Sore yang terlalu jingga mewarnai langit Ciputat kala seorang
mahaiswi berdiri di balkon asrama putri tanpa memikirkan apa pun, weekend
sepertinya membuat otaknya tertidur
pulas sepanjang hari. Dia mengenakan celana jeans Lois
selutut, dan kaos pendek polo putih. Sangat sederhana, dia mengikat
rambut panjangnya yang berwarna hitam malam dan tebal ke belakang.
Angin yang cukup kencang untuk membuatnya merasakan suasana pesisir
pantai yang mengantarkannya ke pantai Kuta,
dia mengkhayal dan tertawa seperti biasa. Dia mungkin berpikir bahwa
dia memiliki cita-cita baru, menjadi seorang penghayal professional.
Tiba-tiba ,”Biip”
Sms masuk di hpnya.
“Kamu
dimana Tachi? Selasa ini Kartini Day,
kamu ikut abang undangan ya ke Universitas Nasional”, Sender:
Angga. “Sip oke :D” Tachi membalas singkat.
Tachi, seorang mahasiswi jurusan Ekonomi di UIN Jakarta, dia terlalu
dingin untuk berbahagia atas ajakan seorang senior yang mungkin
sangat peduli padanya. Tak lama
“jam
8 abang jemput ya Chi, kamu jangan lupa pakai kebaya. Yang kece ya
;)”
Sender: Angga
“Hahh? kebaya? Iya kali gue pake
kebaya” teriak Tachi merasa sangat keberatan memakai baju yang
sebenarnya identitas pulaunya sendiri, pulau Jawa. Memakai baju
seperti kebaya merupakan ujian yang lebih sulit daripada ujian masuk
uin, pikirnya iseng. Tanpa banyak bertanya dia memasukkan kembali
hpnya ke saku celana dan masuk ke kosan meninggalkan langit yang
sepertinya mulai jenuh dengan jingganya, dan berganti menjadi hitam
kelam, membosankan.
Sepanjang malam Tachi tak bisa
tidur, kebaya yang harus dia kenakan di hari Kartini membuatnya
menjadi sangat stres. Bagaimana tidak, bedak dan sanggul dipastikan
membuatnya merasa menjadi alien
yang terkena hydrocepallus.
Malam semakin larut, yang terdengar
hanya suara jangkrik disekitar kosan, yang memang selalu menjadi
teman Tchi berbitbox
kala dia mengerjakan tugas atau yang lainnya di malam hari. Karena
sangat bingung Tachi memutuskan untuk menelpon ibunya.
“mama,
lagi apa? Sibuk gak, aku mau minta tolong” Tachi membuka
pembicaraan.
“iya
sayang, ada apa? Kok belum bobo” ibunya seakan lupa bahwa putrinya
memang sudah biasa seperti kelelawar, malam terjaga kemudian pagi
tertidur.
“mam,
aku harus pake kebaya. Harus kece juga katanya mau nemenin temen ke
kartini Day di UNAS” Tachi menjelaskan dengan nada yang bingung
dan malas.
“Terus
masalahnya apa sayang? Kamu semangat aja, nanti mama yang dandanin.
Oke.” jawab ibunya mengerti bahwa putrinya sangat alergi dengan
pakaian adat daerahnya itu sendiri.
“oke,
tapi jangan yang ribet-ribet ya. Thanks mom, good night.” Jawab
Tachi dingin.
“iya
sayang, love u” ibu menjawab sebelum menutup telpon.
Pagi pun datang, hari itu matahari
seperti sangat cepat berlari dari timur ke barat bagi Tachi. Dia
terus bertanya-tanya di sela-sela aktivitasnya hari itu. Kenapa ibu
Kartini harus pakai kebaya, kenapa dia harus orang Jawa, kenapa tidak
dia tidak orang Amerika saja supaya besok bisa pakai celana jeans.
Sore pun segera menghampiri Tachi yang sedang mengetuk pintu rumahnya
yang sebenarnya hanya berjarak satu jam perjalanan dari kampusnya
“assalamuallaikum, mama, aku
pulang” Tachi mengucap salam seperti biasa dengan nada sangat
ceria. “waallaikumsalam, iya sayang ayo sini” ibunya membuka
pintu dan langsung memeluk putrinya yang terlihat sedang sangat
kebingungan.
“Sayang, kamu sudah makan?”
tanya ibu sambil mengajak Tachi berjalan memasuki ruang tamu. “belum
mam, tapi aku belum lapar. Mam, kebayanya gimana aku besok?”, tanya
Tachi lemas. “Mmh, biasa diatur sayang” ibu tersenyum mengajak
Tachi ke kamarnya.
Ibu Tachi sangat tenang, tidak
seperti Tachi yang sangat ceroboh, kadang sangat hangat, tapi
terkadang dingin seperti es. Dia sangat memahami mengapa putrinya
tidak menyukai pakaian adat, meskipun Tachi dibesarkan di Bandung
yang kental akan kesenian dan budaya Sunda
tetapi Tachi cenderung menganggap seni budaya itu tidak penting dan
tak ada gunanya. Dia berpikir untuk merubah dan memperbaiki kerusakan
lingkungan dan sosial, bukan dengan seni atau kebudayaan tapi hanya
bisa dengan sains dan teknologi, itu sebabnya dia menganggap seni dan
budaya itu tidak lebih penting dari riset atau sekedar mempelajari
hukum fisika, kimia, dan biologi. Bahkan, sampai saat ini Tachi hanya
hafal satu lagu daerah yaitu Bubuy Bulan,
yang diajarkan ayahnya. Tachi hanya percaya kepada ayahnya.
Tak pernah ada di rumah yang menyalahkan sikap Tachi, semuanya
menerima karena sadar bahwa Tachi sangat dekat dengan ayahnya,
seorang peneliti yang terkenal dengan penemuannya di bidang nuklir
dan energi terbaharukan. Sejak ayahnya tewas dibunuh gara-gara
penemuannya yaitu sumber energi baru dari air yang bisa digunakan
dalam skala nasional, Tachi mulai mendalami ekonomi dan sangat
ambisius memahami konspirasi ekonomi yang membuat ayahnya menjadi
korban keganasan manusia di sistem moneter.
Ibunya pernah menangis ketika Tachi berkata dengan sangat tegas “Tak
apa jika aku mati seperti ayah, asalkan aku selesai membuat keinginan
dan hasil risetnya bermanfaat bagi orang banyak”. Sejak saat itu
Tachi diberi pengawalan yang sangat ketat karena ibunya tak ingin
dengan apa yang dilakukan Tachi saat ini, membuatnya celaka.
Lama ibu tertegun, dia membukakan lemari pakaian yang penug dengan
pakaian mewah khas pejabat. “ada yang kamu suka sayang?”, tanya
ibu berharap Tachi menyukai salah satu pakaiannya. Tapi Tachi hanya
menggeleng dan berkata dengan senyum lebar khasnya “Tidak ada bu,
itu kayaknya ribet semuanya deh kebayanya” dia tertawa heran.
Ibu tertawa kecil kemudia memilihkan sebuah kebaya krem lengan pendek
dan kain batik bali yang sangat serasi dengan usianya, 19tahun yang
berat. Tachi tak banyak bicara, dia mengenakan kebaya yang diberikan
ibu, dan kebingungan dengan kain batik. “bagaimana cara pakainya
ini, aduuuhhh” Tachi berbicara sendiri di depan cermin kamar
ibunya, dan tertawa geli setelah menyadari betapa kewanitaannya
diragukan, memakai kain batik saja tidak bisa. Ibu dengan sangat
lembut mengajari Tachi mengenakan kain dan merapikan kebaya yang
dikenakan putrinya.
“Sini
duduk sayang”, ibu meminta Tachi duduk di kursi rias dan Tachi pun
selalu mengiyakan keinginan ibunya. Meskipun Tachi hanya percaya pada
ayahnya, tapi dia menghormati siapa pun yang dekat dengannya. Dengan
penuh kelembutan dan sangat senang ibu merias Tachi dengan make
up
tipis dan mengikat rambut Tachi membentu sanggul keci modern dan
diberi bunga plumeria
dibagian kiri.
Sangat cantik, hidung Tachi yang mancung dan lancip, bibir mungil
yang sedikit tebal dan berwarna merah muda, menjadi sangat menarik
dipadu alis tebal dan bulu mata yang lentik alami. Sepatu high heels
putih pun dipakaikan ibu pada Tachi yang terlihat sangat jenuh dengan
bajunya.
“Ayo
berdiri sayang” pinta ibu kepada Tachi kemudian Tachi berdiri
perlahan dia tersenyum di depan cermin, terlihat gigi taring yang
runcing di sebelah kiri melengkapi senyum manis dari seorang wanita
yang sangat pemalas mengenakan pakaian yang mewah. Tachi bergaya
layaknya seorang model profesional dan berjalan ke arah ibunya. Ibu
Tachi tersenyum bahagia memeluk putrinya yang hari itu sangat
berbeda, Tachi mengingatkan ibu kepada ayah Tachi yang tak menyukai
pakaian-pakaian kaum borjuis, ayah Tachi lebih senang berpakaian
sederhana sehingga ibu Tachi harus selalu membujuk agar ayah Tachi
mau memakai pakaian yang baik untuk hari-hari atau acara penting.
Tachi senang dan memeluk ibunya untuk beberapa saat.
“Sudah selesai sayang, ayo berangkat. Angga sudah dari tadi nunggu
kamu” ibu merapihkan rambut Tachi dan mencubit pipi Tachi yang
putih cabi, tapi Tachi hanya tertawa dan mengerutkan kening menatapi
wajah dan bajunya dicermin, merasa aneh dan perlahan dia berjalan
keluar menemui Angga sambil memakai gelang emas bertuliskan nama ayah
dan ibunya. Angga terpana melihat Tachi yang berjalan kearahnya, tapi
Angga kembali sadar karena Tachi ternyata masih ingin membawa tas
gendong hitam bermerk polo
kesukaannya,
dan Angga pun membuang ekspektasinya kemudian membalas senyum Tachi
dan meyakini bahwa Tachi masih Tachi yang kemarin, cool,
tomboy, dan acuh.
“Sini
Chi ah, biar abang yang bawa tasnya. Udah cakep-cakep bawa tasnya
malah tas beginian” tanpa basa-basi Angga mengambil tas dari
lengan Tachi, “Iya abang :D” Tachi hanya tersenyum lebar dan
menggandeng tangan Angga menuju mobil Honda
jazz
putih milik Angga, sesudah berpamitan kepada ibunya. Ibu
memperhatikan sikap Tachi, ibu tak perlu curiga kepada Angga karena
Tachi tak mudah dekat dengan orang lain. Pasti Angga bukan orang
sembarangan, karena Tachi menganggapnya sebagai kakak sendiri.
Lagipula mereka lebih seperti adik kakak, ketimbang orang yang saling
suka. Ibu tersenyum melambaikan tangan sampai mobil Angga keluar dari
gerbang rumah.
Sesampainya disana Tachi bersikap seperti layaknya pejabat, sangat
elegan dan mendampingi Angga yang diundang menjadi pembicara pada
acara tersebut. Peringatan hari kartini Nasional ini merupakan agenda
tahunan yang kali ini dilaksanakan di auditorium UNAS Jakarta.
Seperti biasa acara hanya dihadiri oleh pejabat dan tertentu,
hal-hal dan acara yang diadakan pun tidak jauh dari memperkenalkan
perusahaan masing-masing.
Tachi
menikmati acara Kartini
Day
hari itu, dia belajar banyak hal tentang bagaimana cara para pejabat
berkomunikasi dengan manis, walaupun sebenarnya tujuannya
menjatuhkan. Belajar bagaimana perusahaan besar memperoleh konsumen
dan jaringan bisnis yang tepat, dan dia pun belajar bahwa Kartini
Day
hanya digunakan sebagai merk
acara saja supaya terlihat nasionalis, atau menghargai pahlawan
wanita lah, militansi kebudayaan daerah lah, atau apalah lainnya.
Padahal esensinya hanya sebagai ajang advertising
perusahaan besar untuk dapat menguasai pasar dan mendapatkan profit
lebih
banyak.
“Gimana
Chi, suka acaranya?” seusai menjadi pembicara Angga menyapa Tachi
dengan membawakan teh hangat di meja VIV yang Tachi duduki. “Makasih,
suka kok. Kayaknya ini acara cuma ajang lobi-lobian antar korporasi
aja ya bang” bisik Tachi kepada Angga yang berhasil membuat Angga
tertawa heran, dia tak menyangka adik kecilnya bisa membaca situasi
dengan tajam seperti biasanya.
Angga
pun duduk disamping Tachi, memerhatikan bagaimana Tachi bersikap
kepada delegasi dari Timor-Timur, BI, dan SWA dengan sangat elegan,
dingin, dan meyakinkan. Sampai mereka begitu yakin bahwa Angga adalah
pebisnis kopi yang sangat hebat. Pada akhirnya mereka meminta kontak
dan ingin berkunjung ke perusahaan Angga, untuk melakukan kerjasama
atau mungkin hanya membeli dalam partai kecil atau besar. Bagi Tachi
itu tak masalah, dalam komunikasi business
to business
kejujuran bukanlah nomor satu, nomor satu adalah keuntungan dan
trust masyarakat
terhadap perusahaan.
Acara
Kartini Day
itu ditutup dengan tarian adat Betawi, Lenggang Nyai. Tiga orang
penari wanita menari dengan sangat cantik dan tak biasanya Tachi
tertarik untuk melihatnya.
“Chi,
tumben kamu suka lihat tarian adat. Suka ya sama tariannya” tanya
Angga sebari mencubit pipi Tachi yang tak berkedip memperhatikan gerakan
para penari. “biasa aja sih bang, gue kasihan sama seni dan budaya
dibawah sistem moneter hari ini. Cuma dijadiin kedok” jawab Tachi
datar dengan senyum khasnya. “Ini kan peringatan Kartini Chi, jadi
sudah seharusnya dimeriahkan dengan seni budaya kita” Angga
menjelaskan. “Apa-apaan bang, Kartini Day apaan ini. Kartininya
cuma dijadiin alibi doang, isinya lobi-lobian sama advertising”
Tachi polos menimpali. “iya kan Chi, namanya juga orang bisnis.
Tadi kan banyakan yang promosinya pebisnis wanita. Tapi kita gak tahu
juga sih dibelakang wanita-wanita itu ada siapa” Angga memandangi
Tachi penuh pengertian, tapi Tachi tetap saja menatap tajam seluruh
isi ruangan yang bising tapi bagaikan melodi yang teratur mengalun
merdu sehingga membuat semua orang merasa nyaman, karena semua orang
disana berkomunikasi dengan menggunakan seni mempengaruhi lawan
bicaranya masing-masing yang membuat Tachi menjadi sangat mual.
Tachi
meninggalkan Angga bersama rekan bisnisnya, berpamitan dengan santun
dan berjalan keluar auditorium. Tak lama Angga mengikuti Tachi karena
khawatir Tachi pulang sendiri. Tapi ternyata Tachi sedang berdiri
tenang di depan jendela dekat tangga di depan pintu auditorium tempat
acara berlangsung. Angga menghampiri Tachi, dan bertanya “Kenapa
keluar Chi, bosan ya”. “Gak bosan kok bang, pusing aja .Kartini
Daynya
Imitasi ternyata” jawab Tachi menghela nafas dan menyandarkan
kepalanya dibahu Angga. Mereka merenung sejenak dan Angga pun
merapikan rambut Tachi lembut.
Angga
hanya bisa tersenyum tenang mengajak Tachi pulang karena Angga yakin
Tachi tak nyaman di acara itu, meskipun dia terlihat menikmatinya.
Sesampainya di mobil, Tachi membuka pembicaan tentang UNAS yang
merupakan Perguruan Tinggi Swasta tertua di Jakarta, dan tentang
banyak hal yang dia amati selama acara berlangsung, mulai dari cara
orang berbicara, mempengaruhi, dan bersikap. Tachi terlihat sangat
senang tetapi bingung, Angga mendengarkan Tachi dan sesekali
memberikan penjelasan tentang hal yang membuat Tachi bingung. Sampai
akhirnya Tachi pun tertidur kelelahan di mobil setelah seharian
berada di dalam kebisingan yang membuatnya menyadari kenyataan yang
sangat menyedihkan, dimana nama pahlawan pun harus dijadikan topeng
untuk kegiatan advertising oleh banyak
perusahaan. Dengan perasaan lega Angga pun tiba di
rumah Tachi tepat pukul enam sore WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar