makan dulu baru mengobrol lagi. Setelah selesai makan
aku mengantar Sondang pulang ke rumahnya dan aku juga pulang ke rumahku. Sampai di
rumah, kulihat inong dan oppung sedang asyik menikmati sinetron
kesayangan mereka di salah satu chanel tv.
“Malam, Nong!
Oppung!” ku sapa mereka.
“Eehh, sudah pulang rupanya anak bujang inong! Jam berapa kau berangkat dari aceh, Be?”
“Hhhmm, jam lima sore, Nong”. Sambil menghembus nafas panjang .
“Lah, kenapa baru sekarang
kau nyampe,
harusnyakan jam enam sore kau udah nyampe Medan lah!” inong bertanya dengan muka setengah heran.
“Emang jam segitu aku tadi nyampe, Nong!
Tapi aku makan malam dulu sama Sondang. Maaf, aku tadi nggak ngabarin inong dulu.”
“Kenapa pulak jadi kayak gitu kau,
Gabe? Tak biasanya
kutengok kau kayak gini? Biasanya kalo pulang dinas ke luar kota selalu kau
kabari inong-mu!” Tiba-tiba oppung
menanggapi jawabanku.
“Maafkan Gebe lah, Pung! Stres kali aku tadi, makanya kuajak si Sondang makan malam di luar!” tiba-tiba suara ku serak. Aku ingin sekali
menyampaikan sesuatu sama inong dan oppung. “Inong! Oppung! Aku mau nikah lah tahun ini!”
Mendengar kata-kataku tadi, kulihat wajah dua wanita yang sudah tidak lagi muda ini, tiba-tiba
berubah bahagia dari raut dan mimik wajah mereka.
“Serius kau, Be? Senang kali hati inong mendengarnya. Oppung juga senangkan?” Inong langsung menjawab. Pandangannya segera diarahkan pada Oppung yang duduk di sebelahnya.
“Senang kali lah aku, cucuku akhirnya
mau nikah tahun ini.”
“Emang siapa calon kau itu,
Be? Si Sondang itunya, boru apa pun dia?” Inong dengan antusias menanya siapa calon istriku.
“Boru Situmorang, Nong!”
balasku senyum menanggapi keantusiasan inong
dan oppung-ku
Hanya sedetik saja, spontan raut wajah inong dan oppung berubah 180
derajat.
“Kau tidak boleh nikah dengan Sondang, karena dia itu adik kau, Gabe” inong langsung
melotot.
“Memangnya kenapa, Nong? Dia kan bukan adik
kandungku dan kita juga tidak ada hubungan darah dan persaudaraan. Kenapa pula kami nggak boleh menikah?” tanyaku dengan ekspresi
wajah terheran-heran aku langsung tanya ke mamak
“Asal kau tau Gabe, di dalam adat Batak itu ada marga yang nggak boleh menikah. Misalnya marga Marbun dengan Marbun, itu tidak boleh
menikah karena satu marga. Sedangkan kasus kau ini beda marga tapi kalian masih satu tarombo marga dan situmorang itu adik dari marga simatupang. Macam marga kau
dengan Sondang
lah.” Oppung dengan spontan menjawab pertanyaan ku
“Kenapa harus pake adat? Kitakan sekarang udah hidup di zaman modern. Sudahlah inong! Oppung! Bukannya menikah itu
sesuatu yang baik. Kalau semua di larang di dalam adat ini, mau nggak
nikah-nikah aku.” jawabku dengan wajah setengah kecewa dan masih merasa bingung dengan adat Batak yang menurutku sangat rumit.
“Sebagai orang
Batak, kita harus mematuhi aturan-aturan dari
leluhur-leluhur kita zaman dulu. Kita harus melestarikannya Gabe. Pokoknya oppung dan inong-mu nggak setuju kalau kau nikah dengan boru Situmorang itu. Mendingan kau tidak usah menikah kalau tetap
bersikukuh menikah dengannya.” oppung menjawab pernyataanku. “Aku tak mau disebut sebagai dalle[3], Gabe! Malu kalilah
aku nanti dibuatnya.” lanjut oppung pula.
Kulihat inong, tapi aku dapat melihat ketegasan dari
wajahnya.
“Kalau nggak gini aja lah,
Be! Inong sama oppugn-mu udah menemukan perempuan yang baik untuk kau.
Kalau kau nikah dengan dia, persaudaraan kita makin dekat”.
Dalam hati aku membatin, jadi selama ini mereka
sudah menyiapkan jodoh untukku. Ku tarik nafas
panjang, “Hhhmmm, emang siapa
perempuan yang ingin kalian jodohkan denganku, Nong, Pung?”
Oppung senyum-senyum duduk di sebelahku, “Frida, dia anak tulang[4]
kau yang di Brastagi itu. Frida sekarang lagi melanjutkan S2 di Yogyakarta, akhir
tahun ini dia akan pulang ke Brastagi. Setelah dia sampai di Brastagi kau harus
bertemu dengan dia”.
“Tapi, Pung, dia kan anak tulang mana pula bisa. Kita kan saudara. Sedang dengan Sondang yang tak punya hubungan
apa-apa tidak bisa, apalagi dengan Frida?” Setengah kaget
dan kesal.
“Iya, Be!
Kita memang saudara. Tapi kalau kau nikah sama Frida itu di bolehkan
dalam adat Batak, bahkan sebagian orang Batak malah sangat
menganjurkan hal ini. Frida itu pariban[5]-mu!”
“Pariban itu apa, Nong?”
“Pariban itu boru tulang!”
“Ya udahlah, Nong! Aku mau mandi dulu, besok aku pikirkan lagi. Tapi
aku tak tau alasan
apa yang harus aku berikan pada Sondang. Sementara, aku bersamanya bukan hanya seminggu atau sebulan, Nong, aku udah hampir dua tahun bersamanya. Betapa kecewanya dia nanti, sedang ini dia sudah menganggap aku
mengulur-ulur waktu.”
“Kau jelaskan baik-baik,
dia pasti bisa menerimanya, Be. Kalau tidak ajak ia
bertemu orangtuanya. Orangtuanya pasti sependapat dengan oppung dan inong kau.”
dengan terbatuk-batuk oppung menjawab pertanyaanku. “Kalau kau sayang oppung
dan inong pasti kau mau menerima permintaan kami
untuk tidak menikahi Sondang!”
Sepanjang malam ini aku berpikir keras untuk memberikan
alasan yang terbaik untuk Sondang. Kulihat jam di dinding kamar sudah pukul 00.35, sedikitpun
mata ini nggak bisa terpejam. Malam ini aku benar-benar gelisah. Bagaimana tidak, hubungan yang sudah aku
jalin bersama Sondang akan berakhir begitu saja karena hukum adat. Aku sebenarnya
ingin sekali menolak permintaan inong dan oppung untuk menikah dengan pariban-ku itu, tapi harus bagaimana. Aku tidak mungkin
melawan inong dan oppung,
karena mereka keluarga yang aku miliki saat ini. Sekeras-kerasnya sifat anak Batak, tapi kalau udah
menyangkut orang tua mereka tidak bisa menolak apalagi melawan.
***
SETELAH seminggu kejadian perdebatanku dengan inong dan
oppugn-ku, akhirnya aku memberanikan diri untuk menemui Sondang untuk menjelaskan
semuanya. Sore ini aku menunggu Sondang di salah satu taman di sudut kota Medan. Jujur, sebenarnya aku tidak ingin
mengecewakannya, tapi ini harus terjadi. Ku lihat gadis itu menggunakan baju
polkadot berwarna biru-hitam, cantik
sekali, gumamku.
“Bang, maaf ya aku telat. Tadi jalanan macet sekali”.
“Iya nggak apa-apa! Apa kabar kau?” aku sedikit basa-basi
padahal itu benar-benar basi.
“Aku baik-baik aja, Bang”.
“Sondang ada yang ingin aku bicarakan dengan mu, ini tentang hubungan
kita!”
“Iya, emang kenapa, Bang?”
“Sondang, sebelumnya aku minta maaf. Sebenarnya aku tidak ingin menyampaikan ini padamu, tapi ini sudah janjiku kepada inong dan
oppung. Kita tidak mungkin
bersama-sama lagi Sondang, ini semua karena hukum adat. Aku dan kamu ternyata masih
bersaudara dalam garis keturunan marga. Inong dan
oppung melarangku melanjutkan
hubungan ini Sondang. Kau taukan, kalau aku tidak bisa menolak permintaan mereka. Inong dan oppung sangat menaati
adat, aku harus menghormati itu.”
Tak ada jawaban dari Sondang. matanya
menatap ke arah lain, di matanya yang mulai berkaca-kaca terlihat kekecewaan
dan kesedihan yang begitu mendalam. Kuingat ketika makan malam waktu aku baru
pulan dari Aceh, saat itu dia sempat menyatakan kesiapannya untuk aku lamar.
Tapi kenyataannya sekarang, aku malah memutuskan hubungan yang selama dua tahun
ini telah memberi kami kebahagiaan.
Aku menghembuskan nafasku dengan
berat. Berat sekali. Seberat hatiku untuk mengutarakan ini pada gadis yang
selama dua tahun ini menjadi tempatku berbagi. Di depanku aku melihat tingginya
tembok yang jadi penghalang bersatunya cinta kami. Kenapa kami dilahirkan jadi
orang Batak? Atau mungkin kenapa kami mesti dipertemukan dulu? Membayang
diingatanku ketika pertama kali kami bertemu. Aku telah berusaha menahan kesedihanku
ini. Kesedihan akan kenyataan yang kini aku hadapi. Dengan terpaksa aku harus
melepaskan orang yang sangat aku sayangi. Belum pernah aku sesayang dan secinta
ini pada perempuan.
“Aku mengerti kesedihanmu saat ini
Sondang! Kesedihan yang sama juga melandaku. Kau tau kan bagaimana cintanya aku
pada kau? Bagaimana sayangnya aku pada kau? Tapi adat Batak yang kita miliki
ini benar-benar membuat kita tak berdaya. Terlebih kita ini hidup
ditengah-tengah orang Batak
“Jujur, Bang....!” suara Sondang berat di sela isakannya.
“.... sebenarnya aku
nggak terima kalau hal ini terjadi. Tapi aku juga harus bagaimana, mau nggak
mau aku juga harus terima keputusan Abang. Sebagai orang Batak,
aku juga menghormati hukum adat Batak!”
“Ini bukan keputusanku pribadi, Sondang!
Ini keputusan adat kita, Adat Batak. Tak ada yang menginginkan kita terlahir
dalam satu tarombo yang sama, jika
kita tidak bisa mengelak menjadi orang Batak, tapi akhirnya kita juga tidak
bisa mengelak dari kenyataan kalau kita terlahir dari satu garis tarombo yang sama.”
“Aku mengerti, Bang!” balas Sondang
sambil menggenggam jemari Gabe dengan erat. Gabe membalas genggaman tangan
Sondang dengan erat pula. “Apa rencanamu sekarang, To?” lanjut Sondang berganti memanggilku dari abang menjadi ito[6].
“Aku diminta menikah dengan Frida,
paribanku yang ada di Brastagi, To!”
jawabku dengan menyebutnya sebagai ito
pula. “Bagaimana menurutmu, To?”
lanjutku.
“Terus terang aku sangat cemburu, tapi
apa mau dikata!” balasnya sambil melirikku. “Semoga kau bahagia bersamanya, To! Kalau kau menikah nanti, kau harus
undang aku, semoga pada saat itu aku sudah bisa menata hatiku kembali.”
“Pastilah, To! Bahkan kau akan jadi undangan istimewaku, sekalian aku minta
do’a restu darimu, karena walau bagaimanapun tentu kau kecewa padaku.”
Sondang tersenyum sambil mengangguk
dan menoleh padaku. Genggaman tangan yang dari tadi mengerat kini sudah mulai
mengendur.
Perbincangan ku bersama Sondang, sudah menemui titik terang. Sekarang sudah
tidak ada lagi beban. Yang jelas aku dan Sondang, sudah sepakat tetap berkomunikasi layaknya
teman. Sore itu rasanya cepat sekali berlalu dan digantikan oleh gelapnya
malam.
***
Pertemuan dengan paribanku akhirnya terjadi hari ini, inong dan oppung udah dandan
lengkap dengan ulos yang udah menempel di bahu mereka. Wajah wanita-wanita ini
sangat berbinar, sesuatu yang mereka inginkan akan terwujud. Mobil sudahku keluarkan dari garasi,
kulirik jam tangan sudah pukul 9 pagi. Kami membelah jalanan kota Medan sampai
Brastagi. Akhirnya kami sampai juga di halaman rumah tulang, kulihat ada tulang,
natulang[7],
dua lelaki, dan tiga orang perempuan. Dua perempuan itu menggendong anak,
sedangkan yang satu lagi hanya sendiri. Perasaan ku mengatakan bahwa wanita
yang tidak menggendong anak itu adalah Frida, pariban
yang akan di jodohkan denganku. Wanita itu melemparkan senyuman hangatnya
kepadaku, inong dan oppugn-ku. Wanita yang
sangat cantik, tidak jauh beda dengan sondang, pikirku.
[6] Ito: panggilan antara
laki-laki dan perempuan yang mempunyai hubungan kakak beradik kandung, semarga,
atau satu garis tarombo.
Cerita Lokalisasinya sangat jelas terlihat, horas Medaaan :).
BalasHapusNamun endingnya masih menggantung, kurang krenyes rasanya :D
Lalu kata kota "Aceh" dipertengahan kalimat ditulis dengan "aceh". Hanya kesalahan kecil dalam penulisanmu.
mati gaya sehabis baca cerpen ini, bangganya! pasanganku paribanku, paribanku pasanganku :))
BalasHapus