Nama : Irma Apriyanti
Nim : 1113046000158
Opini Hari Buruh : Mayday dan HAM untuk para Buruh
Peringatan Hari Buruh Internasional, yang jatuh pada setiap tanggal 1 Mei, yang sering disebut mayday tahun ini unik karena dirayakan ditengah banyaknya kesulitan dari berbagai persoalan yang membelit kehidupan kenegaraan. Ditambah lagi persoalan yang dihadapi para pekerja Indonesia di luar negeri khususnya untuk konteks TKI didahului dengan pemaparan senarai panjang kisah duka seputar para TKI dan TKW kita, sebagaimana pernah dilansir media massa nasional hampir secara beruntun beberapa waktu lalu. Mulai dari persoalan kesalahan prosedural seputar pemberangkatan tenaga kerja ke luar negeri sampai pada persoalan yang lebih substansial terkait tindak kekerasan yang menjadikan para TKI dan TKW kita sebagai korbannya. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan hidup, yang didapat ternyata hanyalah kemelut sosial dan kemanusiaan yang sulit terselesaikan.
Sebenarnya ada sesuatu yang lebih mendalam dan mendasar. Tingginya semangat dan jumlah perantau merupakan sebuah fakta yang sedang berbicara tentang ketakmemadaian berbagai sektor di tanah sendiri yang sedianya menjadi kekuatan penyokong kehidupan. Itu berarti, untuk sebagian orang, cita-cita untuk hidup, hidup baik dan hidup lebih baik lagi tidak dapat tercapai apabila bersikeras pada pendirian untuk tetap tinggal di kampung halaman sendiri. Tanah-tanah warisan leluhur kini tidak lagi menjanjikan hasil yang membesarkan hati. Lahan-lahan yang dulu tampak hijau dan subur sebagiannya kering kerontang. Peralihan musim yang tidak menentu membuat para petani kita tak mampu membuat program berkaitan dengan kegiatan pertanian mereka.
Di tempat lain, keputusasaan muncul lantaran hasil bumi yang memadai tidak diimbangi dengan harga jual yang memadai pula. Fluktuasi pasar yang tidak menentu menyurutkan semangat para petani. Harga-harga sebagian besar komoditas masyarakat yang mendarat rendah tidak mampu mengimbangi, apalagi melebihi harga barang kebutuhan yang mesti dibeli karena tidak dihasilkan sendiri. Para petani setiap kali hanya mampu mengernyitkan dahi dan memukul dada, lantaran usaha mereka seakan-akan tak membawa hasil. Masyarakat lebih banyak menanggung rugi, beruntung kalau imbas. Kini, kemelut ekologi dan ekonomi seakan-akan setali tiga uang menghantam tuntas nasib sejumlah petani kecil. Cita-cita merantau sebenarnya bisa timbul dari situasi seperti ini.
Namun apa yang diharapkan untuk didapat dari keputusan merantau tidak selamanya tercapai secara tuntas. Kita menyaksikan sejumlah soal pelik dalam hubungan dengan para perantau kita. Ideal kerja sebagai sarana penyempurnaan diri dan kemanusiaan malah sering menampilkan diri dalam peran yang sebaliknya. Untuk konteks para TKI dan TKW yang diperlakukan secara tidak manusiawi misalnya, kerja malah menjadi ekses yang mengantar mereka pada pemojokan nilai kemanusiaan, bahkan sampai pada titik yang paling kelam.
Tesis filsafat manusia bahwa kerja mengabdi pada kepentingan perkembangan manusia sedang dibantah secara telak. Sebab, nyatanya manusialah yang menghambakan (dan mengorbankan) diri pada kerja. Nasib malang yang menimpa sejumlah TKI dan TKW asal daerah ini sebenarnya menyadarkan kita bahwa masalah seputar perburuhan tidak sebegitu asing untuk konteks masyatakat kita, meskipun seringkali malah dikucilkan dari konstelasi diskursus sosial-politik lokal.
Fakta ini menjadi satu variabel untuk sekali lagi menjustifikasi dan melengkapi filsuf Karl Marx (1818-1883) dalam tesisnya tentang alienasi manusia dalam kerja. Kerja yang adalah aktivitas khas manusia (homo faber) ternyata juga bermakna bipolar. Pada satu sisi, kerja menjadi sarana aktualisasi diri (perwujudan bakat-bakat), afirmasi kebebasan manusia sebagai tuan atas alam serta locus aktualisasi dimensi sosial ada manusia (hasil kerja bisa diakui dan dimanfaatkan orang lain). Pada sisi lain, bersamaan dengan kemunculan era industri (dengan kerja upahan sebagai sistem khasnya), kerja menjadi jebakan pada alienasi manusia khususnya para pekerja. Marx menyebutkan beberapa indikasi alienasi manusia dalam kerja seperti kebergantungan mutlak pada perusahaan dan majikan, minimnya peluang untuk menikmati hasil kerja secara langsung (hasil kerja adalah milik perusahaan), pekerja memperalat diri untuk mendapatkan nafkah, persaingan antarpara pekerja serta permusuhan antara pekerja dengan majikan-karenanya kerja upahan mengasingkan manusia dari sesamanya (FB Hardiman, 2007).
Bipolaritas makna semakin kentara manakala kerja berada pada sebuah tegangan. Pada satu pihak, kerja menjadi sarana untuk menjamin dan menyokong keberlangsungan hidup. Dan pada pihak lain, keterlibatan dalam kerja bisa menjadi jalan masuk pada pengalaman akan hal-hal yang justeru bertentangan dengan nilai-nilai universal dan semangat dasariah kehidupan. Kerja bukan lagi sarana untuk menjamin HAM (sabagai nilai dasariah kehidupan), tetapi sebaliknya pengorbanan HAM malah menjadi taruhan dan prasyarat utamanya. Rupanya inilah sketsa pengalaman TKI dan TKW kita yang menjadi 'korban'. Dunia perburuhan adalah sebuah ruang dan kondisi yang rentan dengan pelanggaran HAM
Tak pernah tuntas
Masalah seputar dunia perburuhan umumnya dan TKI/TKW khususnya memang pelik bahkan tak pernah tuntas terurus. Meskipun demikian, nasib kaum buruh harus tetap menjadi medan perwujudan komitmen keberpihakan kita pada nilai-nilai universal kemanusiaan. Keberpihakan pada mereka sedianya menjadi wujud konkret perjuangan pembelaan dan penegakan HAM yang kian intens disadari dan dilancarkan. Namun karena manusia, padanya hak-hak dasar itu melekat adalah makhluk multi-dimensi, penegakan HAM adalah sebuah praksis, dalamnya pemberdayaan totalitas aspek kehidupan manusia digalakkan.
Dalam kaitan dengan penanggulangan masalah seputar perantauan dan pemenuhan hak-hak dasar kaum pekerja dalam konteks TKI/TKW asal Lampung, beberapa ideal berikut penting untuk dikemukakan dan selanjutnya diberi perhatian serius. Pertama, selain penertiban administrasi, para perantau kita perlu juga dibekali dengan sejumlah latihan kerja sebagai persiapan diri sebelum meninggalkan tanah air untuk mengaduh nasib serta mempertaruhkan takdir di negeri orang. Boleh jadi nasib malang yang akhirnya menimpa kaum buruh kita berawal dari kualitas hasil kerja yang tidak diharapkan. Pelatihan dan pendidikan khusus untuk pelbagai bidang yang berpeluang untuk mereka geluti sebagai mata pencaharian merupakan sesuatu yang bersifat niscaya untuk terus diperhatikan dan ditingkatkan, baik oleh pemerintah maupun komponen masyarakat lainnya. Dengan ini, pelanggaran HAM kaum buruh yang dipicu oleh rendahnya kualitas kerja sedikit ditangkal.
Kedua, masalah seputar perantauan yang untuk sebagian orang kemudian menjadi sumber malapetaka merupakan sesuatu yang tak terbendung selama kondisi ekologi dan ekonomi di tanah sendiri belum dapat memberi jaminan kepastian untuk menyokong kehidupan. Kemiskinan akibat kondisi alam yang tidak memadai seakan-akan disempurnakan oleh sistem ekonomi yang seringkali tidak memihak pada masyarakat. Gagasan dan praksis pemulihan ekologi dalam berbagai bentuk tampilan konkretnya juga menjadi langkah preventif yang mesti turut diperhitungkan. Sementara itu, semua komponen masyarakat yang mesti bertanggung jawab mesti lebih serius memikirkan dan mengusahakan sebuah politik ekonomi yang sedapat mungkin memberi ruang bagi perolehan keuntungan optimal bagi masyarakat lokal sebagai penghasil komoditi.
Dalam kadar tertentu, masalah seputar perburuhan dan HAM untuk konteks TKI sebenarnya terjadi dalam sebuah pentahapan yang tampak apik. Kemelut ekonomi dan ekologi menciptakan kemiskinan. Kemiskinan memancing semangat merantau. Merantau adalah juga pintu masuk yang terbuka lebar bagi pelbagai jenis pelanggaran hak-hak dasar kaum buruh serta rahim bagi lahir dan bertumbuhnya pelbagai masalah sosial kemasyarakatan lainnya. Dunia perburuhan adalah sebuah ruang penuh misteri, padanya hidup dipertaruhkan tanpa jaminan kepastian. Keterlibatan dalamnya bisa menjadi jalan melaluinya hidup itu dipertahankan dan selalu diperbaiki. Serentak pula ia bisa menjadi jalan masuk yang tak terduga dari awal, melaluinya hidup itu sendiri disingkirkan keberadaannya. Perhatian terhadap beberapa aspek yang disebut sebelumnya bisa menjadi bahan pertimbangan berbagai pihak, entah pemerintah, lembaga-lembaga non-pemerintah ataupun komponen masyarakat lainnya dalam usaha mencegah munculnya pelanggaran HAM akibat keterlibatan dalam dunia kerja tertentu. Penegakan HAM secara niscaya mensyaratkan pemberdayaan totalitas nilai dan dimensi yang menjadi unsur konstitutif jati diri dan keberadaan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar