Senin, 04 Mei 2015

Kartini Imitasi

Sore yang terlalu jingga mewarnai langit Ciputat kala seorang mahaiswi berdiri di balkon asrama putri tanpa memikirkan apa pun, weekend sepertinya membuat otaknya tertidur pulas sepanjang hari. Dia mengenakan celana jeans Lois selutut, dan kaos pendek polo putih. Sangat sederhana, dia mengikat rambut panjangnya yang berwarna hitam malam dan tebal ke belakang. Angin yang cukup kencang untuk membuatnya merasakan suasana pesisir pantai yang mengantarkannya ke pantai Kuta, dia mengkhayal dan tertawa seperti biasa. Dia mungkin berpikir bahwa dia memiliki cita-cita baru, menjadi seorang penghayal professional. Tiba-tiba ,”Biip” Sms masuk di hpnya.
Kamu dimana Tachi? Selasa ini Kartini Day, kamu ikut abang undangan ya ke Universitas Nasional”, Sender: Angga. “Sip oke :D” Tachi membalas singkat.
Tachi, seorang mahasiswi jurusan Ekonomi di UIN Jakarta, dia terlalu dingin untuk berbahagia atas ajakan seorang senior yang mungkin sangat peduli padanya. Tak lama
jam 8 abang jemput ya Chi, kamu jangan lupa pakai kebaya. Yang kece ya ;)”
Sender: Angga
Hahh? kebaya? Iya kali gue pake kebaya” teriak Tachi merasa sangat keberatan memakai baju yang sebenarnya identitas pulaunya sendiri, pulau Jawa. Memakai baju seperti kebaya merupakan ujian yang lebih sulit daripada ujian masuk uin, pikirnya iseng. Tanpa banyak bertanya dia memasukkan kembali hpnya ke saku celana dan masuk ke kosan meninggalkan langit yang sepertinya mulai jenuh dengan jingganya, dan berganti menjadi hitam kelam, membosankan.
Sepanjang malam Tachi tak bisa tidur, kebaya yang harus dia kenakan di hari Kartini membuatnya menjadi sangat stres. Bagaimana tidak, bedak dan sanggul dipastikan membuatnya merasa menjadi alien yang terkena hydrocepallus.
Malam semakin larut, yang terdengar hanya suara jangkrik disekitar kosan, yang memang selalu menjadi teman Tchi berbitbox kala dia mengerjakan tugas atau yang lainnya di malam hari. Karena sangat bingung Tachi memutuskan untuk menelpon ibunya.
mama, lagi apa? Sibuk gak, aku mau minta tolong” Tachi membuka pembicaraan.
iya sayang, ada apa? Kok belum bobo” ibunya seakan lupa bahwa putrinya memang sudah biasa seperti kelelawar, malam terjaga kemudian pagi tertidur.
mam, aku harus pake kebaya. Harus kece juga katanya mau nemenin temen ke kartini Day di UNAS” Tachi menjelaskan dengan nada yang bingung dan malas.
Terus masalahnya apa sayang? Kamu semangat aja, nanti mama yang dandanin. Oke.” jawab ibunya mengerti bahwa putrinya sangat alergi dengan pakaian adat daerahnya itu sendiri.
oke, tapi jangan yang ribet-ribet ya. Thanks mom, good night.” Jawab Tachi dingin.
iya sayang, love u” ibu menjawab sebelum menutup telpon.
Pagi pun datang, hari itu matahari seperti sangat cepat berlari dari timur ke barat bagi Tachi. Dia terus bertanya-tanya di sela-sela aktivitasnya hari itu. Kenapa ibu Kartini harus pakai kebaya, kenapa dia harus orang Jawa, kenapa tidak dia tidak orang Amerika saja supaya besok bisa pakai celana jeans. Sore pun segera menghampiri Tachi yang sedang mengetuk pintu rumahnya yang sebenarnya hanya berjarak satu jam perjalanan dari kampusnya
assalamuallaikum, mama, aku pulang” Tachi mengucap salam seperti biasa dengan nada sangat ceria. “waallaikumsalam, iya sayang ayo sini” ibunya membuka pintu dan langsung memeluk putrinya yang terlihat sedang sangat kebingungan.
Sayang, kamu sudah makan?” tanya ibu sambil mengajak Tachi berjalan memasuki ruang tamu. “belum mam, tapi aku belum lapar. Mam, kebayanya gimana aku besok?”, tanya Tachi lemas. “Mmh, biasa diatur sayang” ibu tersenyum mengajak Tachi ke kamarnya.
Ibu Tachi sangat tenang, tidak seperti Tachi yang sangat ceroboh, kadang sangat hangat, tapi terkadang dingin seperti es. Dia sangat memahami mengapa putrinya tidak menyukai pakaian adat, meskipun Tachi dibesarkan di Bandung yang kental akan kesenian dan budaya Sunda tetapi Tachi cenderung menganggap seni budaya itu tidak penting dan tak ada gunanya. Dia berpikir untuk merubah dan memperbaiki kerusakan lingkungan dan sosial, bukan dengan seni atau kebudayaan tapi hanya bisa dengan sains dan teknologi, itu sebabnya dia menganggap seni dan budaya itu tidak lebih penting dari riset atau sekedar mempelajari hukum fisika, kimia, dan biologi. Bahkan, sampai saat ini Tachi hanya hafal satu lagu daerah yaitu Bubuy Bulan, yang diajarkan ayahnya. Tachi hanya percaya kepada ayahnya.
Tak pernah ada di rumah yang menyalahkan sikap Tachi, semuanya menerima karena sadar bahwa Tachi sangat dekat dengan ayahnya, seorang peneliti yang terkenal dengan penemuannya di bidang nuklir dan energi terbaharukan. Sejak ayahnya tewas dibunuh gara-gara penemuannya yaitu sumber energi baru dari air yang bisa digunakan dalam skala nasional, Tachi mulai mendalami ekonomi dan sangat ambisius memahami konspirasi ekonomi yang membuat ayahnya menjadi korban keganasan manusia di sistem moneter.
Ibunya pernah menangis ketika Tachi berkata dengan sangat tegas “Tak apa jika aku mati seperti ayah, asalkan aku selesai membuat keinginan dan hasil risetnya bermanfaat bagi orang banyak”. Sejak saat itu Tachi diberi pengawalan yang sangat ketat karena ibunya tak ingin dengan apa yang dilakukan Tachi saat ini, membuatnya celaka.
Lama ibu tertegun, dia membukakan lemari pakaian yang penug dengan pakaian mewah khas pejabat. “ada yang kamu suka sayang?”, tanya ibu berharap Tachi menyukai salah satu pakaiannya. Tapi Tachi hanya menggeleng dan berkata dengan senyum lebar khasnya “Tidak ada bu, itu kayaknya ribet semuanya deh kebayanya” dia tertawa heran.
Ibu tertawa kecil kemudia memilihkan sebuah kebaya krem lengan pendek dan kain batik bali yang sangat serasi dengan usianya, 19tahun yang berat. Tachi tak banyak bicara, dia mengenakan kebaya yang diberikan ibu, dan kebingungan dengan kain batik. “bagaimana cara pakainya ini, aduuuhhh” Tachi berbicara sendiri di depan cermin kamar ibunya, dan tertawa geli setelah menyadari betapa kewanitaannya diragukan, memakai kain batik saja tidak bisa. Ibu dengan sangat lembut mengajari Tachi mengenakan kain dan merapikan kebaya yang dikenakan putrinya.
Sini duduk sayang”, ibu meminta Tachi duduk di kursi rias dan Tachi pun selalu mengiyakan keinginan ibunya. Meskipun Tachi hanya percaya pada ayahnya, tapi dia menghormati siapa pun yang dekat dengannya. Dengan penuh kelembutan dan sangat senang ibu merias Tachi dengan make up tipis dan mengikat rambut Tachi membentu sanggul keci modern dan diberi bunga plumeria dibagian kiri.
Sangat cantik, hidung Tachi yang mancung dan lancip, bibir mungil yang sedikit tebal dan berwarna merah muda, menjadi sangat menarik dipadu alis tebal dan bulu mata yang lentik alami. Sepatu high heels putih pun dipakaikan ibu pada Tachi yang terlihat sangat jenuh dengan bajunya.
Ayo berdiri sayang” pinta ibu kepada Tachi kemudian Tachi berdiri perlahan dia tersenyum di depan cermin, terlihat gigi taring yang runcing di sebelah kiri melengkapi senyum manis dari seorang wanita yang sangat pemalas mengenakan pakaian yang mewah. Tachi bergaya layaknya seorang model profesional dan berjalan ke arah ibunya. Ibu Tachi tersenyum bahagia memeluk putrinya yang hari itu sangat berbeda, Tachi mengingatkan ibu kepada ayah Tachi yang tak menyukai pakaian-pakaian kaum borjuis, ayah Tachi lebih senang berpakaian sederhana sehingga ibu Tachi harus selalu membujuk agar ayah Tachi mau memakai pakaian yang baik untuk hari-hari atau acara penting. Tachi senang dan memeluk ibunya untuk beberapa saat.
“Sudah selesai sayang, ayo berangkat. Angga sudah dari tadi nunggu kamu” ibu merapihkan rambut Tachi dan mencubit pipi Tachi yang putih cabi, tapi Tachi hanya tertawa dan mengerutkan kening menatapi wajah dan bajunya dicermin, merasa aneh dan perlahan dia berjalan keluar menemui Angga sambil memakai gelang emas bertuliskan nama ayah dan ibunya. Angga terpana melihat Tachi yang berjalan kearahnya, tapi Angga kembali sadar karena Tachi ternyata masih ingin membawa tas gendong hitam bermerk polo kesukaannya, dan Angga pun membuang ekspektasinya kemudian membalas senyum Tachi dan meyakini bahwa Tachi masih Tachi yang kemarin, cool, tomboy, dan acuh.
Sini Chi ah, biar abang yang bawa tasnya. Udah cakep-cakep bawa tasnya malah tas beginian” tanpa basa-basi Angga mengambil tas dari lengan Tachi, “Iya abang :D” Tachi hanya tersenyum lebar dan menggandeng tangan Angga menuju mobil Honda jazz putih milik Angga, sesudah berpamitan kepada ibunya. Ibu memperhatikan sikap Tachi, ibu tak perlu curiga kepada Angga karena Tachi tak mudah dekat dengan orang lain. Pasti Angga bukan orang sembarangan, karena Tachi menganggapnya sebagai kakak sendiri. Lagipula mereka lebih seperti adik kakak, ketimbang orang yang saling suka. Ibu tersenyum melambaikan tangan sampai mobil Angga keluar dari gerbang rumah.
Sesampainya disana Tachi bersikap seperti layaknya pejabat, sangat elegan dan mendampingi Angga yang diundang menjadi pembicara pada acara tersebut. Peringatan hari kartini Nasional ini merupakan agenda tahunan yang kali ini dilaksanakan di auditorium UNAS Jakarta. Seperti biasa acara hanya dihadiri oleh pejabat dan tertentu, hal-hal dan acara yang diadakan pun tidak jauh dari memperkenalkan perusahaan masing-masing.
Tachi menikmati acara Kartini Day hari itu, dia belajar banyak hal tentang bagaimana cara para pejabat berkomunikasi dengan manis, walaupun sebenarnya tujuannya menjatuhkan. Belajar bagaimana perusahaan besar memperoleh konsumen dan jaringan bisnis yang tepat, dan dia pun belajar bahwa Kartini Day hanya digunakan sebagai merk acara saja supaya terlihat nasionalis, atau menghargai pahlawan wanita lah, militansi kebudayaan daerah lah, atau apalah lainnya. Padahal esensinya hanya sebagai ajang advertising perusahaan besar untuk dapat menguasai pasar dan mendapatkan profit lebih banyak.
Gimana Chi, suka acaranya?” seusai menjadi pembicara Angga menyapa Tachi dengan membawakan teh hangat di meja VIV yang Tachi duduki. “Makasih, suka kok. Kayaknya ini acara cuma ajang lobi-lobian antar korporasi aja ya bang” bisik Tachi kepada Angga yang berhasil membuat Angga tertawa heran, dia tak menyangka adik kecilnya bisa membaca situasi dengan tajam seperti biasanya.
Angga pun duduk disamping Tachi, memerhatikan bagaimana Tachi bersikap kepada delegasi dari Timor-Timur, BI, dan SWA dengan sangat elegan, dingin, dan meyakinkan. Sampai mereka begitu yakin bahwa Angga adalah pebisnis kopi yang sangat hebat. Pada akhirnya mereka meminta kontak dan ingin berkunjung ke perusahaan Angga, untuk melakukan kerjasama atau mungkin hanya membeli dalam partai kecil atau besar. Bagi Tachi itu tak masalah, dalam komunikasi business to business kejujuran bukanlah nomor satu, nomor satu adalah keuntungan dan trust masyarakat terhadap perusahaan.
Acara Kartini Day itu ditutup dengan tarian adat Betawi, Lenggang Nyai. Tiga orang penari wanita menari dengan sangat cantik dan tak biasanya Tachi tertarik untuk melihatnya.
Chi, tumben kamu suka lihat tarian adat. Suka ya sama tariannya” tanya Angga sebari mencubit pipi Tachi yang tak berkedip memperhatikan gerakan para penari. “biasa aja sih bang, gue kasihan sama seni dan budaya dibawah sistem moneter hari ini. Cuma dijadiin kedok” jawab Tachi datar dengan senyum khasnya. “Ini kan peringatan Kartini Chi, jadi sudah seharusnya dimeriahkan dengan seni budaya kita” Angga menjelaskan. “Apa-apaan bang, Kartini Day apaan ini. Kartininya cuma dijadiin alibi doang, isinya lobi-lobian sama advertising” Tachi polos menimpali. “iya kan Chi, namanya juga orang bisnis. Tadi kan banyakan yang promosinya pebisnis wanita. Tapi kita gak tahu juga sih dibelakang wanita-wanita itu ada siapa” Angga memandangi Tachi penuh pengertian, tapi Tachi tetap saja menatap tajam seluruh isi ruangan yang bising tapi bagaikan melodi yang teratur mengalun merdu sehingga membuat semua orang merasa nyaman, karena semua orang disana berkomunikasi dengan menggunakan seni mempengaruhi lawan bicaranya masing-masing yang membuat Tachi menjadi sangat mual.
Tachi meninggalkan Angga bersama rekan bisnisnya, berpamitan dengan santun dan berjalan keluar auditorium. Tak lama Angga mengikuti Tachi karena khawatir Tachi pulang sendiri. Tapi ternyata Tachi sedang berdiri tenang di depan jendela dekat tangga di depan pintu auditorium tempat acara berlangsung. Angga menghampiri Tachi, dan bertanya “Kenapa keluar Chi, bosan ya”. “Gak bosan kok bang, pusing aja .Kartini Daynya Imitasi ternyata” jawab Tachi menghela nafas dan menyandarkan kepalanya dibahu Angga. Mereka merenung sejenak dan Angga pun merapikan rambut Tachi lembut.
Angga hanya bisa tersenyum tenang mengajak Tachi pulang karena Angga yakin Tachi tak nyaman di acara itu, meskipun dia terlihat menikmatinya. Sesampainya di mobil, Tachi membuka pembicaan tentang UNAS yang merupakan Perguruan Tinggi Swasta tertua di Jakarta, dan tentang banyak hal yang dia amati selama acara berlangsung, mulai dari cara orang berbicara, mempengaruhi, dan bersikap. Tachi terlihat sangat senang tetapi bingung, Angga mendengarkan Tachi dan sesekali memberikan penjelasan tentang hal yang membuat Tachi bingung. Sampai akhirnya Tachi pun tertidur kelelahan di mobil setelah seharian berada di dalam kebisingan yang membuatnya menyadari kenyataan yang sangat menyedihkan, dimana nama pahlawan pun harus dijadikan topeng untuk kegiatan advertising oleh banyak perusahaan. Dengan perasaan lega Angga pun tiba di rumah Tachi tepat pukul enam sore WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar