Kamis, 30 April 2015

Zaima Latifah (1113046000043)



Kaki Kecil Penuh Kejutan

            Mentari pagi telah keluar dari peraduannya, hari ini aku akan memulai sesuatu yang baru di tempat yang baru, rencana ini sudah disusun beberapa hari sebelumnya, hari yang cerah seperti mendukung apa yang telah direncanakan. Aku dan beberapa teman kuliah akan pergi menuju suatu tempat, yang bahkan aku belum pernah berkunjung sebelumnya, hanya tau cerita dari orang-orang tentang keadaan di sana, dan itu membuatku ingin pergi. Sangat ingin.
        Langit pagi saat itu menjadi saksi tercapainya sebuah keinginan sederhana. Tepat pukul 06.00 WIB aku beserta teman yang lain telah berkumpul di halte depan kampus. Tas besar dengan isi beberapa pakaian di dalamnya siap menemani perjalananku. Pemberhentian pertama kami adalah stasiun, aku tau pasti kami akan menaiki sebuah kereta, butuh waktu yang lama menunggu kereta yang kami tumpangi. Setelah beberapa kereta telah lewat begitu saja, ada satu kereta lokal  yang berhenti di hadapanku, kereta yang terlihat sudah tua dan usang bahkan pintu otomatisnya pun tampak tak berfungsi.
            Awalnya aku hanya diam memandangi kereta itu, tapi saat melihat beberapa teman masuk ke dalamnya, aku langsung terkejut dan berkata dalam hati “ternyata kereta ini yang ditunggu dan yang mengantarkanku pada perjalanan istimewa”. Kaki ini tak membuat langkah apapun hanya mata yang masih memandang, kemudian terdengar suara merdu yang memanggilku.
“Na, ayo! kamu jadi ikut kan?”
“iya jadi dong” sahutku disusul dengan langkah masuk ke dalam kereta.
Karin hanya membalas dengan senyuman. Kemudian kami masuk menyelusuri lorong kereta mencari-cari kursi yang kosong.
            Setelah dua jam dalam perjalanan, akhirnya aku dan yang lain sampai di stasiun, hujan turun menyambut kehadiran kami. Aku beserta penumpang lainnya berjalan ke arah pintu keluar, sampai di sana ternyata kami telah ditunggu oleh seorang bapak yang terlihat agak tua, beliau biasa dipanggil Pak Toha. Pak Toha menyambut kami dengan guratan senyum di wajahnya, nampak menenangkan bagai seorang ayah yang menunggu kedatangan anak-anaknya.
            Pak Toha memimpin aku dan yang lain menuju tempat parkir, tenyata sebuah mobil sudah siap untuk menemani  perjalanan ku selanjutnya. Barang-barang yang kami bawa dimasukan dalam mobil, termaksud sayuran sampai beras yang telah kami beli di pasar samping stasiun. Mobil ini nampak berbeda dari yang lain, mungkin kalau di Jakarta dikenal dengan nama angkot, tapi ini memiliki bentuk berbeda, hanya saja fungsinya sama yaitu untuk mengangkut penumpang.
            Mobil terus melaju, aku memperhatikan jalan lewat kaca mobil, hujan telah berhenti namun debu-debu di jalan nampak jelas terlihat, sesekali kami berpapasan dengan sebuah truk besar yang membawa beberapa barang angkut. Jalurnya berkelok dan jalan yang tak rata, sangat jelas terasa saat dalam perjalanan dan itu membuat perutku jadi tak bersahabat. Sesekali berusaha memejamkan mata agar tak mual namun sia-sia saja, jalur yang masih tetap berkelok-kelok makin membuat perutku tak bersahabat, tapi untunglah tak lama mobil ini terhenti, aku dengan senyum bahagia keluar dari mobil, ku fikir saat itu kami sudah tiba, makanya semangat ku langsung timbul kembali. Langsung saja sebuah pertanyaan keluar dari mulutku.
“Bang Danar, ini ya tempat kita menginap?” kataku sambil menunjuk sebuah rumah dihadapan kami.
“Kata siapa Na? kita belum sampai, ini baru setengah jalan” jawabnya dengan nada yang sedikit meledek.
 “Hah, serius? tapi kok Pak Toha berhenti di sini kak?” Raut mukaku yang tadinya senyum sumringah langsung berubah terkejut tak percaya.
“Iya Na saya serius, masa kamu enggak percaya sama saya. Pak Toha hanya mengantar sampai sini, selebihnya perjalanan istimewa kita dilanjutkan dengan  jalan kaki. Inget ya Na, ini perjalanan istimewa jadi harus semangat” jawabnya dengan muka sumringah.
Aku hanya membalas dengan senyuman. Senyuman yang mengartikan bahwa aku mengerti kenapa ia bilang ini perjalanan istimewa.
            Setelah semua barang sudah dipastikan turun, kami kembali melanjutkan perjalanan yang sesungguhnya. Aku dan temanku kaget ketika melihat jalur yang akan kita lewati. Jalurnya seperti mendaki bukit dan bahkan menurutku seperti naik gunung. Cukup melelahkan pasti, terlebih bagi orang yang jarang olahraga sepertiku.
            Kakiku terus melangkah, udaranya amat sangat sejuk, kanan kiri jalan masih sepi perumahan penduduk. Di sepanjang perjalanan, suara canda tawa kami tak henti, sampai kami merekam jejak perjalanan, bak seorang petualang. Walaupun kakiku sudah amat terasa lelah namun itu semua tak bisa mengusir rasa penasaranku. Saat kaki mulai tak kuat untuk melangkah, dan mulai sering berhenti, serta suara canda tawa mulai berkurang karna kelelahan yang muncul.
            Tiba-tiba muncul sosok-sosok mungil dari kejauhan yang berlarian kearah kami, aku yang tidak mengenal mereka kaget saat mereka menghampiri kami. Aku bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka? dan mengapa tiba-tiba datang menghampiri kami? tidak ada yang bercerita tentang mereka kepada ku.
            Pandanganku masih tertuju kepada mereka semua, aku benar-benar memperhatikan mereka semua secara teliti, sampai kemudian ada yang menepuk punggungku dari belakang.
“Na” panggil Nadia.
“Kenapa kamu? bingung ya melihat mereka?” tanyanya kepadaku
“Iya Na, aku bingung .memangnya mereka itu siapa?” Tanyaku kepada Nadia sambil menunjuk kearah sosok-sosok mungil dihadapan kami.
“Mereka itu anak-anak di desa ini. Memang setiap kita berkunjung ke tempat ini selalu disambut oleh mereka” jawab Nadia dengan senyuman.
            Rasa lelah yang sejak tadi menemani kami, terasa hilang ketika mereka semua berlarian dengan semangat ke arah kami. Bahkan mereka berlari tanpa menggunakan alas kaki, kaki-kaki mungil itu seperti tak merasa kesakitan, nampak telah terbiasa seperti itu. Perjalanan kami terasa lebih ringan saat di temani oleh mereka, bahkan menjadi lebih ramai.
            Tidak hanya datang dan menghampiri kami, tapi mereka juga sangat antusias dengan buku yang kami bawa, walaupun tak semua dari mereka mengerti. Tapi wajah itu sangat senang saat menggenggam sebuah buku.
            Akhirnya aku dan teman-teman yang lain tiba di pemukiman warga, kami beristirahat sejenak disebuah bangunan dari kayu, bangunan yang penuh dengan hiasan karya mereka. Tempat itu dinamai Saung Ilmu, tempat mereka mengaji sekaligus sebuah perpustakaan mini. Tak perlu waktu yang lama untuk mengumpulkan anak-anak di desa ini, sebab mereka sudah menunggu kami sejak tadi di bangunan ini. Bang Danar, selaku ketua perjalanan langsung membuka pembicaraan dan mengenalkan kami kepada mereka.
“ Apa kabar semuanya?”
“ Baaaiiik kaaak ” jawab mereka serempak
“Nah, kakak sekarang datang kesini gak sendiri, ada temen-temen kakak, udah kenal belum?”
“Belum kaaak”
“Mau di kenalin gak?”
“Maauuuu” jawaban yang bersemangat dari mereka membuatku melupakan rasa lelah.
            Bang Danar pun, mulai memperkenalkan kami satu persatu. tak lama Bang Danar memanggil ku sambil menunjuk ke arahku.
“Itu yang di sebelah sana, namanya Kak Sanna, ayo sapa kak Sanna!”
“Halooo kak Sanna” Sapa mereka
“Halo juga” jawabku sembil berdiri di hadapan mereka dan tersenyum.
            Setelah Bang Danar memperkenalkan kami semua, kaki ini kembali melangkah menuju rumah warga yang dengan baik hati memperbolehkan kami istirahat di sana.
            Matahari telah muncul kembali menggantikan sinar bulan, udara yang sejuk menyapa hari pertama kami berada di desa ini, Desa Girijagabaya yang berada di Lebak, Banten. Sebuah desa yang masih sangat membutuhkan perhatian Pemerintah, terutama mengenai pendidikannya. Kemarin aku dan yang lain sudah melewati perjalanan panjang nan berliku, sekarang saatnya menikmati tempat ini bersama anak-anak penuh semangat.
            Hari ini kami akan berkunjung ke SD Filia, satu-satunya sekolah dasar yang berada di desa ini sekaligus membantu mengajar disana. Ruang kelasnya tak banyak hanya ada 3 dan kelas yang lain belajar di teras depan.
             Sekolah ini belum lama berdiri, sebelumnya sekolah disini bak kandang kambing dan hanya ada sebuah papan sebagai pemisah kelas, itu tidak lebih parah dibandingkan dengan anak-anak itu harus melewati sawah dan kali untuk dapat sampai ke SD, sementara untuk SMP masih harus berjalan lebih jauh lagi. Walaupun begitu, semangat mereka tak putus. Dan itu yang membuat ku semakin bangga dengan mereka. Selalu ada kejutan-kejutan yang aku dapatkan, hari ini semangat mereka seperti tak pernah putus, dan bahkan wajah ceria tanpa beban yang selalu terlihat.
            Suatu ketika, aku dan karin menuju Saung Ilmu, tiba-tiba saja dua orang anak kecil menghampiri dan menggenggam tangan kami, walaupun aku merasa agak aneh dengan kejadian itu, tapi saat itu terasa menyenangkan. Sebuah pertanyaan pun keluar dari mulut ku.
“Kalian mau ikut kakak gak ke Jakarta, soalnya besok kakak dan yang lain mau pulang ke Jakarta”
Raut muka mereka langsung berubah sedih, walaupun begitu jawaban mereka begitu istimewa.
“Gak mau ah kak, kan sekolahnya belum libur. Jadi mau sekolah dulu” 
Jawaban polos namun sederhana, membuat aku dan Karin saling pandang dan tersenyum.
            Hari ini kami akan menghabiskan waktu seharian penuh bersama mereka, setelah usai sekolah kami berkumpul di lapangan desa. Siang itu dibawah terik matahari kami membuat satu perlombaan kecil, yang awalnya kufikir mereka tidak tertarik. Tapi ternyata apa yang kubayangkan berbeda dengan kejadiannya, saat bermain mereka nampak bersemangat bahkan suara tawa mereka beberapa kali terdengar.
            Ada satu anak laki-laki kelas empat SD namanya Akbar. Dia memenangkan perlombaan memasukan paku ke dalam botol. Aku berjalan mengahmpirinya. Wajahnya terlihat amat sangat senang.
“Akbar menang ya?” tanya ku
“Ia kak” Jawabnya dengan semangat serta senyum bahagia
Kemudian pandangannya tertuju pada langit biru di atas, aku yang heran ikut memandang langit tapi ternyata yang dia pandang bukan hanya langit, namun pesawat yang berada di langit. Lalu ku tanya, “Akbar mau naik pesawat?”
“Enggak kak Sanna, tapi Akbar mau jadi orang yang terbangin pesawat”
“Oh, jadi pilot maksudnya?”
“Ia, Akbar mau jadi pilot biar nanti bisa bawa ibu sama bapak terbang” jawabnya sambil terus memandang ke arah pesawat.
Aku diam memperhatikan bocah kecil tanpa alas kaki yang berada dihadapanku. Kemudian aku langsung berkata “Kalo Akbar mau jadi pilot, Akbar harus belajar yang rajin ya” kata ku sambil mengusap kepalanya.
“Pasti kak, Akbar akan belajar dengan rajin sampai jadi pilot. Kak Sanna mau ikut juga kan naik pesawat yang Akbar bawa?” katanya dengan penuh semangat dan rasa percaya diri.
“Mau dong, tapi Akbar harus jadi anak yang rajin belajar” kata ku, sambil pergi meninggalkannya, dalam hati ku berkata semoga itu tak  hanya menjadi sekedar cita-cita.
            Malam ini adalah malam terakhir kami. Tentu saja tak ingin ada waktu yang terbuang sia-sia. Acara malam ini pembagian hadiah kepada para pemenang lomba tadi siang di hadapan kedua orang tua mereka. Terasa begitu membanggakan ketika mereka mendapat hadiah, walaupun hanya hadiah biasa namun senyum tulus dan rasa senang yang tergambar dari wajah mereka membuat hadiah itu terasa istimewa.
            Mentari tampak malu-malu menunjukan dirinya. Pagi ini kami akan pergi meninggalkan desa, dan meninggalkan para pejuang kecil. Sebelum pergi meninggalkan tempat ini kami berpamitan kepada pejuang-pejuang mungil dengan sejuta harapan. Ada satu harapan dalam hatiku untuk mereka.
            Setelah persiapan selesai, kami melangkah meniggalkan desa, kembali melewati perjalanan yang sama, dengan orang-orang yang sama. Namun kali ini ada rasa dan cerita yang berbeda. Rasa syukur yang ku panjatkan karna tak perlu bersusah payah untuk bersekolah, sebuah pelajaran baru dalam perjalan ini.
            Semangat ya adik-adik kecil, pejuang-pejuang negeri, kaki-kaki mungil. Teruslah berlari hingga kalian bisa terus sekolah dan meraih cita-cita. Terimakasih atas semua kejutan-kejutan kecil yang kalian berikan.
            Dalam perjalanan pulang aku teringat satu pesan yang disampaikan oleh Bapak Anies Baswedan kepada para pengajar di Indonesia Mengajar. Bahwa sejatinya mendidik adalah tugas moral semua orang yang terdidik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar