Kamis malam, sekitar
pukul 20:00 WIB aku sedang duduk meluruskan kaki di halte iskandar di
seberang kantor Polsek Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Halte ini
cukup bersih, tempat duduknya panjang dan terbuat dari stainless
steel. Atapnya pun sepertinya masih baru. Tapi jalanan sangat gelap,
lampu jalannya mungkin sedang dalam keadaan rusak. Tepat disamping
kiri halte ada dua buah pot tanaman berdaun hijau kemerahan entah
tanaman apa namanya, tapi mereka melambai-lambai tertiup angin yang
terasa sangat dingin membelai wajahku, aku pun tersenyum lebar
membayangkan betapa dinginnya jika aku menjadi tanaman itu yang
semalaman akan berada disana. Tanpa selimut, ataupun jaket tebal
milik tentara seperti yang ku pakai saat ini. Ada hal yang membuat
aku heran pada jam seperti ini biasanya kendaraan sangat ramai, jam
pulang kerja di hari biasa jalanan ini selalu macet, tidak sepi
seperti saat ini.
Bukan
tanpa alasan aku berada di halte malam itu, aku menunggu kakak
laki-lakiku yang hari ini berjanji menjemputku. Aku tertawa dalam
hati, tak bisa kah aku memilih tempat yang lebih ramai dari ini.
Bosan menunggu, ku palingkan pandanganku sejenak ke arah kantor
Polsek Kebayoran Lama yang sangat terang, tapi sangat sepi. Hanya
terlihat dua mobil yang terparkir di depan kantor aparat itu, satu
toyota
avanza
dan satunya lagi grand
livina.
Selebihnya ada beberapa sepeda motor yang aku pun tak berniat
menghitungnya. Aku melihat pemandangan yang sangat biasa memenuhi
langit ibu kota, apartemen Pakubuono
dan
gedung-gedung tinggi yang sangat terang da menghabiskan banyak sumber
daya setiap malamnya terlihat sangat indah sekaligus mengharukan,
karena itu salah satu bentuk eksploitasi sumber daya alam yang
berlebihan pikirku. Aku hanya menggernyit dan menghibur diri sendiri
dan menganggap hidup ini hanya intermezzo, jadi janganlah terlalu
serius aku.
Aku mencoba menikmati
dinginnya angin yang menusuk tulang dan bisingnya suara kendaraan
yang terdengar seperti bunyi segerombolan lebah yang entah dimana
adanya. Tiba-tiba tercium suatu aroma yang sangat khas, aromanya
sangat tajam dan aku pun, mulai lapar. Terdengar suara piring yang
dipukul suaranya berdentang berulang-ulang. Samar-samar ku lihat
ternyata ada bapak yang sudah kira-kira berusia 45 tahun mendorong
gerobak bercat hijau bertuliskan “NASI GORENG”, tulisannya
berwarna kuning terang dan ku kira terbuat dari solasi berwarna
kuning. Aku memperhatikan penjual nasi goreng yang mulai mendekat ke
arahku, kemudian aku memalingkan muka ke arah lain karena menyadari
bahwa lebih baik aku makan nanti di rumah saja, supaya bisa makan
bersama keluarga meskipun tidak lengkap semuanya. Aku berdiri
menghibur diri menenangkan cacing perutku yang mungkin sedang
berdemonstrasi, karena rasa-rasanya perutku sangat rusuh.
Dari
arah ciputat, ku lihat sebuah angkot D.01
yang berwarna biru menghampiriku. Tapi ternyata dia bukan
menghampiriku, melainkan menurunkan penumpangnya. Karena tak lama
kemudian sepasang suami istri turun dari angkot dengan sangat
hati-hati beriringan, suaminya dulu baru kemudian istrinya.
Sebenarnya aku tak tahu mereka suami istri atau bukan, tapi mereka
memakai batik yang berwarna biru muda dengan corak yang sama. Aku
memperhatikan mereka yang hendak menyebrang ke Kantor Polsek
Kebayoran Lama dengan ragu-ragu, aku bergegas membantu mereka dan
membenarkan jaketku karena malam itu terasa semakin dingin. Tapi
ketika aku baru saja berjalan dua langkah dari halte, tiba-tiba ada
angkot dari arah ciputat yang seperti kesetanan melaju sangat kencang
dari arah ciputat menuju kebayoran lama dan “Brakkk” sepasang
orang yang ku kira suami istri itu tertabrak sangat keras. Aku
tertegun kaku melihat suaminya terpental sampai ke depan halte tempat
ku berdiri, kepalanya pecah da darah yang mengalir berhasil membuatku
lemas. Istrinya tertabrak sampai terguling membentur bahu jalan dan
ku lihat kaca mobil yang berserakan di jalan aspal yang ku kira
sangat dingin.
Entah mengapa tak ada
orang yang peduli, seakan-akan tak terjadi apa-apa. Lampu jalan pun
tetap mati dan ada beberapa kendaraan yang tetap lalu lalang. Mungkin
mereka tak berpikir, bagaimana anak atau cucu dari orang tua yang
tertabrak itu akan sangat kehilangan apabila korban ini tidak
terselamatkan. Waktu terasa berhenti sejenak, dengan mata penuh
dendam aku terus memandangi mobil yang kesetanan tanpa rasa bersalah
dia melaju kencang. Ku pikir supirnya adalah orang miskin, miskin
tanggung jawab.
Aku tak tahan melihat
pekikan laki-laki tua yang sedang sekarat di aspal, aku berteriak
meminta bantuan dan kerumunan pun tak lama kemudian terjadi. Awalnya
semuanya bergemuruh seperti ibu-ibu yang mengelilingi diskon 99%
dengan sejuta tanya, ada apa, siapa, kenapa, apa, sangat bising. Tapi
sesaat kemudian semua orang terdiam, termasuk penjual nasi goreng
yang menyaksikan kejadian tabrak lari itu dan mencoba menjelaskan
kepada masa yang berkerumun.
Ku
lihat disekelilingku, kenapa ramai sekali kendaraan mulai pukul 20:00
WIB keatas, jalanan pun menjadi macet dan aku mendengar suara klakson
dari para borjuis
yang sangat sibuk dan terburu-buru. Mungkin mereka kesal karena
kerumunan semakin ramai, dan akhirnya aku menjauh setelah ku lihat
korban tadi dibopong oleh enam warga ke sebuah mobil Terios
putih
yang sepertinya aku mengenalinya.
Entah karena gugup aku
tak mengingat wajah dari pemilik mobil yang sangat tergesa-gesa
memasuki mobil dan bergegas pergi membawa korban ditemani beberapa
orang yang berkerumun tadi. Yang jelas dia adalah laki-laki, aku
berasumsi. Aku hanya memperhatikan dan sangat kaku, kerumunan pun
perlahan menghilang. Penjual nasi goreng kembali ke gerobaknya dan
yang lain kembali menjalankan kendaraannya masing-masing.
Kendaraan yang melintas
di depanku menjadi sangat ramai, membuat jalan menjadi terang karena
sorot lampu-lampu mobil dan sepeda motor. Aku tak bisa tersenyum, aku
kembali duduk dan melihat langit yang rasa-rasanya semakin terang
saja.
Polusi
karbon monoksida kendaraan bermotorpun mulai terasa pekat, menusuk
hidung dan menggelitiki tenggorokanku. Aku terbatuk-batuk menutup
wajahku dengan kedua tangan. Sebari berpikir ku perhatikan lampu
jalan yang mulai menyala tepat di tempat perempuan korban tadi
tergeletak. Aku bingung, apa gunanya polisi di polsek itu, ada
kejadian mengerikan seperti ini pun mereka tetap bobo
cantik di
peraduan.
Samar-samar ku
ingat-ingat lagi siapa yang berbaik hati menolong korban tadi,
tiba-tiba aku tertawa tertahan, aku baru menyadari bahwa laki-laki
yang sangat cemas dan terburu-buru memasuki mobil membawa korban tadi
adalah kakak kandungku. Oh Tuhan, bodoh. Kenapa aku harus lupa dengan
kakak sendiri, mungkin saking cemasnya kakak ku juga melupakanku.
Malam semakin dingin,
kendaraan yang melintas di depan halte pun semakin banyak. Lampu
depan di Kantor Polsek Kebayoran Lama ku lihat dimatikan, sehingga
menjadi gelap. Hanya saja di depan gerbangnya terang karena ada plang
“POLISI” yang diberi lampu berwarna kuning dengan tulisan yang
hitam.
Aku
bergegas pulang sendiri saja setelah menerima pesan singkat dari
kakak ku yang durhaka itu meminta maaf keada adiknya yang sama
durhakanya. Dia berjanji menjemputku 30 menit lagi, tapi rasa-rasanya
tempat ini terlalu mengerikan jika aku haru menunggu lebih lama lagi.
Pecahan kaca yang berserakan di aspal dan bayang-bayang kerasnya
benturan korban tadi sampai terpental di depanku cukup membuatku
lemas. Aku menaiki taksi dan tetap menoleh ke belankang menyaksikan
tempat terjadi pelanggaran yang sangat terstruktur di depan kantor
yang katanya berisi aparat penegak
hukum.
Ada beberpa penulisan yang kurang tepat seperti: iskandar, stainless steel, disamping, disana, ku palingkan, da, ku lihat, ku kira, D.01 (miring), ciputat, tempat ku, disekeliling, Samar-samar ku ingat-ingat, keada, dan penegak hukum (miring).
BalasHapusPerbaikan penulisan: Iskandar, stainless steel (cetak miring), di samping, di sana, kupalingkan, dan, kulihat, kukira, D.01 (tidak miring), Ciputat, tempatku, di sekeliling, samar-samar kuingat-ingat (terlalu boros), dan penegak hukum (tidak miring).