Aku tertegun kaku di depan pintu
sebuah kelas yang tertutup rapat, pintu itu berukuran 2x3 meter
berwarna coklat kayu yang di cat mengkilat sehingga aku bisa melihat
bayangan wajahku yang penuh peluh karena terburu-buru menaiki tangga
dari lantai satu ke lantai tiga. Jantungku berdegup kencang mengingat
bayangan dosen yang siap menendangku dengan sejuta cacian dan cibiran
jika ada mahasiswanya yang telat memasuki kelas, dan hari itu aku
datang tepat pukul 09:30 WIB terlambat 20 menit dari jadwal yang
seharusnya.
Saat aku masih tertegun kaku dan
mencoba mengatur nafas, tiba-tiba terdengan suara yang bergemuruh dan
langkah kaki yang sangat terburu-buru melewatiku. Mereka adalah
mahasiswa semester atas yang juga terlambat, mungkin karena macet,
atau memang ketiduran di kosan seperti alasan kebanyakan mahasiswa
Ciputat. Beruntungnya mereka memasuki kelas disamping kelasku yang
sudah pasti tidak akan bertemu dengan dosenku hari ini yang sangat
tidak mengenal ampun, rasa-rasanya aku lebih takut kepadanya daripada
kepada Tuhan.
Aku membawa tas gendong hitam
berukuran sedang yang terlalu berat rasanya untuk seorang perempuan,
berisi laptop dan buku statistik yang tebalnya kurang lebih 5cm yang
membuat pundakku sakit jika terlalu lama berjalan menmbawanya.
Setelah mengumpulkan keberanian dan merapihkan jilbab paris biru
dongker yang ku pakai, aku memindahkan tasku dari bahu kanan ke bahu
kiri karena bahu kananku rasa-rsanya mau patah. Hari itu aku
mengenakan kemeja polo
jeans original yang
sangat longgar, bagaimana tidak baju yang ku pakai adalah baju yang
ayahku pakai semasa beliau kuliah dulu. Celana jeans yang ku lipat
sampai mata kaki, sepatu sport nike putih dan kaos kaki putih dibawah
mata kaki adalah seragam kebangsaanku yang sangat mendukung karierku
sebagi pemburu busway.
Aku memegang gagang pintu dengan
tangan yang basah dengan keringat, gagang pintu itu berwarna kuning
emas dan sedikit berkarat di bagian tengahnya. Ku putar perlahan dan
kudorong pelan, sayup-sayup mulai terdengar suara yang sangat bising
dari ruangan yang semula ku kira hening. Tercium aroma parfum yang
sangat menyengat dari dalam kelas, sangat manis, entah wangi apa, ku
kira itu parfum yang dipakai oleh mahasiswi hijabers berkerudung
pashmina merah dengan bibir berlipstik tebal, beralis palsu dan
mengenakan soflens
berwarna biru muda, dia sedang sibuk menata wajah yang ku kira
terlalu rindang dengan make
up. Dia mengenakan kemeja
gissele merah jambu dan celana jeans hitam serta wedges
yang tinnginya sekitar 5cm, pemandangan yang sangat menyenangkan ku
pikir. Karena bisa dipastikan bahwa di kelas itu tak ada dosen yang
ku bayangkan akan melemparku dari jendela hari itu. Dan kebetulan
insiden itu sangat mungkin terjadi, karena kelas ku memiliki enam
jendela kaca yang membuat mahasiswa bisa melihat pemandangan gedung
fakultas tetangga yang sama persis tinggi dan bangunannya pun kembar.
Dengan wajah yang sangat senang, aku
memasuki kelas yang tidak terlalu besar dengan senyum lebar, kelas
ini hanya muat untuk 30 orang. Ku lihat satu papan tulis yang terbuat
dari kaca dan berbingkai kayu jati yang sangat bersih di depan kelas
yang membuat aku menghela nafas tenang. Ku lihat teman-teman yang
sangat sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Mereka duduk di kursi
yang terbuat dari kayu jati, dipojok kanan kelas ada sekumpulan
mahasiswa sosialita yang sibuk dengan online
shop dan agenda-agenda
hang out
yang mereka musyawarahkan sebagai pengganti mata kuliah hari ini, ada
juga yang sibuk berjualan roti goreng yang memangsa anak-anak kos
yang sulit mendapatkan sarapan jika harus pagi-pagi sekali datang ke
kampus. Di depan pintu ada sekumpulan mahasiswa yang senang kajian
yang sibuk dengan diskusi-diskusi yang tak berujung, mereka adalah
aktivis yang sangat ku senangi karena setidaknya mereka menyiapkan
diri untuk menempuh masa depan yang penuh tantangan. Ku sapa
teman-temanku koloni per koloni, dengan santainya aku berjalan ke
meja dosen dan kemudian duduk di kursi dosen yang berwarna krem yang
empuk dan bisa memutar, sangat lain dengan kursi mahasiswa yang
datar, keras yang sempit. Ah, sudahlah ini hanya kebiasaan buruk yang
selalu ku ulangi saat berada di kelas.
Aku bisa mengamati teman-teman dan
seisi ruang kelas dari kursi itu, ku lipat tanganku di meja kayu jati
yang sangat halus. Tercium aroma wangi kayu dan cat yang khas kala
aku bernafas tenang dan menopang dagu dengan tangan kanan di meja
itu. Aku selalu menyadari bahwa kelasku akan berubah menjadi cafe
yang sangat bising dalam
keadaan seperti ini, dan aku lebih suka menjadi pengamat daripada
harus bergabung dan memilih salah satu fraksi dari teman-temanku.
Disamping
kanan kelas di dekat meja dosen terpasang dua pendingin ruangan
panasonic
yang cukup untuk membuat ruangan kelasku tetap sejuk, walaupun
samar-samar tercium wangi kaos kaki yang belum dicuci
berminggu-minggu, atau keringat mahasiswa yang mungkin naik turun
metro mini atau ojeg sebelum mereka tiba dikelas.
Saat aku sibuk memperhatikan mereka,
tiba-tiba empat lampu neon
panjang
berukuran satu meter di langit-langit kelasku mati, aku hanya
mengerutkan jidat dan mataku langsung tertuju kesamping pintu mencari
siapa sebenarnya yang memencet steker
lampu
yang berwarna putih dan tombolnya bulat sebesar permen telur cicak,
sementar mahasiswi yang lain seperti biasa, berteriak. Ternyata
disana ada seorang teman lama yang isengnya tidak jauh berbeda
denganku. Dengan wajah yang sangat senang dia menyalakan lampu
kembali dan aku berlari menghampirinya. Aku hampir saja terpeleset,
karena lantai kelasku cukup licin mungkin sedikit berdebu karena
tidak di pel setiap hari.
“Abang
...” sapaku ramah menjabat tangannya, tak lama dia menjabat
tanganku dan mengajakku keluar kelas seperti biasa, sekedar untuk
berdiskusi berita ekonomi atau politik kampus. Dia adalah kakak
kelasku, yang hobbynya memang mengulang mata kuliah di kelas semester
empat ketika teman-teman seangkatannya sudah sibuk dengan skripsi.
Tapi, ah aku rasa suatu hari bisa jadi aku menjadi bagian dari
mereka.
Pemandangan mahasiswa lama menjadi
bagaian dari kelas metode penelitian ekonomiku. Walau pun kelasnya
kecil, aku rasa begitu banyak orang yang menyukai cat ruang kelasku
yang berwarna kuning agak pudar, buktinya ada saja
mahasiswa-mahasiswa semester delapan atau enam yang masih betah
menghabiskan waktunya disana.
Aku meninggalkan kelas bersama kakak
kelasku dan saat aku membuka pintu, terasa udara yang cukup panas
yang membuat aku bersemangat dan aku rasa aku lebih menyukai
pemandangan pohon-pohon cemara di fakultasku, daripada kelas yang
sangat sesak dan bising.
Jalan cerita dan pengembangan deskripsi sudah baik. akan tetapi penggunan majas perbandingan seperti "rasa-rasanya aku lebih takut kepadanya daripada kepada Tuhan." alangkah lebih baiknya dianjurkan untuk tidak ditulis, karna itu terlalu berlebihan dan melanggar norma syariat. EYD sudah sesuai, hanya saja penggunaan kata hubung seperti "nya" masih ada yang tidak konsisten.
BalasHapus