Kamis, 30 April 2015

cerpen UTS

yosie apriliani 1113046000162

Dia Si Benalu
            Wajah yang cantik jelita, dengan kulit sawo matang khas indonesia. Tutur katanya manis seperti madu, bahkan melebihi manisnya madu. Tinggi tubuhnya ideal. Satu meter enam puluh senti meter. Rambutnya yang panjang terurai, hitam mengkilap, selalu tersisir rapih. Setiap berjalan wanita cantik itu tampak seperti model-model yang berjalan di atas cat walk. Kapan saja ia berbicara, apa saja yang terlontar dari mulutnya itu bagaikan terpaan angin yang membawa ikut sertakan gula pasir, menjadikan semua teras menjadi sangat manis. Dialah Tita yang menjadi bahan celotehan karyawan kantor, dimana aku kerja sekarang.
            ”yang membuatku aneh dengan sikap dia itu adalah rasa nggak tahu dirinya itu kemana sih?? Dia umpetin dimana sih?? Sampe ngk ada sama sekali rasa ngk tau dirinya itu, keseel gua liatnya.” begitulah salah satu kometar dari karyawan kantor yang sempat terdengar ditelingaku.
            “karyawan mana sih yang kuat nahan ngelihat dia yang punya muka seribu dan keras kepala begitu, apalagi sesama cewek, pasti udah nggak nahan tuh” lagi-lagi komentar yang terdengar olehku.
            Komentar tentang Tita bisa menjadi sebuah buku tebal, setebal buku statistikku sewaktu masih kuliah semester empat dulu, kalau saja ada yang mau menghimpunnya, menjadi buku tebal semua komentar tentang Tita.
            Aku kira wanita lulusan Universitas Padjajaran jurusan Akuntansi itu juga sadar betul, ia menjadi bahan celotehan karyawan banyak di kantor, khusunya wanita yang sering juga disebut oleh banyak orang dengan julukan bermulut dua, karna saking banyaknya bicara dan setelah aku sadari ternyata memang ketika aku melihat sekelompok pembenci atau haters Tita, ketika sedang mengomentarinya itu topik pembahasan sangat menjadi-jadi, melibatkan banyak hal yang berkaitan satu sama lain, membakar emosi bagi para pendengarnya.
            Karena sikapnya yang suka berbicara manis itu, dan trik dia untuk mendapatkan apa yang ia inginkan sampai mendapatkannya. Sering kali beberapa karyawan sudah terkena hasutan dari sikap nya yang seperti itu dan lagi ditambahi oleh paras cantik yang ia miliki, sebagai nilai x untuk menghasut beberapa karyawan di kantor, khususnya para karyawan laki-laki.
            Pernah suatu ketika, waktu aku baru mengenal Tita. Ia memiliki seorang teman wanita dan lelaki, Iren dan Doni. Mereka sangat dekat satu sama lain, datang ke kantor bareng, berkerja bareng, istirahat atau makan siang selalu bareng, bahkan ketika hendak pulang kerjapun mereka selalu bersama.
            Iren memiliki penghasilan lebih dari dari Tita, karna jabatan meraka yang berbeda kelas, sehingga membuat Tita kalah dalam penampilan atau lifestyle nya dengan Iren. Ia seringkali meminjam dan bahkan meminta sesuatu yang ia inginkan dan dia merupakan salah satu tipe orang yang selalu mendahulukan uang dari segalanya, itu yang selalu ia katakan. Mendekati rekan kerja yang lain itu karna ia memiliki tujuan tertentu, selain itu dia tidak akan mendekati siapapun. Tanpa rasa malu ia selalu berkelakuan seperti itu.
            Waktu istirahat dan jam makan, sebelum iren keluar Tita menghampirinya terlebih dahulu. Lalu berkata.
            “Iren,, tolongiin aku doong, aku lagi butuh uang banget niih. Nanti kalo honor aku udah turun aku ganti langsung uang kamu, pliis plis...” rengekan Tita yang membuat Iren lagi-lagi terkena hasutannya. Tersenyum dan memberikan uang yang ia maksudkan itu kepada Tita.
            Karna sikap Iren yang sangat baik dan perhatian kepada teman, seringkali ia dibutakan oleh berbagai sifat-sifat yang dimiliki oleh Tita. Dari situ Tita menggantungkan hidupnya kepada Iren, Iren yang tidak menyadari akan hal itu seringkali terpengaruh oleh permintaannya yang mungkin sangat mengganggunya. Diakan teman ku, kenapa tidak. Bisik hatinya setiap memberikan apa yang ia pinta.
            Begitupun sama halnya dengan Doni, yang selalu diminta bantuannya oleh Tita. Karna Doni yang menyimpan rasa suka terhadap Tita, dia rela melakukan segalanya untuk mendapatkan perhatian dan rasa sayangnya Tita. Hal itu menjadi kesempatan Tita untuk terus meminta bantuan ke pada Doni dalam hal apapun, dan bahkan telah menggantungkan hidupnya kepada Doni, meskipun Tita tidak meiliki rasa timbal balik terhadap Doni. Donipun tidak akan menyerah, meskipun sebenarnya Tita memperbudak dia dengan caranya sendiri, dan Donipun tidak mengetahui akan hal itu.
            Hidup Tita sangatlah berwarna, karna dia memiliki dua temannya sendiri untuk dijadikan sandaran hidupnya. Diibaratkan seperti dua pohon yang masing-masing sudah memiliki biji benalu yang dibiarkan hidup, dibiarkan dan terus berkembang biak. Kedua temannya pun belum saja menyadari, kasih yang selalu ia berikan itu bukan kasih yang tulus sebagai seorang teman pada umumnya. Dia lebih mementingkan diri sendiri dan melakukan apapun yang dia inginkan. Sifat yang keras kepalanya itu membuat dia tidak akan menyerah untuk mendapatkan apa yang ia inginkan dengan cara apapun, bahkan dengan cara memakan temannya sendiripun ia lakukan, hanya karna sifat keegoisan dia terhadap apa yang diinginkannya.
            Bagaimana Iren? Wanita yang ingin memasuki usia 27 tahun itu tampaknya tidak menyadari dan tidak merasa apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia tetap manis dan telalu sopan sebagai atasan. Alhi manajemen ini tidak pernah terpancing untuk terlibat dalam omongan yang menyerempet-menyerempet bahaya. Karana ia terlalu sibuk dengan tugas pekerjaannya sebagai menejer di kantor kami. Tatipun senantiasa berada didekatnya.
            Sebagai pengamat, aku tidak dapat meramalkan situasi bagaimana yang akan timbul di kantor kami berikutnya. Dan ternyata aku tidak cukup pandai analitis dalam mengamati situasi, khususnya situasi seperti ini. Hana, mahasiswa ABA (Akademi Bahasa Asing) yang putus kuliah, menanam keyakinan seperti itu dalam diriku. Barang kali dialah satu-satunya wanita di kantor kami yang tidak terpengaruh atau terbawa emosi tidak tentu sebab karena akhir-akhir ini terkuaknya siapa Tita yang sebenarnya.
            Gadis manis dengan lesung pipit dikedua pipinya, terlihat indah setiap ia tersenyum lebar ini tetap bekerja dengan penuh dedikasi dan berdisiplin, ia sama sekali tidak berniat bergabung dengan barisan yang terbawa emosi atau calon-calon anggota barisan itu.
            Sebagai manusia, khususnya sebagai wanita, nalurinya yang tajam. Ia tahu. Bagaimana sifat Tita yang sangat tidak tahu malu dan keras kepala dan berbuat semaunya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, dan sudah memperdayakan temannya sendiri. Itu terlihat sudah sangat menjengkelkan.
            Walaupun dalam bidang pekerjaan Tita termasuk kedalam katagori yang dedikasi dan berdisiplin, itu karna ia ingin mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dan mendapatkan honor yang lebih tinggi pula, untuk mewujudkan semua keinginannya. Dari itu dia berusaha sekuat tenaga dia untuk tetap aktif dalam pekerjaannya di kantor, meskipun sebenarnya kepribadian yang ia miliki sangat buruk, berbeda jauh dengan perilaku yang ia selalu perlihatkan kepada rekan kerja di kantor  kami.
            Keesokan harinya Iren menyadiri akan sikap Tita terhadap dirinya setelah sekian lama berteman, semua kesadaran nya selama ini sudah tertutupi, terbabi butakan oleh sikap dan tutur katanya yang manis, hal ini karna ia menyadari ketika ia sudah terjatuh dalam karirnya dan semuanya sudah dibabat habis oleh Tita yang selama ini dia anggap sebagai temannya sendiri ternyata menusuknya dari belakang. Hal ini membuat Iren sangat kecewa dengan sikap dia yang sangat merugikan hidup Iren itu.
            Setiba Iren di kantor, ia melihat para karyawannya sedang berkumpul sambil berbisik-bisik dan memelankan suara mereka, takut akan terdengar oleh Iren. Irenpun dibuat penasaran oleh sikap para karyawan kantornya, dan bertanya.
            “ekhm,, ekhm,, kalian sedang membicarakan apa??” tanya Iren tegas.
            “itu itu mba, Tita itu ternyata seorang benalu yang hanya merugikan dan memanfaatkan temannya saja.” Jawab salah satu karyawan yang ada di situ.
            “kamu tahu dari mana?” jawab Iren penasaran, karna ia sudah menjadi mangsanya selama ini.
            “taulah mba, akukan punya kenalan, tetangga kontrakanku. Yah begituu,,, dia sangat kecewa terhadap apa yang telah dia lakukan terhadap tetanggaku, makanya dia mau bercerita semua tentang kejelakannya Tita yang telah merugikan tetanggaku itu mba,,,” jelas karyawannya itu dengan sangat meyakinkan.
            Iren beranjak pergi ke dalam ruang kerjanya, terduduk lemas tercengah dan tak percaya dengan semua kebenaran akan fakta-fakta itu. Yang membuat ia lebih kecewa lagi karna mereka sudah berteman sangat lama dan ia baru-baru sekarang ini menyadari akan jahatnya Tita terhadap dirinya, dan bahkan, mungkin ada selain aku yang menjadi mangsa-mangsanya. Gumamnya dalam hati sambil menggenggam kuat tangannya, seraya menyesal dengan semua yang terjadi pada dirinya.
            Sejak saat iren sudah tidak mau mengenal temannya dulu yang sudah tega perlakukan Iren seperti pohon yang ditumbuhi oleh biji benalu yang tumbuh dari pohon itu dan ia membiarkannya tumbuh berkembang sedangkan si pohon itu sendiri rapuh karenanya, yang mengambil semua nutrisi dan tenaga nya, dan membuat pohon itu hidup dengan sangat sia-sia, selagi tidak bisa berbunga dan berbuah.
            Sifat benalu: bicaranya yang sangat manis, selalu ada maunya, selalu ingin bersandar pada orang lain, mempunyai berbagai macam muka (sifat), uang yang selalu di dahulukan, keras kepala, dan waktu mangsanya sudah terjatuh ia akan mencari mangsanya yang baru.
           
           
           


Zaima Latifah (1113046000043)



Kaki Kecil Penuh Kejutan

            Mentari pagi telah keluar dari peraduannya, hari ini aku akan memulai sesuatu yang baru di tempat yang baru, rencana ini sudah disusun beberapa hari sebelumnya, hari yang cerah seperti mendukung apa yang telah direncanakan. Aku dan beberapa teman kuliah akan pergi menuju suatu tempat, yang bahkan aku belum pernah berkunjung sebelumnya, hanya tau cerita dari orang-orang tentang keadaan di sana, dan itu membuatku ingin pergi. Sangat ingin.
        Langit pagi saat itu menjadi saksi tercapainya sebuah keinginan sederhana. Tepat pukul 06.00 WIB aku beserta teman yang lain telah berkumpul di halte depan kampus. Tas besar dengan isi beberapa pakaian di dalamnya siap menemani perjalananku. Pemberhentian pertama kami adalah stasiun, aku tau pasti kami akan menaiki sebuah kereta, butuh waktu yang lama menunggu kereta yang kami tumpangi. Setelah beberapa kereta telah lewat begitu saja, ada satu kereta lokal  yang berhenti di hadapanku, kereta yang terlihat sudah tua dan usang bahkan pintu otomatisnya pun tampak tak berfungsi.
            Awalnya aku hanya diam memandangi kereta itu, tapi saat melihat beberapa teman masuk ke dalamnya, aku langsung terkejut dan berkata dalam hati “ternyata kereta ini yang ditunggu dan yang mengantarkanku pada perjalanan istimewa”. Kaki ini tak membuat langkah apapun hanya mata yang masih memandang, kemudian terdengar suara merdu yang memanggilku.
“Na, ayo! kamu jadi ikut kan?”
“iya jadi dong” sahutku disusul dengan langkah masuk ke dalam kereta.
Karin hanya membalas dengan senyuman. Kemudian kami masuk menyelusuri lorong kereta mencari-cari kursi yang kosong.
            Setelah dua jam dalam perjalanan, akhirnya aku dan yang lain sampai di stasiun, hujan turun menyambut kehadiran kami. Aku beserta penumpang lainnya berjalan ke arah pintu keluar, sampai di sana ternyata kami telah ditunggu oleh seorang bapak yang terlihat agak tua, beliau biasa dipanggil Pak Toha. Pak Toha menyambut kami dengan guratan senyum di wajahnya, nampak menenangkan bagai seorang ayah yang menunggu kedatangan anak-anaknya.
            Pak Toha memimpin aku dan yang lain menuju tempat parkir, tenyata sebuah mobil sudah siap untuk menemani  perjalanan ku selanjutnya. Barang-barang yang kami bawa dimasukan dalam mobil, termaksud sayuran sampai beras yang telah kami beli di pasar samping stasiun. Mobil ini nampak berbeda dari yang lain, mungkin kalau di Jakarta dikenal dengan nama angkot, tapi ini memiliki bentuk berbeda, hanya saja fungsinya sama yaitu untuk mengangkut penumpang.
            Mobil terus melaju, aku memperhatikan jalan lewat kaca mobil, hujan telah berhenti namun debu-debu di jalan nampak jelas terlihat, sesekali kami berpapasan dengan sebuah truk besar yang membawa beberapa barang angkut. Jalurnya berkelok dan jalan yang tak rata, sangat jelas terasa saat dalam perjalanan dan itu membuat perutku jadi tak bersahabat. Sesekali berusaha memejamkan mata agar tak mual namun sia-sia saja, jalur yang masih tetap berkelok-kelok makin membuat perutku tak bersahabat, tapi untunglah tak lama mobil ini terhenti, aku dengan senyum bahagia keluar dari mobil, ku fikir saat itu kami sudah tiba, makanya semangat ku langsung timbul kembali. Langsung saja sebuah pertanyaan keluar dari mulutku.
“Bang Danar, ini ya tempat kita menginap?” kataku sambil menunjuk sebuah rumah dihadapan kami.
“Kata siapa Na? kita belum sampai, ini baru setengah jalan” jawabnya dengan nada yang sedikit meledek.
 “Hah, serius? tapi kok Pak Toha berhenti di sini kak?” Raut mukaku yang tadinya senyum sumringah langsung berubah terkejut tak percaya.
“Iya Na saya serius, masa kamu enggak percaya sama saya. Pak Toha hanya mengantar sampai sini, selebihnya perjalanan istimewa kita dilanjutkan dengan  jalan kaki. Inget ya Na, ini perjalanan istimewa jadi harus semangat” jawabnya dengan muka sumringah.
Aku hanya membalas dengan senyuman. Senyuman yang mengartikan bahwa aku mengerti kenapa ia bilang ini perjalanan istimewa.
            Setelah semua barang sudah dipastikan turun, kami kembali melanjutkan perjalanan yang sesungguhnya. Aku dan temanku kaget ketika melihat jalur yang akan kita lewati. Jalurnya seperti mendaki bukit dan bahkan menurutku seperti naik gunung. Cukup melelahkan pasti, terlebih bagi orang yang jarang olahraga sepertiku.
            Kakiku terus melangkah, udaranya amat sangat sejuk, kanan kiri jalan masih sepi perumahan penduduk. Di sepanjang perjalanan, suara canda tawa kami tak henti, sampai kami merekam jejak perjalanan, bak seorang petualang. Walaupun kakiku sudah amat terasa lelah namun itu semua tak bisa mengusir rasa penasaranku. Saat kaki mulai tak kuat untuk melangkah, dan mulai sering berhenti, serta suara canda tawa mulai berkurang karna kelelahan yang muncul.
            Tiba-tiba muncul sosok-sosok mungil dari kejauhan yang berlarian kearah kami, aku yang tidak mengenal mereka kaget saat mereka menghampiri kami. Aku bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka? dan mengapa tiba-tiba datang menghampiri kami? tidak ada yang bercerita tentang mereka kepada ku.
            Pandanganku masih tertuju kepada mereka semua, aku benar-benar memperhatikan mereka semua secara teliti, sampai kemudian ada yang menepuk punggungku dari belakang.
“Na” panggil Nadia.
“Kenapa kamu? bingung ya melihat mereka?” tanyanya kepadaku
“Iya Na, aku bingung .memangnya mereka itu siapa?” Tanyaku kepada Nadia sambil menunjuk kearah sosok-sosok mungil dihadapan kami.
“Mereka itu anak-anak di desa ini. Memang setiap kita berkunjung ke tempat ini selalu disambut oleh mereka” jawab Nadia dengan senyuman.
            Rasa lelah yang sejak tadi menemani kami, terasa hilang ketika mereka semua berlarian dengan semangat ke arah kami. Bahkan mereka berlari tanpa menggunakan alas kaki, kaki-kaki mungil itu seperti tak merasa kesakitan, nampak telah terbiasa seperti itu. Perjalanan kami terasa lebih ringan saat di temani oleh mereka, bahkan menjadi lebih ramai.
            Tidak hanya datang dan menghampiri kami, tapi mereka juga sangat antusias dengan buku yang kami bawa, walaupun tak semua dari mereka mengerti. Tapi wajah itu sangat senang saat menggenggam sebuah buku.
            Akhirnya aku dan teman-teman yang lain tiba di pemukiman warga, kami beristirahat sejenak disebuah bangunan dari kayu, bangunan yang penuh dengan hiasan karya mereka. Tempat itu dinamai Saung Ilmu, tempat mereka mengaji sekaligus sebuah perpustakaan mini. Tak perlu waktu yang lama untuk mengumpulkan anak-anak di desa ini, sebab mereka sudah menunggu kami sejak tadi di bangunan ini. Bang Danar, selaku ketua perjalanan langsung membuka pembicaraan dan mengenalkan kami kepada mereka.
“ Apa kabar semuanya?”
“ Baaaiiik kaaak ” jawab mereka serempak
“Nah, kakak sekarang datang kesini gak sendiri, ada temen-temen kakak, udah kenal belum?”
“Belum kaaak”
“Mau di kenalin gak?”
“Maauuuu” jawaban yang bersemangat dari mereka membuatku melupakan rasa lelah.
            Bang Danar pun, mulai memperkenalkan kami satu persatu. tak lama Bang Danar memanggil ku sambil menunjuk ke arahku.
“Itu yang di sebelah sana, namanya Kak Sanna, ayo sapa kak Sanna!”
“Halooo kak Sanna” Sapa mereka
“Halo juga” jawabku sembil berdiri di hadapan mereka dan tersenyum.
            Setelah Bang Danar memperkenalkan kami semua, kaki ini kembali melangkah menuju rumah warga yang dengan baik hati memperbolehkan kami istirahat di sana.
            Matahari telah muncul kembali menggantikan sinar bulan, udara yang sejuk menyapa hari pertama kami berada di desa ini, Desa Girijagabaya yang berada di Lebak, Banten. Sebuah desa yang masih sangat membutuhkan perhatian Pemerintah, terutama mengenai pendidikannya. Kemarin aku dan yang lain sudah melewati perjalanan panjang nan berliku, sekarang saatnya menikmati tempat ini bersama anak-anak penuh semangat.
            Hari ini kami akan berkunjung ke SD Filia, satu-satunya sekolah dasar yang berada di desa ini sekaligus membantu mengajar disana. Ruang kelasnya tak banyak hanya ada 3 dan kelas yang lain belajar di teras depan.
             Sekolah ini belum lama berdiri, sebelumnya sekolah disini bak kandang kambing dan hanya ada sebuah papan sebagai pemisah kelas, itu tidak lebih parah dibandingkan dengan anak-anak itu harus melewati sawah dan kali untuk dapat sampai ke SD, sementara untuk SMP masih harus berjalan lebih jauh lagi. Walaupun begitu, semangat mereka tak putus. Dan itu yang membuat ku semakin bangga dengan mereka. Selalu ada kejutan-kejutan yang aku dapatkan, hari ini semangat mereka seperti tak pernah putus, dan bahkan wajah ceria tanpa beban yang selalu terlihat.
            Suatu ketika, aku dan karin menuju Saung Ilmu, tiba-tiba saja dua orang anak kecil menghampiri dan menggenggam tangan kami, walaupun aku merasa agak aneh dengan kejadian itu, tapi saat itu terasa menyenangkan. Sebuah pertanyaan pun keluar dari mulut ku.
“Kalian mau ikut kakak gak ke Jakarta, soalnya besok kakak dan yang lain mau pulang ke Jakarta”
Raut muka mereka langsung berubah sedih, walaupun begitu jawaban mereka begitu istimewa.
“Gak mau ah kak, kan sekolahnya belum libur. Jadi mau sekolah dulu” 
Jawaban polos namun sederhana, membuat aku dan Karin saling pandang dan tersenyum.
            Hari ini kami akan menghabiskan waktu seharian penuh bersama mereka, setelah usai sekolah kami berkumpul di lapangan desa. Siang itu dibawah terik matahari kami membuat satu perlombaan kecil, yang awalnya kufikir mereka tidak tertarik. Tapi ternyata apa yang kubayangkan berbeda dengan kejadiannya, saat bermain mereka nampak bersemangat bahkan suara tawa mereka beberapa kali terdengar.
            Ada satu anak laki-laki kelas empat SD namanya Akbar. Dia memenangkan perlombaan memasukan paku ke dalam botol. Aku berjalan mengahmpirinya. Wajahnya terlihat amat sangat senang.
“Akbar menang ya?” tanya ku
“Ia kak” Jawabnya dengan semangat serta senyum bahagia
Kemudian pandangannya tertuju pada langit biru di atas, aku yang heran ikut memandang langit tapi ternyata yang dia pandang bukan hanya langit, namun pesawat yang berada di langit. Lalu ku tanya, “Akbar mau naik pesawat?”
“Enggak kak Sanna, tapi Akbar mau jadi orang yang terbangin pesawat”
“Oh, jadi pilot maksudnya?”
“Ia, Akbar mau jadi pilot biar nanti bisa bawa ibu sama bapak terbang” jawabnya sambil terus memandang ke arah pesawat.
Aku diam memperhatikan bocah kecil tanpa alas kaki yang berada dihadapanku. Kemudian aku langsung berkata “Kalo Akbar mau jadi pilot, Akbar harus belajar yang rajin ya” kata ku sambil mengusap kepalanya.
“Pasti kak, Akbar akan belajar dengan rajin sampai jadi pilot. Kak Sanna mau ikut juga kan naik pesawat yang Akbar bawa?” katanya dengan penuh semangat dan rasa percaya diri.
“Mau dong, tapi Akbar harus jadi anak yang rajin belajar” kata ku, sambil pergi meninggalkannya, dalam hati ku berkata semoga itu tak  hanya menjadi sekedar cita-cita.
            Malam ini adalah malam terakhir kami. Tentu saja tak ingin ada waktu yang terbuang sia-sia. Acara malam ini pembagian hadiah kepada para pemenang lomba tadi siang di hadapan kedua orang tua mereka. Terasa begitu membanggakan ketika mereka mendapat hadiah, walaupun hanya hadiah biasa namun senyum tulus dan rasa senang yang tergambar dari wajah mereka membuat hadiah itu terasa istimewa.
            Mentari tampak malu-malu menunjukan dirinya. Pagi ini kami akan pergi meninggalkan desa, dan meninggalkan para pejuang kecil. Sebelum pergi meninggalkan tempat ini kami berpamitan kepada pejuang-pejuang mungil dengan sejuta harapan. Ada satu harapan dalam hatiku untuk mereka.
            Setelah persiapan selesai, kami melangkah meniggalkan desa, kembali melewati perjalanan yang sama, dengan orang-orang yang sama. Namun kali ini ada rasa dan cerita yang berbeda. Rasa syukur yang ku panjatkan karna tak perlu bersusah payah untuk bersekolah, sebuah pelajaran baru dalam perjalan ini.
            Semangat ya adik-adik kecil, pejuang-pejuang negeri, kaki-kaki mungil. Teruslah berlari hingga kalian bisa terus sekolah dan meraih cita-cita. Terimakasih atas semua kejutan-kejutan kecil yang kalian berikan.
            Dalam perjalanan pulang aku teringat satu pesan yang disampaikan oleh Bapak Anies Baswedan kepada para pengajar di Indonesia Mengajar. Bahwa sejatinya mendidik adalah tugas moral semua orang yang terdidik.


PARIBAN

Cerpen
Liza Fatmawati Rusman (1113046000053)


MATAKU masih saja memandang ke luar jendela, namun pandanganku kosong dan pikiranku entah kemana. Setiap orang akan mengalami masalah, mampu tidak mampu kita tetap harus menyelesaikan masalah itu. Aku percaya dengan satu kalimat ini Tuhan memberikan ujian kepada orang yang kuat. Tuhan saja sudah mempercayai kita kuat. Yah, jadi kita harus kuat. Lamunanku di pagi yang cerah ini buyar, karena client-ku menelpon.
Selamat pagi, Bang Gabe! Saya sudah di jalan, nih. Kita ketemu di lobby Hotel Meuligo, ya. Kira-kira setengah jam lagi saya sampai di sana!” terdengar suara yang sangat berwibawa di seberang sana.
Oke, Mas Andre. Saya akan menunggu di lobby!” lalu aku menutup telponnya.
Aku langsung bersiap untuk mandi dan sarapan. Aku turun dari lantai 6 langsung menuju lobby hotel yang aku tempati. Lima menit kemudian aku bertemu dengan Mas Andre. Kami langsung meeting dan membahas hal-hal yang menyangkut kepentingan kantor.
Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul tiga lewat sepuluh menit, aku membereskan barang-barangku. Karena jam lima sore aku harus kembali lagi ke Medan setelah menyelesaikan pekerjaan kantor di daerah Serambi Mekah, Aceh.
Sepertinya aku tidak ingin pulang ke rumah, aku tidak ingin berdebat lagi dengan inong[1] dan oppung[2]-ku. Bagaimana tidak, hampir dua minggu terakhir ini aku di teror dengan pertanyaan Kapan lagi kau mangoli? Umur mu udah cukupnya untuk mambuat boru!
Hal itu membuatku stres kalau pulang ke rumah. Aku melirik jam tanganku sudah jam enam lewat sepuluh menit, aku sudah landing di Kuala Namu Airport. Kuambil telpon genggam dari saku bajuku, lalu aku cari nomor telpon inong. Tapi langsung aku alihkan dan aku malah mencari nomor telponnya Sondang. Aku tidak langsung menghubungi inong, tapi aku langsung menghubungi Sondang kekasihku. Aku mengajaknya makan malam bersama di salah satu mall ternama di kota Medan. Ketika sampai di restoran tempat kami biasa makan, aku melihat sesosok wanita yang berpakaian dengan warna pastel duduk di meja nomor 10. Sondang ternyata sudah menunggu. Dia langsung melemparkan senyumnya padaku.
Bang, kok nggak pulang dulu ke rumah? Dia bertanya Sambil merapikan rambutnya.
Entahlah!” balasku dengan perasaan yang tak menentu, seolah ada beban yang cukup berat. “Akhir-akhir ini Abang malas bertemu dengan inong dan oppung.”
Memangnya ada masalah apa, Bang, sampe-sampe Abang malas bertemu dengan mereka?” tanya Sondang agak heran, padahal selama ini aku paling membanggakan mereka berdua kepada Sondang.
Aku langsung saja menyambar pertanyaan Sondang.
Bagaimana tidak stress Abang, setiap hari diteror dengan pertanyaan yang itu-itu juga, kapan menikah. Walaupun aku sudah punya kamu, tapi aku rasa sekarang belum waktu yang tepat, Sondang, bukannya Abang ingin mengulur-ulur waktu.”
Belum tepat kenapa, Bang? Bukannya Abang sudah mempunyai karier yang cemerlang di kantor. Lagian sekarang abang udah punya calon, tinggal di lamar aja, Bang” Sondang langsung menanggapi pernyataanku. “Hehehe......!” Sondang tertawa renyah setengah menggodaku.
Sebenarnya niat untuk melangkah lebih jauh lagi bersama Sondang sudah lama aku inginkan, apalagi setelah aku mendapatkan pekerjaan tetap. Aku ingin menghabiskan sisa waktu ku bersama wanita idamanku.
“Ya, rasanya meskipun sudah ada kamu, tapi bagi Abang pernikahan itu hal yang sangat spesial dalam hidup Abang, terlebih dalam tradisi Batak yang sama kita pegang ini. Abang ingin lebih menyiapkan mental untuk menghadapi ini. Menurut Abang pernikahan itu bukan semata dilihat dari kesiapan materi.” balasku sambil mulai menikmati hidangan makan malam yang sudah disajikan pramusaji. “Bagaimana menurutmu?” lanjutku menoleh padanya sambil mengunyah makanan.
“Kalau aku sih, sebenarnya sudah siap mendampingi Abang. Cuman aku juga harus menghargai pendapat Abang. Bukankah langgeng tidaknya sebuah hubungan itu tergantung pada kesalingmengertian satu sama lain?” balas Sondang sambil mengajukan pertanyaan balik padaku.
“Setidaknya kamu punya pendapat sendiri, dong!” balasku lagi lalu kuteguk air putih membasahi kerongkonganku. Rasanya aku mau keselek, hingga setelah minum aku terbatuk-batuk.
“Makanya, kalau bicara jangan sambil ngunyah, Bang!” kata Sondang sambil menyodorkan tisu padaku.
Kami akhirnya memilih menyelesaikan makan dulu baru mengobrol lagi. Setelah selesai makan aku mengantar Sondang pulang ke rumahnya dan aku juga pulang ke rumahku. Sampai di rumah, kulihat inong dan oppung sedang asyik menikmati sinetron kesayangan mereka di salah satu chanel tv.
Malam, Nong! Oppung!” ku sapa mereka.
Eehh, sudah pulang rupanya anak bujang inong! Jam berapa kau berangkat dari aceh, Be?”
Hhhmm, jam lima sore, Nong”. Sambil menghembus nafas panjang .
 Lah, kenapa baru sekarang kau nyampe, harusnyakan jam enam sore kau udah nyampe Medan lah!inong bertanya dengan muka setengah heran.
Emang jam segitu aku tadi nyampe, Nong! Tapi aku makan malam dulu sama Sondang. Maaf, aku tadi nggak ngabarin inong dulu.
Kenapa pulak jadi kayak gitu kau, Gabe? Tak biasanya kutengok kau kayak gini? Biasanya kalo pulang dinas ke luar kota selalu kau kabari inong-mu!” Tiba-tiba oppung menanggapi jawabanku.
Maafkan Gebe lah, Pung! Stres kali aku tadi, makanya kuajak si Sondang makan malam di luar!tiba-tiba suara ku serak. Aku ingin sekali menyampaikan sesuatu sama inong dan oppung. “Inong! Oppung! Aku mau nikah lah tahun ini!
Mendengar kata-kataku tadi, kulihat wajah dua wanita yang sudah tidak lagi muda ini, tiba-tiba berubah bahagia dari raut dan mimik wajah mereka.
Serius kau, Be? Senang kali hati inong mendengarnya. Oppung juga senangkan?” Inong langsung menjawab. Pandangannya segera diarahkan pada Oppung yang duduk di sebelahnya.
“Senang kali lah aku, cucuku akhirnya mau nikah tahun ini.”
 Emang siapa calon kau itu, Be? Si Sondang itunya, boru apa pun dia?” Inong dengan antusias menanya siapa calon istriku.
Boru Situmorang, Nong! balasku senyum menanggapi keantusiasan inong dan oppung-ku
Hanya sedetik saja, spontan raut wajah inong dan oppung berubah 180 derajat.
Kau tidak boleh nikah dengan Sondang, karena dia itu adik kau, Gabe” inong langsung melotot.
Memangnya kenapa, Nong? Dia kan bukan adik kandungku dan kita juga tidak ada hubungan darah dan persaudaraan. Kenapa pula kami nggak boleh menikah?” tanyaku dengan ekspresi wajah terheran-heran aku langsung tanya ke mamak
Asal kau tau Gabe, di dalam adat Batak itu ada marga yang nggak boleh menikah. Misalnya marga Marbun dengan Marbun, itu tidak boleh menikah karena satu marga. Sedangkan kasus kau ini beda marga tapi kalian masih satu tarombo marga dan situmorang itu adik dari marga simatupang. Macam marga kau dengan Sondang lah.” Oppung dengan spontan menjawab pertanyaan ku
Kenapa harus pake adat? Kitakan sekarang udah hidup di zaman modern. Sudahlah inong! Oppung! Bukannya menikah itu sesuatu yang baik. Kalau semua di larang di dalam adat ini, mau nggak nikah-nikah aku.jawabku dengan wajah setengah kecewa dan masih merasa bingung dengan adat Batak yang menurutku sangat rumit.
Sebagai orang Batak, kita harus mematuhi aturan-aturan dari leluhur-leluhur kita zaman dulu. Kita harus melestarikannya Gabe. Pokoknya oppung dan inong-mu nggak setuju kalau kau nikah dengan boru Situmorang itu. Mendingan kau tidak usah menikah kalau tetap bersikukuh menikah dengannya.oppung menjawab pernyataanku. “Aku tak mau disebut sebagai dalle[3], Gabe! Malu kalilah aku nanti dibuatnya.” lanjut oppung pula.
Kulihat inong, tapi aku dapat melihat ketegasan dari wajahnya.
Kalau nggak gini aja lah, Be! Inong sama oppugn-mu udah menemukan perempuan yang baik untuk kau. Kalau kau nikah dengan dia, persaudaraan kita makin dekat”.
Dalam hati aku membatin, jadi selama ini mereka sudah menyiapkan jodoh untukku. Ku tarik nafas panjang,Hhhmmm, emang siapa perempuan yang ingin kalian jodohkan denganku, Nong, Pung?”
Oppung senyum-senyum duduk di sebelahku,Frida, dia anak tulang[4] kau yang di Brastagi itu. Frida sekarang lagi melanjutkan S2 di Yogyakarta, akhir tahun ini dia akan pulang ke Brastagi. Setelah dia sampai di Brastagi kau harus bertemu dengan dia”.
Tapi, Pung, dia kan anak tulang mana pula bisa. Kita kan saudara. Sedang dengan Sondang yang tak punya hubungan apa-apa tidak bisa, apalagi dengan Frida? Setengah kaget dan kesal.
 Iya, Be! Kita memang saudara. Tapi kalau kau nikah sama Frida itu di bolehkan dalam adat Batak, bahkan sebagian orang Batak malah sangat menganjurkan hal ini. Frida itu pariban[5]-mu!
Pariban itu apa, Nong?”
Pariban itu boru tulang!
Ya udahlah, Nong! Aku mau mandi dulu, besok aku pikirkan lagi. Tapi aku tak tau alasan apa yang harus aku berikan pada Sondang. Sementara, aku bersamanya bukan hanya seminggu atau sebulan, Nong, aku udah hampir dua tahun bersamanya. Betapa kecewanya dia nanti, sedang ini dia sudah menganggap aku mengulur-ulur waktu.
 Kau jelaskan baik-baik, dia pasti bisa menerimanya, Be. Kalau tidak ajak ia bertemu orangtuanya. Orangtuanya pasti sependapat dengan oppung dan inong kau.” dengan terbatuk-batuk oppung menjawab pertanyaanku. “Kalau kau sayang oppung dan inong pasti kau mau menerima permintaan kami untuk tidak menikahi Sondang!
Sepanjang malam ini aku berpikir keras untuk memberikan alasan yang terbaik untuk Sondang. Kulihat jam di dinding kamar sudah pukul 00.35, sedikitpun mata ini nggak bisa terpejam. Malam ini aku benar-benar gelisah. Bagaimana tidak, hubungan yang sudah aku jalin bersama Sondang akan berakhir begitu saja karena hukum adat. Aku sebenarnya ingin sekali menolak permintaan inong dan oppung untuk menikah dengan pariban-ku itu, tapi harus bagaimana. Aku tidak mungkin melawan inong dan oppung, karena mereka keluarga yang aku miliki saat ini. Sekeras-kerasnya sifat anak Batak, tapi kalau udah menyangkut orang tua mereka tidak bisa menolak apalagi melawan.
***
SETELAH seminggu kejadian perdebatanku dengan inong dan oppugn-ku, akhirnya aku memberanikan diri untuk menemui Sondang untuk menjelaskan semuanya. Sore ini aku menunggu Sondang di salah satu taman di sudut kota Medan. Jujur, sebenarnya aku tidak ingin mengecewakannya, tapi ini harus terjadi. Ku lihat gadis itu menggunakan baju polkadot berwarna biru-hitam, cantik sekali, gumamku.
Bang, maaf ya aku telat. Tadi jalanan macet sekali”.
Iya nggak apa-apa! Apa kabar kau? aku sedikit basa-basi padahal itu benar-benar basi.
Aku baik-baik aja, Bang”.
Sondang ada yang ingin aku bicarakan dengan mu, ini tentang hubungan kita!
Iya, emang kenapa, Bang?”
Sondang, sebelumnya aku minta maaf. Sebenarnya aku tidak ingin menyampaikan ini padamu, tapi ini sudah janjiku kepada inong dan oppung. Kita tidak mungkin bersama-sama lagi Sondang, ini semua karena hukum adat. Aku dan kamu ternyata masih bersaudara dalam garis keturunan marga. Inong dan oppung melarangku melanjutkan hubungan ini Sondang. Kau taukan, kalau aku tidak bisa menolak permintaan mereka. Inong dan oppung sangat menaati adat, aku harus menghormati itu.
Tak ada jawaban dari Sondang. matanya menatap ke arah lain, di matanya yang mulai berkaca-kaca terlihat kekecewaan dan kesedihan yang begitu mendalam. Kuingat ketika makan malam waktu aku baru pulan dari Aceh, saat itu dia sempat menyatakan kesiapannya untuk aku lamar. Tapi kenyataannya sekarang, aku malah memutuskan hubungan yang selama dua tahun ini telah memberi kami kebahagiaan.
Aku menghembuskan nafasku dengan berat. Berat sekali. Seberat hatiku untuk mengutarakan ini pada gadis yang selama dua tahun ini menjadi tempatku berbagi. Di depanku aku melihat tingginya tembok yang jadi penghalang bersatunya cinta kami. Kenapa kami dilahirkan jadi orang Batak? Atau mungkin kenapa kami mesti dipertemukan dulu? Membayang diingatanku ketika pertama kali kami bertemu. Aku telah berusaha menahan kesedihanku ini. Kesedihan akan kenyataan yang kini aku hadapi. Dengan terpaksa aku harus melepaskan orang yang sangat aku sayangi. Belum pernah aku sesayang dan secinta ini pada perempuan.
“Aku mengerti kesedihanmu saat ini Sondang! Kesedihan yang sama juga melandaku. Kau tau kan bagaimana cintanya aku pada kau? Bagaimana sayangnya aku pada kau? Tapi adat Batak yang kita miliki ini benar-benar membuat kita tak berdaya. Terlebih kita ini hidup ditengah-tengah orang Batak
Jujur, Bang....!” suara Sondang berat di sela isakannya. “.... sebenarnya aku nggak terima kalau hal ini terjadi. Tapi aku juga harus bagaimana, mau nggak mau aku juga harus terima keputusan Abang. Sebagai orang Batak, aku juga menghormati hukum adat Batak!
“Ini bukan keputusanku pribadi, Sondang! Ini keputusan adat kita, Adat Batak. Tak ada yang menginginkan kita terlahir dalam satu tarombo yang sama, jika kita tidak bisa mengelak menjadi orang Batak, tapi akhirnya kita juga tidak bisa mengelak dari kenyataan kalau kita terlahir dari satu garis tarombo yang sama.”
“Aku mengerti, Bang!” balas Sondang sambil menggenggam jemari Gabe dengan erat. Gabe membalas genggaman tangan Sondang dengan erat pula. “Apa rencanamu sekarang, To?” lanjut Sondang berganti memanggilku dari abang menjadi ito[6].
“Aku diminta menikah dengan Frida, paribanku yang ada di Brastagi, To!” jawabku dengan menyebutnya sebagai ito pula. “Bagaimana menurutmu, To?” lanjutku.
“Terus terang aku sangat cemburu, tapi apa mau dikata!” balasnya sambil melirikku. “Semoga kau bahagia bersamanya, To! Kalau kau menikah nanti, kau harus undang aku, semoga pada saat itu aku sudah bisa menata hatiku kembali.”
“Pastilah, To! Bahkan kau akan jadi undangan istimewaku, sekalian aku minta do’a restu darimu, karena walau bagaimanapun tentu kau kecewa padaku.”
Sondang tersenyum sambil mengangguk dan menoleh padaku. Genggaman tangan yang dari tadi mengerat kini sudah mulai mengendur.
Perbincangan ku bersama Sondang, sudah menemui titik terang. Sekarang sudah tidak ada lagi beban. Yang jelas aku dan Sondang, sudah sepakat tetap berkomunikasi layaknya teman. Sore itu rasanya cepat sekali berlalu dan digantikan oleh gelapnya malam.
***

Pertemuan dengan paribanku akhirnya terjadi hari ini, inong dan oppung udah dandan lengkap dengan ulos yang udah menempel di bahu mereka. Wajah wanita-wanita ini sangat berbinar, sesuatu yang mereka inginkan akan terwujud. Mobil sudahku keluarkan dari garasi, kulirik jam tangan sudah pukul 9 pagi. Kami membelah jalanan kota Medan sampai Brastagi. Akhirnya kami sampai juga di halaman rumah tulang, kulihat ada tulang, natulang[7], dua lelaki, dan tiga orang perempuan. Dua perempuan itu menggendong anak, sedangkan yang satu lagi hanya sendiri. Perasaan ku mengatakan bahwa wanita yang tidak menggendong anak itu adalah Frida, pariban yang akan di jodohkan denganku. Wanita itu melemparkan senyuman hangatnya kepadaku, inong dan oppugn-ku. Wanita yang sangat cantik, tidak jauh beda dengan sondang, pikirku.







[1] Inong: ibu
[2] Oppung: Kakek/nenek (oppung bao: kakek/oppung boru: nenek)
[3] Dalle: sebutan untuk orang Batak yang tidak mengetahui adat istiadat Batak
[4] Tulang: panggilan pada saudara laki-laki ibu
[5] Pariban: Anak perempuan tulang, yang dalam adat Batak sangat dianjurkan untuk dinikahi
[6] Ito: panggilan antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai hubungan kakak beradik kandung, semarga, atau satu garis tarombo.
[7] Nattulang: istri tulang