Jumat, 17 April 2015

Tabrak Lari di depan Kantor Polsek Kebayoran Lama- Jakarta Selatan

Kamis malam, sekitar pukul 20:00 WIB aku sedang duduk meluruskan kaki di halte iskandar di seberang kantor Polsek Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Halte ini cukup bersih, tempat duduknya panjang dan terbuat dari stainless steel. Atapnya pun sepertinya masih baru. Tapi jalanan sangat gelap, lampu jalannya mungkin sedang dalam keadaan rusak. Tepat disamping kiri halte ada dua buah pot tanaman berdaun hijau kemerahan entah tanaman apa namanya, tapi mereka melambai-lambai tertiup angin yang terasa sangat dingin membelai wajahku, aku pun tersenyum lebar membayangkan betapa dinginnya jika aku menjadi tanaman itu yang semalaman akan berada disana. Tanpa selimut, ataupun jaket tebal milik tentara seperti yang ku pakai saat ini. Ada hal yang membuat aku heran pada jam seperti ini biasanya kendaraan sangat ramai, jam pulang kerja di hari biasa jalanan ini selalu macet, tidak sepi seperti saat ini.
Bukan tanpa alasan aku berada di halte malam itu, aku menunggu kakak laki-lakiku yang hari ini berjanji menjemputku. Aku tertawa dalam hati, tak bisa kah aku memilih tempat yang lebih ramai dari ini. Bosan menunggu, ku palingkan pandanganku sejenak ke arah kantor Polsek Kebayoran Lama yang sangat terang, tapi sangat sepi. Hanya terlihat dua mobil yang terparkir di depan kantor aparat itu, satu toyota avanza dan satunya lagi grand livina. Selebihnya ada beberapa sepeda motor yang aku pun tak berniat menghitungnya. Aku melihat pemandangan yang sangat biasa memenuhi langit ibu kota, apartemen Pakubuono dan gedung-gedung tinggi yang sangat terang da menghabiskan banyak sumber daya setiap malamnya terlihat sangat indah sekaligus mengharukan, karena itu salah satu bentuk eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan pikirku. Aku hanya menggernyit dan menghibur diri sendiri dan menganggap hidup ini hanya intermezzo, jadi janganlah terlalu serius aku.
Aku mencoba menikmati dinginnya angin yang menusuk tulang dan bisingnya suara kendaraan yang terdengar seperti bunyi segerombolan lebah yang entah dimana adanya. Tiba-tiba tercium suatu aroma yang sangat khas, aromanya sangat tajam dan aku pun, mulai lapar. Terdengar suara piring yang dipukul suaranya berdentang berulang-ulang. Samar-samar ku lihat ternyata ada bapak yang sudah kira-kira berusia 45 tahun mendorong gerobak bercat hijau bertuliskan “NASI GORENG”, tulisannya berwarna kuning terang dan ku kira terbuat dari solasi berwarna kuning. Aku memperhatikan penjual nasi goreng yang mulai mendekat ke arahku, kemudian aku memalingkan muka ke arah lain karena menyadari bahwa lebih baik aku makan nanti di rumah saja, supaya bisa makan bersama keluarga meskipun tidak lengkap semuanya. Aku berdiri menghibur diri menenangkan cacing perutku yang mungkin sedang berdemonstrasi, karena rasa-rasanya perutku sangat rusuh.
Dari arah ciputat, ku lihat sebuah angkot D.01 yang berwarna biru menghampiriku. Tapi ternyata dia bukan menghampiriku, melainkan menurunkan penumpangnya. Karena tak lama kemudian sepasang suami istri turun dari angkot dengan sangat hati-hati beriringan, suaminya dulu baru kemudian istrinya. Sebenarnya aku tak tahu mereka suami istri atau bukan, tapi mereka memakai batik yang berwarna biru muda dengan corak yang sama. Aku memperhatikan mereka yang hendak menyebrang ke Kantor Polsek Kebayoran Lama dengan ragu-ragu, aku bergegas membantu mereka dan membenarkan jaketku karena malam itu terasa semakin dingin. Tapi ketika aku baru saja berjalan dua langkah dari halte, tiba-tiba ada angkot dari arah ciputat yang seperti kesetanan melaju sangat kencang dari arah ciputat menuju kebayoran lama dan “Brakkk” sepasang orang yang ku kira suami istri itu tertabrak sangat keras. Aku tertegun kaku melihat suaminya terpental sampai ke depan halte tempat ku berdiri, kepalanya pecah da darah yang mengalir berhasil membuatku lemas. Istrinya tertabrak sampai terguling membentur bahu jalan dan ku lihat kaca mobil yang berserakan di jalan aspal yang ku kira sangat dingin.
Entah mengapa tak ada orang yang peduli, seakan-akan tak terjadi apa-apa. Lampu jalan pun tetap mati dan ada beberapa kendaraan yang tetap lalu lalang. Mungkin mereka tak berpikir, bagaimana anak atau cucu dari orang tua yang tertabrak itu akan sangat kehilangan apabila korban ini tidak terselamatkan. Waktu terasa berhenti sejenak, dengan mata penuh dendam aku terus memandangi mobil yang kesetanan tanpa rasa bersalah dia melaju kencang. Ku pikir supirnya adalah orang miskin, miskin tanggung jawab.
Aku tak tahan melihat pekikan laki-laki tua yang sedang sekarat di aspal, aku berteriak meminta bantuan dan kerumunan pun tak lama kemudian terjadi. Awalnya semuanya bergemuruh seperti ibu-ibu yang mengelilingi diskon 99% dengan sejuta tanya, ada apa, siapa, kenapa, apa, sangat bising. Tapi sesaat kemudian semua orang terdiam, termasuk penjual nasi goreng yang menyaksikan kejadian tabrak lari itu dan mencoba menjelaskan kepada masa yang berkerumun.
Ku lihat disekelilingku, kenapa ramai sekali kendaraan mulai pukul 20:00 WIB keatas, jalanan pun menjadi macet dan aku mendengar suara klakson dari para borjuis yang sangat sibuk dan terburu-buru. Mungkin mereka kesal karena kerumunan semakin ramai, dan akhirnya aku menjauh setelah ku lihat korban tadi dibopong oleh enam warga ke sebuah mobil Terios putih yang sepertinya aku mengenalinya.
Entah karena gugup aku tak mengingat wajah dari pemilik mobil yang sangat tergesa-gesa memasuki mobil dan bergegas pergi membawa korban ditemani beberapa orang yang berkerumun tadi. Yang jelas dia adalah laki-laki, aku berasumsi. Aku hanya memperhatikan dan sangat kaku, kerumunan pun perlahan menghilang. Penjual nasi goreng kembali ke gerobaknya dan yang lain kembali menjalankan kendaraannya masing-masing.
Kendaraan yang melintas di depanku menjadi sangat ramai, membuat jalan menjadi terang karena sorot lampu-lampu mobil dan sepeda motor. Aku tak bisa tersenyum, aku kembali duduk dan melihat langit yang rasa-rasanya semakin terang saja.
Polusi karbon monoksida kendaraan bermotorpun mulai terasa pekat, menusuk hidung dan menggelitiki tenggorokanku. Aku terbatuk-batuk menutup wajahku dengan kedua tangan. Sebari berpikir ku perhatikan lampu jalan yang mulai menyala tepat di tempat perempuan korban tadi tergeletak. Aku bingung, apa gunanya polisi di polsek itu, ada kejadian mengerikan seperti ini pun mereka tetap bobo cantik di peraduan.
Samar-samar ku ingat-ingat lagi siapa yang berbaik hati menolong korban tadi, tiba-tiba aku tertawa tertahan, aku baru menyadari bahwa laki-laki yang sangat cemas dan terburu-buru memasuki mobil membawa korban tadi adalah kakak kandungku. Oh Tuhan, bodoh. Kenapa aku harus lupa dengan kakak sendiri, mungkin saking cemasnya kakak ku juga melupakanku.
Malam semakin dingin, kendaraan yang melintas di depan halte pun semakin banyak. Lampu depan di Kantor Polsek Kebayoran Lama ku lihat dimatikan, sehingga menjadi gelap. Hanya saja di depan gerbangnya terang karena ada plang “POLISI” yang diberi lampu berwarna kuning dengan tulisan yang hitam.
Aku bergegas pulang sendiri saja setelah menerima pesan singkat dari kakak ku yang durhaka itu meminta maaf keada adiknya yang sama durhakanya. Dia berjanji menjemputku 30 menit lagi, tapi rasa-rasanya tempat ini terlalu mengerikan jika aku haru menunggu lebih lama lagi. Pecahan kaca yang berserakan di aspal dan bayang-bayang kerasnya benturan korban tadi sampai terpental di depanku cukup membuatku lemas. Aku menaiki taksi dan tetap menoleh ke belankang menyaksikan tempat terjadi pelanggaran yang sangat terstruktur di depan kantor yang katanya berisi aparat penegak hukum.

1 komentar:

  1. Ada beberpa penulisan yang kurang tepat seperti: iskandar, stainless steel, disamping, disana, ku palingkan, da, ku lihat, ku kira, D.01 (miring), ciputat, tempat ku, disekeliling, Samar-samar ku ingat-ingat, keada, dan penegak hukum (miring).
    Perbaikan penulisan: Iskandar, stainless steel (cetak miring), di samping, di sana, kupalingkan, dan, kulihat, kukira, D.01 (tidak miring), Ciputat, tempatku, di sekeliling, samar-samar kuingat-ingat (terlalu boros), dan penegak hukum (tidak miring).

    BalasHapus