Jumat, 17 April 2015

Kisruh Pagi di Ruang Kelas Metode Penelitian Ekonomi 3.3.08 FSH UIN Jakarta

Aku tertegun kaku di depan pintu sebuah kelas yang tertutup rapat, pintu itu berukuran 2x3 meter berwarna coklat kayu yang di cat mengkilat sehingga aku bisa melihat bayangan wajahku yang penuh peluh karena terburu-buru menaiki tangga dari lantai satu ke lantai tiga. Jantungku berdegup kencang mengingat bayangan dosen yang siap menendangku dengan sejuta cacian dan cibiran jika ada mahasiswanya yang telat memasuki kelas, dan hari itu aku datang tepat pukul 09:30 WIB terlambat 20 menit dari jadwal yang seharusnya.
Saat aku masih tertegun kaku dan mencoba mengatur nafas, tiba-tiba terdengan suara yang bergemuruh dan langkah kaki yang sangat terburu-buru melewatiku. Mereka adalah mahasiswa semester atas yang juga terlambat, mungkin karena macet, atau memang ketiduran di kosan seperti alasan kebanyakan mahasiswa Ciputat. Beruntungnya mereka memasuki kelas disamping kelasku yang sudah pasti tidak akan bertemu dengan dosenku hari ini yang sangat tidak mengenal ampun, rasa-rasanya aku lebih takut kepadanya daripada kepada Tuhan.
Aku membawa tas gendong hitam berukuran sedang yang terlalu berat rasanya untuk seorang perempuan, berisi laptop dan buku statistik yang tebalnya kurang lebih 5cm yang membuat pundakku sakit jika terlalu lama berjalan menmbawanya. Setelah mengumpulkan keberanian dan merapihkan jilbab paris biru dongker yang ku pakai, aku memindahkan tasku dari bahu kanan ke bahu kiri karena bahu kananku rasa-rsanya mau patah. Hari itu aku mengenakan kemeja polo jeans original yang sangat longgar, bagaimana tidak baju yang ku pakai adalah baju yang ayahku pakai semasa beliau kuliah dulu. Celana jeans yang ku lipat sampai mata kaki, sepatu sport nike putih dan kaos kaki putih dibawah mata kaki adalah seragam kebangsaanku yang sangat mendukung karierku sebagi pemburu busway.
Aku memegang gagang pintu dengan tangan yang basah dengan keringat, gagang pintu itu berwarna kuning emas dan sedikit berkarat di bagian tengahnya. Ku putar perlahan dan kudorong pelan, sayup-sayup mulai terdengar suara yang sangat bising dari ruangan yang semula ku kira hening. Tercium aroma parfum yang sangat menyengat dari dalam kelas, sangat manis, entah wangi apa, ku kira itu parfum yang dipakai oleh mahasiswi hijabers berkerudung pashmina merah dengan bibir berlipstik tebal, beralis palsu dan mengenakan soflens berwarna biru muda, dia sedang sibuk menata wajah yang ku kira terlalu rindang dengan make up. Dia mengenakan kemeja gissele merah jambu dan celana jeans hitam serta wedges yang tinnginya sekitar 5cm, pemandangan yang sangat menyenangkan ku pikir. Karena bisa dipastikan bahwa di kelas itu tak ada dosen yang ku bayangkan akan melemparku dari jendela hari itu. Dan kebetulan insiden itu sangat mungkin terjadi, karena kelas ku memiliki enam jendela kaca yang membuat mahasiswa bisa melihat pemandangan gedung fakultas tetangga yang sama persis tinggi dan bangunannya pun kembar.
Dengan wajah yang sangat senang, aku memasuki kelas yang tidak terlalu besar dengan senyum lebar, kelas ini hanya muat untuk 30 orang. Ku lihat satu papan tulis yang terbuat dari kaca dan berbingkai kayu jati yang sangat bersih di depan kelas yang membuat aku menghela nafas tenang. Ku lihat teman-teman yang sangat sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Mereka duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati, dipojok kanan kelas ada sekumpulan mahasiswa sosialita yang sibuk dengan online shop dan agenda-agenda hang out yang mereka musyawarahkan sebagai pengganti mata kuliah hari ini, ada juga yang sibuk berjualan roti goreng yang memangsa anak-anak kos yang sulit mendapatkan sarapan jika harus pagi-pagi sekali datang ke kampus. Di depan pintu ada sekumpulan mahasiswa yang senang kajian yang sibuk dengan diskusi-diskusi yang tak berujung, mereka adalah aktivis yang sangat ku senangi karena setidaknya mereka menyiapkan diri untuk menempuh masa depan yang penuh tantangan. Ku sapa teman-temanku koloni per koloni, dengan santainya aku berjalan ke meja dosen dan kemudian duduk di kursi dosen yang berwarna krem yang empuk dan bisa memutar, sangat lain dengan kursi mahasiswa yang datar, keras yang sempit. Ah, sudahlah ini hanya kebiasaan buruk yang selalu ku ulangi saat berada di kelas.
Aku bisa mengamati teman-teman dan seisi ruang kelas dari kursi itu, ku lipat tanganku di meja kayu jati yang sangat halus. Tercium aroma wangi kayu dan cat yang khas kala aku bernafas tenang dan menopang dagu dengan tangan kanan di meja itu. Aku selalu menyadari bahwa kelasku akan berubah menjadi cafe yang sangat bising dalam keadaan seperti ini, dan aku lebih suka menjadi pengamat daripada harus bergabung dan memilih salah satu fraksi dari teman-temanku.
Disamping kanan kelas di dekat meja dosen terpasang dua pendingin ruangan panasonic yang cukup untuk membuat ruangan kelasku tetap sejuk, walaupun samar-samar tercium wangi kaos kaki yang belum dicuci berminggu-minggu, atau keringat mahasiswa yang mungkin naik turun metro mini atau ojeg sebelum mereka tiba dikelas.
Saat aku sibuk memperhatikan mereka, tiba-tiba empat lampu neon panjang berukuran satu meter di langit-langit kelasku mati, aku hanya mengerutkan jidat dan mataku langsung tertuju kesamping pintu mencari siapa sebenarnya yang memencet steker lampu yang berwarna putih dan tombolnya bulat sebesar permen telur cicak, sementar mahasiswi yang lain seperti biasa, berteriak. Ternyata disana ada seorang teman lama yang isengnya tidak jauh berbeda denganku. Dengan wajah yang sangat senang dia menyalakan lampu kembali dan aku berlari menghampirinya. Aku hampir saja terpeleset, karena lantai kelasku cukup licin mungkin sedikit berdebu karena tidak di pel setiap hari.
Abang ...” sapaku ramah menjabat tangannya, tak lama dia menjabat tanganku dan mengajakku keluar kelas seperti biasa, sekedar untuk berdiskusi berita ekonomi atau politik kampus. Dia adalah kakak kelasku, yang hobbynya memang mengulang mata kuliah di kelas semester empat ketika teman-teman seangkatannya sudah sibuk dengan skripsi. Tapi, ah aku rasa suatu hari bisa jadi aku menjadi bagian dari mereka.
Pemandangan mahasiswa lama menjadi bagaian dari kelas metode penelitian ekonomiku. Walau pun kelasnya kecil, aku rasa begitu banyak orang yang menyukai cat ruang kelasku yang berwarna kuning agak pudar, buktinya ada saja mahasiswa-mahasiswa semester delapan atau enam yang masih betah menghabiskan waktunya disana.
Aku meninggalkan kelas bersama kakak kelasku dan saat aku membuka pintu, terasa udara yang cukup panas yang membuat aku bersemangat dan aku rasa aku lebih menyukai pemandangan pohon-pohon cemara di fakultasku, daripada kelas yang sangat sesak dan bising.

1 komentar:

  1. Jalan cerita dan pengembangan deskripsi sudah baik. akan tetapi penggunan majas perbandingan seperti "rasa-rasanya aku lebih takut kepadanya daripada kepada Tuhan." alangkah lebih baiknya dianjurkan untuk tidak ditulis, karna itu terlalu berlebihan dan melanggar norma syariat. EYD sudah sesuai, hanya saja penggunaan kata hubung seperti "nya" masih ada yang tidak konsisten.

    BalasHapus