Kaki Kecil Penuh Kejutan
Mentari pagi telah
keluar dari peraduannya, hari ini aku akan memulai sesuatu yang baru di tempat
yang baru, rencana ini sudah disusun beberapa hari sebelumnya, hari yang cerah
seperti mendukung apa yang telah direncanakan. Aku dan beberapa teman kuliah akan
pergi menuju suatu tempat, yang bahkan aku belum pernah berkunjung sebelumnya,
hanya tau cerita dari orang-orang tentang keadaan di sana, dan itu membuatku
ingin pergi. Sangat ingin.
Langit pagi saat
itu menjadi saksi tercapainya sebuah keinginan sederhana. Tepat pukul 06.00 WIB
aku beserta teman yang lain telah berkumpul di halte depan kampus. Tas besar
dengan isi beberapa pakaian di dalamnya siap menemani perjalananku.
Pemberhentian pertama kami adalah stasiun, aku tau pasti kami akan menaiki
sebuah kereta, butuh waktu yang lama menunggu kereta yang kami tumpangi.
Setelah beberapa kereta telah lewat begitu saja, ada satu kereta lokal yang berhenti di hadapanku, kereta yang
terlihat sudah tua dan usang bahkan pintu otomatisnya pun tampak tak berfungsi.
Awalnya aku hanya
diam memandangi kereta itu, tapi saat melihat beberapa teman masuk ke dalamnya,
aku langsung terkejut dan berkata dalam hati “ternyata kereta ini yang ditunggu
dan yang mengantarkanku pada perjalanan istimewa”. Kaki ini tak membuat langkah
apapun hanya mata yang masih memandang, kemudian terdengar suara merdu yang
memanggilku.
“Na, ayo! kamu jadi ikut kan?”
“iya jadi dong” sahutku disusul dengan langkah masuk ke dalam kereta.
Karin hanya membalas dengan senyuman. Kemudian kami masuk menyelusuri
lorong kereta mencari-cari kursi yang kosong.
Setelah dua jam
dalam perjalanan, akhirnya aku dan yang lain sampai di stasiun, hujan turun
menyambut kehadiran kami. Aku beserta penumpang lainnya berjalan ke arah pintu
keluar, sampai di sana ternyata kami telah ditunggu oleh seorang bapak yang
terlihat agak tua, beliau biasa dipanggil Pak Toha. Pak Toha menyambut kami
dengan guratan senyum di wajahnya, nampak menenangkan bagai seorang ayah yang
menunggu kedatangan anak-anaknya.
Pak Toha memimpin
aku dan yang lain menuju tempat parkir, tenyata sebuah mobil sudah siap untuk
menemani perjalanan ku selanjutnya. Barang-barang
yang kami bawa dimasukan dalam mobil, termaksud sayuran sampai beras yang telah
kami beli di pasar samping stasiun. Mobil ini nampak berbeda dari yang lain,
mungkin kalau di Jakarta dikenal dengan nama angkot, tapi ini memiliki bentuk berbeda,
hanya saja fungsinya sama yaitu untuk mengangkut penumpang.
Mobil terus melaju,
aku memperhatikan jalan lewat kaca mobil, hujan telah berhenti namun debu-debu
di jalan nampak jelas terlihat, sesekali kami berpapasan dengan sebuah truk
besar yang membawa beberapa barang angkut. Jalurnya berkelok dan jalan yang tak
rata, sangat jelas terasa saat dalam perjalanan dan itu membuat perutku jadi
tak bersahabat. Sesekali berusaha memejamkan mata agar tak mual namun sia-sia
saja, jalur yang masih tetap berkelok-kelok makin membuat perutku tak
bersahabat, tapi untunglah tak lama mobil ini terhenti, aku dengan senyum
bahagia keluar dari mobil, ku fikir saat itu kami sudah tiba, makanya semangat
ku langsung timbul kembali. Langsung saja sebuah pertanyaan keluar dari
mulutku.
“Bang Danar, ini ya tempat kita menginap?” kataku sambil menunjuk sebuah
rumah dihadapan kami.
“Kata siapa Na? kita belum sampai, ini baru setengah jalan”
jawabnya dengan nada yang sedikit meledek.
“Hah, serius? tapi kok Pak
Toha berhenti di sini kak?” Raut mukaku yang tadinya senyum sumringah langsung
berubah terkejut tak percaya.
“Iya Na saya serius, masa kamu enggak percaya sama saya. Pak Toha
hanya mengantar sampai sini, selebihnya perjalanan istimewa kita dilanjutkan
dengan jalan kaki. Inget ya Na, ini
perjalanan istimewa jadi harus semangat” jawabnya dengan muka sumringah.
Aku hanya membalas dengan senyuman. Senyuman yang mengartikan bahwa
aku mengerti kenapa ia bilang ini perjalanan istimewa.
Setelah semua
barang sudah dipastikan turun, kami kembali melanjutkan perjalanan yang
sesungguhnya. Aku dan temanku kaget ketika melihat jalur yang akan kita lewati.
Jalurnya seperti mendaki bukit dan bahkan menurutku seperti naik gunung. Cukup
melelahkan pasti, terlebih bagi orang yang jarang olahraga sepertiku.
Kakiku terus
melangkah, udaranya amat sangat sejuk, kanan kiri jalan masih sepi perumahan penduduk.
Di sepanjang perjalanan, suara canda tawa kami tak henti, sampai kami merekam
jejak perjalanan, bak seorang petualang. Walaupun kakiku sudah amat terasa
lelah namun itu semua tak bisa mengusir rasa penasaranku. Saat kaki mulai tak
kuat untuk melangkah, dan mulai sering berhenti, serta suara canda tawa mulai
berkurang karna kelelahan yang muncul.
Tiba-tiba muncul
sosok-sosok mungil dari kejauhan yang berlarian kearah kami, aku yang tidak
mengenal mereka kaget saat mereka menghampiri kami. Aku bertanya-tanya dalam
hati, siapa mereka? dan mengapa tiba-tiba datang menghampiri kami? tidak ada
yang bercerita tentang mereka kepada ku.
Pandanganku masih
tertuju kepada mereka semua, aku benar-benar memperhatikan mereka semua secara
teliti, sampai kemudian ada yang menepuk punggungku dari belakang.
“Na” panggil Nadia.
“Kenapa kamu? bingung ya melihat mereka?” tanyanya kepadaku
“Iya Na, aku bingung .memangnya mereka itu siapa?” Tanyaku kepada
Nadia sambil menunjuk kearah sosok-sosok mungil dihadapan kami.
“Mereka itu anak-anak di desa ini. Memang setiap kita berkunjung ke
tempat ini selalu disambut oleh mereka” jawab Nadia dengan senyuman.
Rasa lelah yang
sejak tadi menemani kami, terasa hilang ketika mereka semua berlarian dengan
semangat ke arah kami. Bahkan mereka berlari tanpa menggunakan alas kaki,
kaki-kaki mungil itu seperti tak merasa kesakitan, nampak telah terbiasa
seperti itu. Perjalanan kami terasa lebih ringan saat di temani oleh mereka,
bahkan menjadi lebih ramai.
Tidak hanya datang
dan menghampiri kami, tapi mereka juga sangat antusias dengan buku yang kami
bawa, walaupun tak semua dari mereka mengerti. Tapi wajah itu sangat senang
saat menggenggam sebuah buku.
Akhirnya aku dan
teman-teman yang lain tiba di pemukiman warga, kami beristirahat sejenak
disebuah bangunan dari kayu, bangunan yang penuh dengan hiasan karya mereka. Tempat
itu dinamai Saung Ilmu, tempat mereka mengaji sekaligus sebuah perpustakaan
mini. Tak perlu waktu yang lama untuk mengumpulkan anak-anak di desa ini, sebab
mereka sudah menunggu kami sejak tadi di bangunan ini. Bang Danar, selaku ketua
perjalanan langsung membuka pembicaraan dan mengenalkan kami kepada mereka.
“ Apa kabar semuanya?”
“ Baaaiiik kaaak ” jawab mereka serempak
“Nah, kakak sekarang datang kesini gak sendiri, ada temen-temen
kakak, udah kenal belum?”
“Belum kaaak”
“Mau di kenalin gak?”
“Maauuuu” jawaban yang bersemangat dari mereka membuatku melupakan
rasa lelah.
Bang Danar pun,
mulai memperkenalkan kami satu persatu. tak lama Bang Danar memanggil ku sambil
menunjuk ke arahku.
“Itu yang di sebelah sana, namanya Kak Sanna, ayo sapa kak Sanna!”
“Halooo kak Sanna” Sapa mereka
“Halo juga” jawabku sembil berdiri di hadapan mereka dan tersenyum.
Setelah Bang Danar
memperkenalkan kami semua, kaki ini kembali melangkah menuju rumah warga yang
dengan baik hati memperbolehkan kami istirahat di sana.
Matahari telah
muncul kembali menggantikan sinar bulan, udara yang sejuk menyapa hari pertama
kami berada di desa ini, Desa Girijagabaya yang berada di Lebak, Banten. Sebuah
desa yang masih sangat membutuhkan perhatian Pemerintah, terutama mengenai
pendidikannya. Kemarin aku dan yang lain sudah melewati perjalanan panjang nan
berliku, sekarang saatnya menikmati tempat ini bersama anak-anak penuh
semangat.
Hari ini kami akan
berkunjung ke SD Filia, satu-satunya sekolah dasar yang berada di desa ini
sekaligus membantu mengajar disana. Ruang kelasnya tak banyak hanya ada 3 dan
kelas yang lain belajar di teras depan.
Sekolah ini belum lama berdiri, sebelumnya sekolah
disini bak kandang kambing dan hanya ada sebuah papan sebagai pemisah kelas,
itu tidak lebih parah dibandingkan dengan anak-anak itu harus melewati sawah dan
kali untuk dapat sampai ke SD, sementara untuk SMP masih harus berjalan lebih
jauh lagi. Walaupun begitu, semangat mereka tak putus. Dan itu yang membuat ku
semakin bangga dengan mereka. Selalu ada kejutan-kejutan yang aku dapatkan,
hari ini semangat mereka seperti tak pernah putus, dan bahkan wajah ceria tanpa
beban yang selalu terlihat.
Suatu ketika, aku
dan karin menuju Saung Ilmu, tiba-tiba saja dua orang anak kecil menghampiri
dan menggenggam tangan kami, walaupun aku merasa agak aneh dengan kejadian itu,
tapi saat itu terasa menyenangkan. Sebuah pertanyaan pun keluar dari mulut ku.
“Kalian mau ikut kakak gak ke Jakarta, soalnya besok kakak dan yang
lain mau pulang ke Jakarta”
Raut muka mereka langsung berubah sedih, walaupun begitu jawaban
mereka begitu istimewa.
“Gak mau ah kak, kan sekolahnya belum libur. Jadi mau sekolah
dulu”
Jawaban polos namun sederhana, membuat aku dan Karin saling pandang
dan tersenyum.
Hari ini kami akan
menghabiskan waktu seharian penuh bersama mereka, setelah usai sekolah kami berkumpul
di lapangan desa. Siang itu dibawah terik matahari kami membuat satu perlombaan
kecil, yang awalnya kufikir mereka tidak tertarik. Tapi ternyata apa yang
kubayangkan berbeda dengan kejadiannya, saat bermain mereka nampak bersemangat
bahkan suara tawa mereka beberapa kali terdengar.
Ada satu anak
laki-laki kelas empat SD namanya Akbar. Dia memenangkan perlombaan memasukan
paku ke dalam botol. Aku berjalan mengahmpirinya. Wajahnya terlihat amat sangat
senang.
“Akbar menang ya?” tanya ku
“Ia kak” Jawabnya dengan semangat serta senyum bahagia
Kemudian pandangannya tertuju pada langit biru di atas, aku yang
heran ikut memandang langit tapi ternyata yang dia pandang bukan hanya langit,
namun pesawat yang berada di langit. Lalu ku tanya, “Akbar mau naik pesawat?”
“Enggak kak Sanna, tapi Akbar mau jadi orang yang terbangin
pesawat”
“Oh, jadi pilot maksudnya?”
“Ia, Akbar mau jadi pilot biar nanti bisa bawa ibu sama bapak
terbang” jawabnya sambil terus memandang ke arah pesawat.
Aku diam memperhatikan bocah kecil tanpa alas kaki yang berada
dihadapanku. Kemudian aku langsung berkata “Kalo Akbar mau jadi pilot, Akbar
harus belajar yang rajin ya” kata ku sambil mengusap kepalanya.
“Pasti kak, Akbar akan belajar dengan rajin sampai jadi pilot. Kak
Sanna mau ikut juga kan naik pesawat yang Akbar bawa?” katanya dengan penuh
semangat dan rasa percaya diri.
“Mau dong, tapi Akbar harus jadi anak yang rajin belajar” kata ku,
sambil pergi meninggalkannya, dalam hati ku berkata semoga itu tak hanya menjadi sekedar cita-cita.
Malam ini adalah
malam terakhir kami. Tentu saja tak ingin ada waktu yang terbuang sia-sia.
Acara malam ini pembagian hadiah kepada para pemenang lomba tadi siang di hadapan
kedua orang tua mereka. Terasa begitu membanggakan ketika mereka mendapat
hadiah, walaupun hanya hadiah biasa namun senyum tulus dan rasa senang yang
tergambar dari wajah mereka membuat hadiah itu terasa istimewa.
Mentari tampak
malu-malu menunjukan dirinya. Pagi ini kami akan pergi meninggalkan desa, dan
meninggalkan para pejuang kecil. Sebelum pergi meninggalkan tempat ini kami
berpamitan kepada pejuang-pejuang mungil dengan sejuta harapan. Ada satu
harapan dalam hatiku untuk mereka.
Setelah persiapan
selesai, kami melangkah meniggalkan desa, kembali melewati perjalanan yang sama,
dengan orang-orang yang sama. Namun kali ini ada rasa dan cerita yang berbeda.
Rasa syukur yang ku panjatkan karna tak perlu bersusah payah untuk bersekolah,
sebuah pelajaran baru dalam perjalan ini.
Semangat ya
adik-adik kecil, pejuang-pejuang negeri, kaki-kaki mungil. Teruslah berlari
hingga kalian bisa terus sekolah dan meraih cita-cita. Terimakasih atas semua
kejutan-kejutan kecil yang kalian berikan.
Dalam perjalanan
pulang aku teringat satu pesan yang disampaikan oleh Bapak Anies Baswedan
kepada para pengajar di Indonesia Mengajar. Bahwa sejatinya mendidik adalah
tugas moral semua orang yang terdidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar