Diah Pitaloka (1113046000112)
Embun pun masih menempel di
dedaunan, sinar sang mentari masih tertutup awan pagi, belum ada tanda-tanda
terik hari ini. Di lapangan hijau pagi sekali sudah ramai pecinta olahraga,
sibuk dengan olahraganya masing-masing. Tapi kebanyakan mereka lari-lari kecil
di lapangan hijau itu, termasuk cowok berkaos putih, bercelana trening biru.
Keringatnya membasahi di sekujur tubuhnya, tetapi tampak tak lelah sedikit pun,
bahkan wajahnya memancarkan aura semangat luar biasa di pagi hari ini, dan
larinya pun semakin cepat, mengikuti waktu yang telah diatur pada jam
tangannya.
“Aduhh, kakiku” seorang gadis terpeleset saat
berlari bersama adiknya, tepat di belakang cowok itu. Dan cowok itu pun menoleh
ke belakang.
“Hei dik, kamu kenapa, kamu baik-baik saja?”
tanya cowok itu sedikit kaget, lalu ia pun mendekati kami untuk memastikan apa
yang terjadi. “lututku bang berdarah, tadi terpeleset” jawabnya, dan adiknya
pun ikut menjawab, “Kakak sih bang, enggak hati-hati makanya terpeleset”.
“Ok, tenang-tenang, abang ada plester ko’, abang
selalu bawa plester setiap olahraga.” sahut cowok itu sambil merogoh tas
pinggangnya, cowok ini memang setiap olahraga selalu membawa plester, balsem,
di dalam tas pinggangnya.
“Tahan ya? enggak sakit ko’, Cuma sedikit
sakitnya, biar enggak infeksi lukanya.” Ia menenangkan gadis itu, lalu
membersihkan lukanya dengan tisu dan menempelkan plester itu ke lututnya.
“Enggak sakit ko’ bang” ia pun lalu bangkit dan
berjalan sedikit tertatih mencari tempat duduk yang nyaman. “Mari abang bantu
tuntun kamu dik, kita ke kursi itu saja” sambil menunjuk ke arah kursi yang
tidak jauh dari mereka.
Mereka pun berkenalan, perkenalan mereka cepat akrab
satu sama lainnya, dan adiknya yang selalu ikut berceloteh bercampur nyeleneh
menambah gelak tawa mereka, sehingga tidak terasa ada rasa kecanggungan.
“Oh ya, terimakasih ya bang udah membantuku, jadi
enggak enak merepotkan.”, “enggak apa-apa lagi, santai saja dik!”, “abang
sering olahraga di sini ya? Kelihatan enggak asing deh”, “enggak sering juga
sih, ya seminggu terkadang dua kali abang olahraga di sini.
Oh ya, kamu kelas berapa dik? Dan adikmu?” tanya cowok
itu. “Aku kelas dua SMA bang, dan adikku ini kelas dua SMP”, “Sebenarnya bang
aku kelas tiga SMP lho, tapi karena telat masuk sekolah dasar jadi sekarang kelas
dua SMP deh, hehe”, sahut adiknya yang selalu menyahut pembicaraan orang lain.
“Dan abang sendiri udah kuliah ya? Fakultas apa
dan semester berapa bang?” sedikit penasaran. “Abang semester IV, dan ambil
fakultas hukum” jawab cowok itu. “Oh, anak hukum ya? Asyik dong, kenapa ambil
hukum bang?” gadis itu kembali bertanya.
“kenapa abang fakultas hukum ya? Hmm, alasannya
sederhana sih, karena abang tidak suka hukum, awalnya sih, makanya abang ambil
fakultas hukum, agar suka, lalu belajar dengan tekun, dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, dan untuk ke depannya ikut di barisan untuk menegakkan
hukum yang benar, yang adil dan tak pandang bulu.” jawab cowok itu.
“Hihihi, panjang amat bang jawabannya, seperti
gerbong kereta api”, ucapnya sambil bercanda. “Lantas bang, menurut abang
pribadi, bagaimana hukum yang semakin buruk akibat orang-orang hukum itu
sendiri?” kembali melontarkan pertanyaan.
“Hmm, menurut abang orang-orang seperti itu bukan
orang-orang hukum, tak layak sebutan itu untuk mereka, karena mereka itu yang
sebenarnya penjahat hukum. Lagian abang juga masih mahasiswa, belum bisa banyak
berbuat apa-apa untuk melawan mereka, hanya ikut berdemo saja ketika ada
kasus-kasus hukum yang tidak adil, ikut mengkritik melalui tulisan-tulisan kepada
mereka yang menyalahgunakan hukum. Dan tentunya abang lakukan bersama
teman-teman kelas abang lainnya.”
“Wah, aku terharu jadinya, abang idealis sekali”,
ia merasa kagum mendengar jawaban dari cowok itu.
Matahari pun sinarnya mulai terik, lapangan hijau
kini mulai sepi. Satu persatu para pecinta olahraga meninggalkan lapangan. Dan
tiga anak manusia yang duduk di kursi itu pun bersiap-siap pulang. “Oh ya dik,
kalau ada waktu kamu telpon ke nomor abang ya? ada yang mau abang bicarakan.
Kamu suka mendaki gunung dik?” tanya cowok itu sambil memberikan no hpnya.
***
Di rumah sederhana dihiasi bermacam-macam bunga,
dan ada juga berberapa pohon lumayan besar merindangi rumah Ozi. Tiap sore ozi
mendapat tugas dari ibunya untuk menyiram tanaman-tanaman hias kesayangan ibunya.
Ozi anak satu-satunya dari keluarga sederhana ini, tak heran jika hampir
pekerjaan rumah ia bisa mengerjakannya, dari mulai menyapu, mengepel, bahkan
masak sekalipun ia bisa mengerjakannya. Karena ia rajin membantu ibunya dan
sangat patuh terhadap orangtuanya.
“Sudah selesai
menyiramnya?” tanya ibu sedikit teriak dari dalam rumah. “sudah bu, baru aja
selesai” jawabnya sambil menggulung selang air. Setelah membereskan semua alat-alat
menyiram tanaman, lalu ia masukkan ke gudang belakang dapur.
Terdengar suara sms dari hpnya yang terletak di
meja belajar kamar, ia pun bergegas mengambil hp, lalu membuka pesannya, “oh,
ternyata sms dari Wika, hmm, ternyata dia kangen juga denganku”
“Assalamualaikum Wr Wb bang.. Apa kabar? Lagi
sibuk enggak bang?” isi pesan sms dari wika, gadis kecil yang manis, cantik,
pintar dan penuh enerjik itu. teman baru Ozi, mereka saling mengenal ketika di
lapangan hijau.
Ia pun langsung membalas sms dari Wika,
“Waalaikum’salam WR WB dik, Alhamdulillah sehat. Kabarmu sendiri dik? Sehat?
Abang enggak sibuk”, ia pun akhir-akhir ini terus memikirkannya, tetapi ia malu
untuk smsnya duluan. Dan ternyata Wika duluan yang sms Ozi, hmmm.
“Alhamdulillah baik juga bang, oh ya bang,
kemarin abang tanya aku suka atau enggak mendaki ya? Aku suka sekali loh bang,
tapi aku belum pernah mendaki, dan aku ingin sekali” balas sms wika lagi.
“kamu serius dik? Yakin nih?” Ozi sedikit ragu
dengan Wika, apa benar ia ingin mendaki ikutnya. “Iya loh bang, yakin, tapi
enggak wika sendiri cewek kan bang?” balas sms wika lagi.
“Oh enggak dik, abang ada teman dua cowok dan
satu cewek, pastinya mereka menyenangkan dik, kami semua mudah bersahabat”,
jawabnya melalui balasan sms untuk. Ozi sangat senang mendengar kabarnya mau
ikut mendaki. Ia pun agak heran dengan diriku sendiri, kenapa belakangan ini ia
selalu memikirkannya, teringat jelas garis senyumnya, tatapan matanya yang
berbinar, semua menyatu di wajahnya yang rupawan. Rasa keingintahuaannya,
manjanya saat ia lututnya terluka, sopan santunnya, ahh, sungguh membuatku tak
mnegerti perasaan. Upps, jangan sampai, iya jangan sampai aku mencintainya, tak
mungkin.
Suara sms dari handphone mengejutkannya
saat sedang bermain dengan perasaannya. “Oh benar bang, ya udah bang, nanti aku
kabari lagi. Aku mau minta izin sama ortuku dulu, kalau dapat izin, kita
berangkat Sabtu depan ya bang?” balas sms wika, tampak wika sangat semangat
ingin menapakkan kakinya di kerikil-kerikil pegunungan. Ia sudah tak sabar lagi
menghirup udara segar alam bebas, disapa lembut oleh embun pagi di alam bebas.
“iya dek, abang tunggu kabar darimu, kalau benar
jadi Sabtu depan kita berangkat, nanti kita sambung smsnya dik, udah mulai
maghrib nih, Wassalamu’alaikum Wr Wb dik”, tak lama kemudian adzan magrib pun
berkumandang dengan merdunya menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya.
Ozi pun bergegas mandi, untuk melaksanakan sholat maghribnya, kali ini ia
sholat di rumah, tak seperti biasanya yang selalu rajin ke mesjid. Mungkin
karena tak sempat lagi ke Mesjid, makanya Ozi sholat di rumah saja.
Hari semakin gelap, bulan dan bintang mulai
menghiasi angkasa, dan dingin pun mulai menyapa. Seperti biasa, Ozi menulis
catatan hariannya. Ia suka sekali menulis dan membaca, sering kali mengurung
diri di dalam kamar hanya untuk menulis. Ia tak seperti anak muda lainnya, ia
menghabiskan waktu dengan hal-hal positif, dan ia dengan tegas menolak jika
diajak teman-temannya untuk melakukan hal negatif, baginya waktu itu sangat
berharga, tak salah jika ia tak membuang waktu hanya untuk melakukan sesuatu yang
negatif.
Terdengar suara sms hp Ozi, ia pun segera
membukanya. “Assalamu’alaikum Wr Wb, bang aku diberi izin sama orang tuaku,
kebetulan ayah juga dulu waktu masih sekolah hobi mendaki gunung. Ketepatan
deh, hheehe, makanya dapat izin gampang.”
Ozi pun langsung membalas sms Wika, “Ok dik,
Sabtu depan kita berangkat, nanti abang sms apa saja yeng perlu kamu bawa untuk
perlengkapan mendaki gunung beserta logistiknya.”, “Ok bang sip” jawab wika.
Ozi pun memberitahukan kepada teman-temannya melalui sms untuk siap-siap sabtu
depan naik.
Suasana kampus tidak seperti biasa, lebih ramai
dan lebih sibuk dari hari sebelumnya, itu karena para siswa mengikuti ujian
akhir semester. Bercelana keper hitam, berkemeja lengan panjang putih, seragam
wajib bagi siswa untuk mengikuti ujian, dan jangan sesekali melanggarnya, kalau
masih ingin berada di dalam kelas untuk mengikuti ujian. Para siswa sibuk
dengan kegiatannya masing, ada yang sedang membaca di perpustakaan, membaca di
kantin, membaca di bawah pohon bersama teman-teman yang lain, ada yang
internetan di ruangan wifi, ada juga yang ngumpul-ngumpul seperti semut dan
sesekali tertawa terbahak-bahak, suaranya pun sampai ke langit ke tujuh, luar
biasa. Ada juga siswi yang cakep, yang berlangganan setiap jam istirahat merapikan
makeupnya, ya dia adalah cewek yang tersorot oleh siswa-siswa genit, dan kalau
ia lewat di depan siswa genit, para siswa genit beramai-ramai menyuitnya,
cuittt… Cuitttt.. (Ya, seperti itulah kira-kira bunyinya).
Dan Ozi sedang berkumpul dengan teman-temanku di
kantin untuk membicarakan pendakian Sabtu besok, setelah selesai ujian akhir
semester. Mereka adalah: Dido, Ando dan satu lagi cewek, biasanya dia datang ke
kampus mereka tapi kali ini dia enggak bisa datang. Dan Cuma dia yang beda
kampus di antara kami, namanya Lena, dan dia juga yang paling cantik di antara
kami. (ya iya lah cantik, Cuma dia sendiri cewek)
“Jadi gimana bang? Pasti kan kita naik sabtu
depan? Tanya Ozi pada mereka, “kalau aku oke aja bang, gimana menurutmu bang
Ando?” jawab Dido, dan bertanya kepada Ando, “Kalau itu kita yang atur, kalau aku
oke aja” dengan semangatnya Ando menjawab.
“Oh ya bang Ozi, siapa cewek yang abang bilang
kemarin mau ikut?” tanya Dido penasaran padaku. “Oh cewek itu, kenalan baruku,
waktu latihan kemarin di lapangan. Anaknya asyik loh, aku jamin deh kita semua
akan klop. Hehe”. “baguslah bang kalau begitu, bertambah satu lagi teman
mendaki kita, iya enggak bang Dido?” sahut Ando.
Teeettt… teeetttt… Suara bel tanda masuk kelas.
“Udah bel bang, yuk masuk kelas bang! Biar cepat selesai ujian kita”, ajak Ozi
biar cepat bergegas, dan kami pun meninggalkan kantin menuju kelas.
Sampai di kelas ternyata pengawas ujian sudah
masuk terlebih dahulu, dan soal ujian sudah diletakkan di setiap meja siswa.
Dan kami pun duduk di kursi masing-masing, ketepatan kami bertiga duduk
bersampingan, jadi bisa lebih mudah saling berbagi (m*ny*nt*k). Ujian dimulai,
mereka pun siap bertempur.
Satu jam kemudian, bel berbunyi sebagai tanda
waktu ujan sudah habis. Selesai atau tidak, pengawas mulai mengumpulkan satu
persatu lembar jawaban dari siswa. Kini pengawas tepat di depan meja Ozi, padahal
satu soal lagi belum ia jawab. Huh, dengan tak rela ia serahkan lembar
jawabannya kepada pengawas.
“Bang Dido, bang Ando, gimana selesai semua?”
tanyaku pada mereka, “belum bang, satu soal lagi belum terisi”, jawab mereka bersamaan.
“hahhaahhaahaa”, mereka pun gelak tawa bersama menghebohkan ruangan kelas,
semua siswa di ruangan kelas menoleh kepada mereka dan serentak mereka berteriak
“woiiii! berisik”, lalu mereka pun keluar dengan segera sambil tertawa kecil.
“oh ya bang Ozi, si Lena udah abang kasih tahu
sabtu depan kita berangkat?” tanya Dido, mereka sambil berjalan menuju
persimpangan kampus, seperti biasa di simpang itu lah mereka masing-masing
memilih mobil mereka (angkot).
“Udah bang, kemarin aku udah sms, dan jawabnya
dia juga siap berangkat”, “mantaplah, jadi kita berlima ya kan bang?”, “iyalah
kita berlima, ada lagi yang mau ikut emangnya?”, “Enggak ada sih bang, kita aja
yang berangkat” sahut Ando, dan mereka pun sampai di persimpangan kampus.
“Baiklah bang, waktunya untuk berpisah, sampai jumpa besok”, “ok bang sipp”
jawab mereka serentak, dan mereka pun kembali ke rumah masing-masing.
Sampai di rumah, rumah Ozi tampak sepi sekali,
mungkin orangtuanya sedang pergi keluar. Ozi pun langsung masuk ke kamar, dan
merebahkan badannya di kasur, badan dan pikirannya cukup lelah terkuras oleh
ujian di kampus tadi. Dan tiba-tiba ia teringat Wika, kalau ia sedang sendiri,
sedang termenung. Bayangan Wika selalu menghampirinya, seolah-olah menyapanya
untuk terus terhanyut oleh bayangannya. Sungguh, ia benar-benar sangat
merindukan Wika.
“Apakah aku harus menelponnya, untuk menyatakan
padanya bahwa saat ini aku benar-benar merindukannya?” tanya Ozi dalam hati.
“Tidak, tidak, aku tidak boleh menyatakan rinduku
padanya apalagi menyatakan cinta padanya. Biarlah semilir angin ini
menyampaikan rinduku padanya, walaupun entah kapan disampaikan oleh angin, dan
biarlah cinta ini aku simpan dengan baik di dalam hati, walaupun sesungguhnya
aku tak kuasa untuk menolak cinta itu. Iya, iya aku harus bisa menguasai dan
mengontrol diriku sendiri, lagi pula terlalu ego bagiku, jika suatu nanti
pelajaran di sekolahnya terganggu karena aku. Wika aku sayang kamu, dengan diamku
inilah tanda cintaku untukkmu, dan belum saatnya aku ungkapkan”, ia terus
bermain dengan perasaannya sendiri, sampai tidur pun menarik masuk ke dalam
mimpinya.
Hari yang dinantikan pun telah tiba, hari Sabtu,
hari yang telah dijanjikan kesepakatan bersama oleh: Ozi, Wika, Dido, Ando, dan
Lena, yang sedang memikul cariel di pundaknya masing-masing, yang berisikan
peralatan, perlengkapan dan logistik untuk mendaki.
“Gimana teman-teman? Siap untuk berangkat? atau
masih ada peralatan, atau perlengkapan, yang belum lengkap? Bang Dido, bang
Ando, kak Lena, dan Wika, siap semua?” Tanya Ozi memastikan.
“Siap bang Ozi, semua beres” serentak jawab Dido,
Ando, dan Lena. Wika tak bersuara, ia hanya diam. “Hei dik, kamu kenapa? Malah
diam.” Tanya Ozi pada Wika. “Sarung tanganku bang tertinggal”, “Oh, ya udah,
punya abang ada dua, nih simpan dulu, nanti pakai ya?” Ozi memberikan sarung
tangannya yang baru diambil dari tas pinggang. “Terimakasih bang Ozi, hehhe”
Sahut Wika tersenyum manis.
“upps, manisnya nih anak, kalau lagi senyum”
gumamnya dalam hati. “Ok bang, siap kita berangkat?” Dido mengagetkan Ozi,
mungkin Dido sedikit tahu tentang peasaan Ozi terhadap Wika, emang sih Ozi
seringnya curhat sama Dido, jadi dia tahu benar tentang Ozi.
“Siap bang, siap” jawab Ozi kaget. “Ok, kita
berangkat!” Sahut Lena sambil melangkah duluan menuju mini bis. Tak lama
kemudian mini bus ini pun bergerak dan mulai melaju, satu persatu mereka sudah
mulai terlihat mengantuk dan mulai tertidur. Tetapi Ozi tak bisa tidur, ia
hanya bisa menatap gadis kecil bidadari surga yang turun dari langit, rambutnya
yang lurus memanjang sampai ke bahu, menambah anggun wajahnya, sesekali ia
terbangun untuk merapikan poni rambutnya karena diterpa angin.
Dan akhirnya mereka sampai di kota Berastagi,
tetapi mereka harus menyambung angkot lagi menuju gunung Sinabung, dibutuhkan
waktu sekitar 45 menit untuk sampai ke sana. Tak terasa, Danau Lauh Kawar pun
sudah terlihat, airnya yang hijau, tenang dan dingin mengingatkanku beberapa
tahun yang lalu ketika aku dan teman-teman menyeburkan diri mengecap berenang
di danau itu.
“Welcome to Sinabung Mountain brothers and
sisters, and welcome to Lauh Kawar lake brothers and sisters” teriak Dido
sambil membentangkan tangannya. Dan Si Lena berlari kecil menuju ke tepian danau,
lalu membasuh mukanya dengan air danau itu. “wah, segar kali oi, huhhh,
dingin-dingin.” ucap Lena. Ando pun menyusul lena ke tepian danau, tampak
sekali kerinduan yang tercurahkan dari wajah mereka.
“Subhanallah, keren sekali bang danaunya, dan
gunung itu” kagum Wika saat melihat danau Lauh Kawar dan menunjuk ke arah
gunung Sinabung, ia pun berjalan mendekati Ozi. “Iya dik, emang keren”
sahutnya, sambil menatap wajah Wika.
Dan tiba-tiba saja Wika menoleh menghadap Ozi,
ini membuat Ozi tak karuan. “Serius banget ngelihatin aku bang, ada apa bang?”
wika heran. “Oh, enggak dik, enggak apa-apa dik” jawabnya gugup.
‘Oi abang-abang, kakak-kakak, mari dirikan tenda,
udah mulai gelap nih hari” ajak Dido sambil mengeluarkan tenda dari carielnya.
“Ok bang” Sahut mereka kompak.
Dan mereka pun mendirikan tenda, satu tenda untuk
para cowok, dan satu lagi tenda untuk para cewek. Lalu saling berinisiatif
sendiri-sendiri melakukan sesuatu, Si Dido menyiapkan menu makanan untuk malam
ini, ia mulai memasak nasi dibantu dengan Lena, Ando mencari kayu bakar, untuk
api unggun nanti malam, dan Wika membantu Ozi memasukkan barang-barang ke dalam
tenda.
Hari pun semakin gelap, matahari mulai tenggelam
di ufuk barat, udaranya pun semakin dingin, Wika mengambil jaket lalu memakainya,
tampak Wika mulai beradaptasi dengan alam.
“Oh ya dik, pernah nonton film ‘My Name Is Khan’
bintang utamanya Shahrukh Khan, Tau enggak adegan mana yang paling berkesan di
film itu?” tanya Ozi basa-basi, “Pernah bang aku nontonnya, tapi enggak tau bagian
mana adegan yang paling berkesan. Emang dibagian mananya bang?” sahut Wika.
“Ingat benar abang adegan waktu si Khan mau
sholat di daerah non Muslim, dan ada sepasang suami istri muslim India juga,
mengingatkannya untuk tidak sholat di sembarang tempat, apalagi di kawasan non
muslim, lalu Khan menjawab ‘Untuk melaksanakan sholat, bukan tergantung pada
tempatnya, bukan juga tergantung pada orang-orang di sekitar itu, tetapi
tergantung pada keyakinan’, kalimat ini dik, menguatkan abang saat mulai enggan
untuk melaksanakan sholat, apalagi daerah seperti ini, udaranya dingin, bawaannya
malas untuk sholat”.
“Ya ampun, segitunya bang?” respon Wika sambil
menundukkan kepalanya. “ya udah, sholat jamaah dulu kita yuk?” ajak Ozi. “aku
enggak bawa mukena lho bang, gimana dong? “.
“bentar abang pinjam mukena dulu sama pendaki
yang lain.” setelah mendapatkan mukena, mereka bertiga pun sholat Maghrib
berjamaah, kecuali Dido dan Ando mereka non muslim, tetapi di antara mereka
keyakinan tidak dipermasalahkan dalam berteman, mereka saling menjaga perasaan
keyakinan masing-masing.
Beberapa jam kemudian, harum mie goreng ala chef
Dido menusuk hidung mereka, ditambah harum khas ikan sarden, menambah selera
makan malam ini. “Waktunya makan! Mari-mari makan malam, yang jauh mendekat,
yang dekat merapat” Lena menawarkan masakan chef Dido.
“makan-makan, udah laper nih,” sambut Ando,
setelah menyalakan api unggun. “mantap beghh, buat lingkaran oi,” sahut Ozi,
dan Wika duduk di sampingku. Kami pun makan dengan lahapnya, diterangi api
unggun dan lampu sentir, malam yang cerah, bulan yang terang bertabur bintang
menambah terangnya makan malam kami.
“Gimana enak enggak masakan mie goreng, dan ikan
sardenku?” tanya Dido pada kami. “Enak bang Dido, tapi lebih enak lagi mie
goreng kantin kampus lah. Hahaa” sahut Ando, “Yah itu mah, sayurnya lengkap, kalau
ini apa adanya bang, hahaa” jawab Dido sambil makan dengan lahapnya. “Lumayan
enaklah bang, daripada enggak makan. haha” Sahut Lena sambil tertawa kecil.
“Kalau menurutku sih enak, walaupun sedikit asin
ya. Tapi asinnya ini murni kan bang?” tanyaku pada Dido, “Iya murni lah,
maksudmu bang Ozi, bercampur dengan keringat begitu?” jawab Dido, yang
menghentikan suapan nasinya sebentar. Lalu kami pun tertawa terbahak-bahak
“hahhahaahaha”.
“Eh, untuk dik Wika tambuh ya? Jangan malu-malu,
kalau malu-malu di sini kelaparan. Hehehe” tawar Ando sambil menyodorkan mie
goreng yang ada di mangkuk. “iya dik, jangan malu-malu, soalnya kita harus
makan yang cukup, agar energi kita terjaga saat kita mulai mendaki nanti” sahut
Lena lagi. “Iya bang Ando, kak Lena” jawab Wika, lalu menambah nasi ke
piringnya.
“jam berapa kita mulai mendakinya bang Ozi?”
tanya Wika, “Sekitar pukul 24:00″ jawab Ozi “ohh, berarti lama lagi dong, terus
habis makan nih, kita mau ngapaen lagi bang?”, “Habis makan kita tidur
sebentar, setelah pukul 24 kita bangun, dan siap-siap untuk mendaki” jawab
Ando, “Dan jangan sampai ketiduran yaa!” sahut Lena lagi. “pastikan alarm kita
hidup” ucap Ozi, sambil memasang alarm hpnya. Setelah makan malam, mereka pun
masuk tenda untuk tidur, untuk mengumpulkan tenaga yang cukup melelahkan mereka seharian tadi.
Beberapa jam kemudian, alarm hp milik Ozi pun
berdering sebagai tanda menunjukkan pukul 24:00. Ozi pun tersentak bangun, lalu
membangunkan yang lain, “Bangun-bangun woi! Bang Ando bang Dido bangun,”, “Udah
pukul 24 ya bang?” tanya Dido, sambil mengucek matanya. “Iya, waktunya kita
naik”.
“Haduh bang Ozi, masih ngantuk banget nih” sahut
Ando, yang masih tidur juga. “Hoalah bang Ando, bangun dong! Aku juga mau
bangunkan Wika dan Lena nih”, “Iya-iya” jawab Ando, yang akhirnya terpaksa
bangun.
Ozi pun keluar tenda, dan membangunkan Wika dan
Lena yang tendanya di samping tenda cowok. “Kak Lena, bangun kak!”, “Iya bang
Ozi, ini kami udah bangun.” sahut Lena dari dalam tenda, dan mereka pun keluar
dari tenda. Ozi sedikit kaget melihat wajah Wika, walaupun baru bangun tidur,
wajahnya tetap cantik, enggak ada kusutnya sedikit pun, ya walaupun rambutnya
yang panjang masih belum dirapikan, tetapi malam ini ia sungguh sangat cantik,
sungguh mempesona.
“Ok teman-teman, kita siapkan barang-barang kita,
kita bawa tenda satu untuk di puncak” ucap Dido, sambil membereskan
perlengkapan yang akan dibawa ke puncak. Dan mereka mulai membereskan
perlengkapan kami masing-masing.
Lengkap sudah, perlengkapan di tubuh kami, mulai
dari kaki sampai ujung kepala, bersepatu treck, berjacket tebal, bersarung
tangan, bertopi yang ditambah headlight sebangai penerang, ditambah cariel di
pundak kami masing-masing. Sebelum meninggalkan perkemahan, seperti biasa kami
tak lupa untuk berdoa, agar pendakian kami diberikan yang terbaik oleh Tuhan.
“Baiklah, abang-abang, kakak-kakak, sebelum kita
mulai pendakian ini, marilah kita meluangkan waktu kita sejenak, agar kiranya
petualangan kita kali ini diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa, tundukkan kepala,
dan doa dimulai menurut agama masing-masing!” ucap Ozi untuk memimpin doa.
Setelah berdoa mereka pun berpelukan satu sama lainnya dan sama-sama
mengucapkan sambil berteriak “Bersama kita mulai, bersama kita akhiri, huahhh”
itulah motto mereka.
Setelah itu mereka menuju posko pendaftaran,
untuk mendaftarkan diri di posko itu. Setelah mendaftarkan diri, mereka pun
memulai pendakian dengan penuh semangat.
Mereka mulai menyelusuri hutan kecil di kaki
gunung Sinabung, dan mulai masuk di pintu rimba. “Untuk semua teman-teman, kita
sudah memasuki pintu rimba, diharapkan untuk semua lebih fokus lagi, dan kalau
ada yang capek bilang ya? Biar kita istirahat, dan jangan terlalu memaksakan
diri, karena itu beresiko” Dido memberikan sedikit arahan dari depan. Dia yang
memimpin menapak, yang ke dua Lena, setelah itu Ozi, selanjutnya Wika, dan Ando
paling belakang menapak. “Sipp bang Dido” jawab kami serentak.
“Seram juga ya bang hutannya, mana dingin lagi,
oh ya bang pendaki yang lain mana ya? Ko’ cuma kita aja.” tanya Wika pada Ozi,
“hutan mana ada yang enggak seram dik, kalau enggak seram itu namanya taman,
hehee. Pendaki yang lain mungkin di atas dik, mereka mendaki duluan.” sahutnya
sambil terus melangkahkan kaki di tanah yang lembab dan berair.
Mereka terus melangkah, udara yang dingin pun
mulai terasa menjadi panas, karena keringat yang terus bercucuran dari tubuh
mereka.
“Kalau panas, dibuka aja jaketnya dik Wika!” ujar
Ando, sedikit memberikan arahan, “iya bang Ando” sahut Wika. Tak hanya Wika
yang melepaskan jaketnya, yang lain pun melepaskan jaket mereka masing-masing.
Setelah berhenti untuk melepaskan jaket, mereka pun kembali menapaki tanah yang
lembab, tanah yang licin, yang dijalari akar-akar pohon yang membuat beberapa
dari mereka sesekali tersandung.
“Oya bang Ozi, di sini enggak ada binatang buas
ya? Maksudnya seperti harimau, singa, atau ular besar?” tanya Wika, “sepertinya
enggak ada deh dik, selama kami mendaki belum ada melihat binatang seperti itu,
mendengar dari pendaki yang lain pun belum ada dik. Tapi kalau di gunung Leuser
mungkin ada dik, karena abang pernah membaca beritanya.” Sahut Ozi.
“Oh enggak ada ya bang. Gunung Leuser, aku suka
banget lho bang gunung Leuser, pengen banget mendaki ke sana. Kabarnya gunung
yang terindah di puncak Leuser ya bang? Diantara gunung-gunung pulau sumatera
ini” tanya Wika lagi, “Abang dengar pun seperti itu dik, tapi dik kalau kamu
yakin ingin mendaki gunung Leuser, daki dulu gunung-gunung yang medannya tidak
terlalu berbahaya. Mendaki gunung itu bertahap dik, enggak langsung tunjuk
gunung ini, gunung itu, untuk didaki. Karena kita harus benar-benar siap
mental, fisik, sedikit pengalaman, dan selalu belajar mengontrol diri, maksud
abang menaklukkan diri sendiri.” jawabnya, sekaligus memberikan keterangan
untuk Wika.
“Iya dik benar kata bang Ozi, seperti yang
dibilang Sir Edmund Hillary ‘bukan gunung yang ditaklukkan, tetapi diri sendiri
yang ditaklukkan’.” sahut ando dari belakang. “Oh seperti itu ya bang, iya bang
aku paham.” ujar Wika, sambil menganggukkan kepalanya.
Brakk, terdengar suara cukup keras dari depan,
seperti suara menubruk. “Aduh woi, dahiku berdarah” rintih Dido. Lalu mereka
berlari menuju Dido, dahi Dido berdarah cukup banyak karena terbentur batang
pohon. Mereka mulai menjadi panik, tetapi bagaimanapun mereka harus
menghentikan darah yang terus mengucur dari dahi Dido.
“Ini bang ando kasi bethadine dulu, setelah itu diperban
lukanya.” ujar Lena kepada Ando, sambil mengeluarkan kotak P3K dari carielnya.
“iya-iya sini cepat” sahut ando sambil membersihkan darah didahi Dido. Dan Ozi
membantu Ando menangani luka didahi Dido. Setelah lukanya bersihkan lalu diberi
bethadine, dan setelah diperban. Dan akhirnya, sukurlah darahnya sudah mulai
berhenti.
“Kenapa bisa sampai nubruk batang pohon bang?”
tanya Ozi pada Ando. “mataku kurang jelas memandang bang, apalagi malam.” jawab
Dido sambil menegakkan kepalanya. “hoalah bangDido, bang Dido. Enggak bilang
dari awal, biar aku mimpin jalan.” Sahut Ozi.
“Jadi gimana nih bang Dido, lanjut pendakian
kita?” tanya Ando, “pasti lanjutlah, emang ada apa?” jawab Dido tegas, sambil
mengepalkan tangannya lalu mengangkatnya ke atas. “Yakin bang Dido?” tanya Lena
lagi. “Iya lho abang-abang, kakak-kakak, aku enggak apa-apa” sahut Dido, sambil
berdiri membuktikan kepada mereka bahwa ia baik-baik saja.
“baiklah bang Dido, kalau seperti itu.” Sahut Ozi.
“Bang Dido ini cokelat, nah makan!” ujar Wika pada Dido, yang baru saja diambil
cokelat dari carielnya. Lalu Dido pun memakannya, dan membagikan kepada yang
lainnya.
“Dik kamu tau, seseorang yang jatuh tersungkur,
dengan cepatnya ia kembali tegak, lalu melangkah lagi? Itu karena impian dik.
Sama halnya dengan pendakian kita ini dik, impian kita adalah kita harus sampai
di puncak. Nah, walaupun abang udah luka jidat abang ini, itu tidak membuat
semangat abang kendur dik, bahkan semangat abang malah menambah, seperti api
yang disiram bensin” ujar Dido, sambil berdiri dan memakai carielnya.
“yuk jalan lagi” Dido memberikan arahan. “Uppsss,
tunggu dulu bang Dido, biar aku yang mimpin jalan, kita ubah formasi kita. Aku
yang pertama jalan, lalu Wika, berikutnya Bang Dido, berikutnya kak Lena, dan
bang Ando tetap seperti semula.” Ucap Ozi.
Lalu
mereka pun melanjutkan pendakian. Berjalan di atas batang pepohonan yang
tumbang, dan sesekali mereka harus merayap di tanah yang lembab dan basah,
karena jalan setapak itu terhalang oleh batang pohon yang kelihatan baru saja
tumbang.
“Teman-teman semua, diharapkan lebih fokus lagi
karena medannya cukup sulit, banyak pohon yang baru saja tumbang” ujar Ozi,
sedikit memberikan arahan untuk teman semua. “Oke bang Ozi.” jawab mereka
serentak. “uhh, sial, senterku mendadak mati.” rintih Wika, sambil
mengotak-ngatik senternya.
“Kenapa dik? Rusak ya? Coba bang lihat.” Sahut
Ozi, lalu mengambil senter Wika dan memeriksanya. “dik, bola lampunya rusak.”
kamu pakai senter abang aja, biar abang pakai senter mancis.” Sahut Ozi lagi.
“Biar aku yang mimpin jalan bang Ozi” sahut Ando dari belakang. “oke bang”.
Lalu mereka pun bertukar posisi, sekarang Ozi yang di belakang. Mereka pun
melanjutkan pendakian.
Mereka kembali melanjutkan pendakian, lelah yang
menyinggahi raga, tak dihiraukan, karena impian kecil mereka menggapai puncak.
Mereka terus menapaki jalan setapak itu, sampai mereka berhenti saat gerimis
mulai menetes di atas kelapa mereka.
“Kita berhenti sejenak ya? Mulai dingin nih, kita
ngeteh dulu gimana?” Ando menghentikan langkahnya, lalu mengeluarkan peralatan
masak dari carielnya. “Setuju-setuju” sahut Lena kecil. “istirahat di sini
saja, tanahnya cukup datar dan tidak terlalu basah” Dido mengarah tanah itu.
Mereka berhenti sejenak, untuk menghangatkan tubuh dengan membuat teh.
“Oh ya dik, kamu suka sama bang Ozi ya, dari
titik matamu, dan garis senyum di wajahmu saat menatap bang Ozi itu beda
sekali? Jangan bohong deh!” bisik Lena ke telinga Wika. “Hmm, gimana ya? Ada
benarnya sih. Tapi..”, “Tapi apa dik?”, “Tapi mana mungkin kak, abang Ozi itu
cowok yang baik, taat beribadah, mana mungkin merespon cewek seperti aku,
sedangkan aku pakai jilbab aja enggak.” bisik Wika lagi. “Ah, hati enggak ada
yang tau lho, apalagi bang Ozi, terlalu apik menyimpan perasaan.
“duarrrr, bicara apa kalian hah, nih minum
tehnya, kongsi aja ya? enggak cukup cangkirnya” Dido mengagetkan mereka, sambil
menepuk pundak Lena. “ihh, rese’ banget deh bang Dido. Tapi thanks tehnya,
hehe” ucap lena sambil meminum teh hangat itu.
“mantap tehnya bang Dido, bibir pun tak lagi
biru, benar enggak bang Ozi?” puji Ando, sembari menyodorkan secangkir teh itu
pada Ozi. “hmm, iya bang mantap.” pujiku lagi. “Haha, kalian bisa aja, kalian
muji gini biar aku terus ya, masak dan buat teh?” sahut Dido. “Hehe, enggak lho
bang, emang benar ko” tertawa kecil.
“Oh ya bang Ozi, lama lagi sampai ke puncak?”
Tanya wika, sambil mengusap-usap kedua telapak tangannya, tampaknnya ia sedang
kedinginan. “Enggak dek, paling sekitar tiga jam, kalau kita enggak ada
halangan, kenapa dik? Kamu letih?” sahut Ozi sambil melihat ke arah jam
tangannya.
“Ah, enggak ko bang, cuma nanya aja, oh ya bang
Ozi, ngomong-ngomong pacar abang suka naik gunung juga ya?” tanya Wika
penasaran. “Pacar? Hehe, pacar abang itu ya mereka bertiga ini” sambil menunjuk
Dido, Ando dan Lena. “enggak ngerti Wika bang, maksudnya?” tanya Wika lagi
dengan mengedepankan wajahnya lebih dekat. “haha, maksud abang dik, abang
enggak pacaran, tetapi berteman, karena berteman lebih baik dari pacaran,
bahkan jauh sekali kebaikannya. Ngerti, maksud abang?” jawab Ozi, sambil tertawa
kecil. “Oh, seperti itu” Wika mulai mengerti.
Gerimis mulai reda, dan teh di cangkir pun sudah
mengering. Mereka pun membereskan peralatan untuk kembali menyelurusi menggapai
puncak Sinabung. “Ayo kawan-kawan, kita kembali melangkah” Ujar Ando, yang
memulai melangkah.
Mendaki terus, terus mendaki sampai medannya pun
berganti, tanah yang lembab, sedikit berair, dijalari akar-akar pohon, dan
sesekali merayap di bawah pohon yang tumbang, sudah mereka lalui. Kini mereka
dihadapkan dengan medan bebatuan yang keras dan cadas, sebagai tanda sebentar
lagi mereka berada di puncak.
“Bentar lagi kita sampai, lebih hati-hati lagi,
karena takutnya ada batu yang menggelinding” sedikit arahan Ando. “Ok bang”
jawab mereka serentak. Di medan bebatuan ini, tak lagi seperti berjalan tetapi
sudah seperti memanjat, karena bukan lagi horizontal yang dihadapi, tetapi sudah
hampir vertikal. Mereka harus memastikan batu yang kuat sebagai tumpuan mereka,
karena jika batu itu tidak kuat, itu bisa membuat resiko fatal, dan
menggelinding bagaikan batu.
“Sini tanganmu dik, biar abang bantu” Ando
menjulurkan tangannya untuk Wika. “Iya bang” sahut Wika, nafasnya mulai
terengah-engah. “Hati-hati ya dik!” sahut Ozi dari belakang, “ok bang Ozi” Wika
menoleh ke belakang sambil memainkan mata pada Ozi yang sedikit tertutup oleh
rambut panjangnya.
“Ya Allah, aku sangat menghawatirkannya, jaga
keselamatannya, aku tidak mau ia terjadi apa-apa.” Ozi berdoa dalam hati, dan
sesekali ia melihat wajah Wika yang kelihatan sedikit pucat. “Bang Ando kita
berhenti sebentar, betisku kram” keluh Wika, sambil memegangi betisnya. “ok,
kita berhenti” Ando memberikan aba-aba. Lalu Ozi mempercepatkan diri untuk
mendekati Wika, dengan sedikit cemas.
“Kenapa kamu dik?” tanya Ozi, sembari melepaskan
carielnya. “betisku kram bang Ozi.” jawab Wika, yang terus mengusuk betisnya
dengan balsem. “hm, ya udah kusuk aja terus dik” sahut Ozi.
“Kakak juga pernah seperti itu dik, waktu pertama
kali mendaki. Iya kan bang Ozi?” ujar Lena, sambil membantu Wika memijit-mijit
kakinya. “Iya dik, benar. Nanti hilang itu kramnya, kalau sudah dipijitin
terus.”, “iya bang, kak” sahut Wika.
“Subhanallah, indahnya taburan bintang itu, dan
lihat kerlap-kerlip lampu kota itu, tak pernah kubayangkan sebelumnya,” kagum Wika
dan menghentikan pijitan kakinya. “hah, baru sadar! Kamu dik.” Tanya Ozi heran.
“Hehe, iya bang dari tadi aku ketakutan terus, jadi aku enggak terlalu
memandang terlalu jauh, aku hanya menatap batu-batu di depan mataku saja,”
“Nanti kalau kita udah di puncak, lebih indah
lagi dik apa yang kita lihat. Karena jarak pandang kita tak terhalang. Semangat
ya!” ujar Ozi seraya menepuk pelan pundak Wika. “Ok deh, yuk lanjut lagi!”
sahut Wika, dan ia kembali tegak.
Mereka pun mulai melanjutkan pendakian yang
sebentar lagi sampai di puncak. Semakin tinggi, semakin dinginlah udaranya, dan
semakin kencang pula angin yang menghadang.
Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka sampai
juga di puncak Sinabung. Perjuangan yang mereka lakukan sudah terbayar dengan
keindahan alam. Tampak dengan jelas sekali kerlap-kerlip lampu kota Medan,
kerlap-kerlip lampu kota Berastagi. Bagaikan ribuan kunang-kunang yang
beterbangan. Dan cahaya bulan cukup terang, ditambah dengan kerlipan bintang
yang berserakan di lagit gelap sana, menambah keindahan alam yang tak mungkin
bisa dilihat dari jendela kamar.
“Kita sudah sampai dik, selamat datang di puncak
Sinabung!” ucap Ando, sambil membentangkan tangannya. Sudah kebiasaan Ando,
dengan gayanya yang khas ia pun melepaskan baju, lalu menghisap rokoknya setiap
sampai di puncak.
“Ya Allah, Subhanallah, indah sekali ciptaa-Mu
Tuhan. Tak pernah aku bayangkan seperti ini.” kagum Wika, saat ia merasakan
keindahan yang luar biasa di atas puncak. “Indah ya dik? Itu makanya dik, abang
selalu merindukan momen seperti ini, yang pastinya enggak akan abang dapatkan
di kota sana.” Ujar Ozi sambil mendekati Wika.
“akhirnya kita sampai juga di puncak. Woooiii!”
teriak Dido. ” yess, aku akhirnya bisa kita tebus kerinduan ini.” sahut Lena.
Dan kami pun saling tos satu sama lain, lalu
berpelukan bersama-sama sebagai tanda “semua itu karena kebersamaan kami”. Lalu
mereka mendirikan tenda, karena dinginnya luar biasa, sambil menunggu sinar
mentari yang akan menghangatkan tubuh mereka.
“Udah berdiri nih tendanya, sini woi masuk! Jadi
patung es nanti kalian di luar sana” ajak Lena menyuruh mereka masuk. “ok Len,
yuk masuk dik, nanti kita lihat lagi dik, saat sang surya menyambut kita” ucap
Ozi dan mengajak Wika masuk ke dalam tenda.
“tunggu-tunggu dulu, kita foto bareng dulu bang!
Dengan background lampu kota Medan, bang Ando tolong ambilin foto kami dong”
ujar Wika, sambil mengeluarkan kamera pocket di kantong kecil carielnya, dan ia
pun memanggil Ando, “Ok bisa” sahut Ando cepat. Dan mereka pun mengabadikan
momen itu difoto.
Lalu mereka masuk ke dalam tenda, menunggu
sunrise seperti pendaki-pendaki lainnya. Untuk menghangatkan tubuh, Dido pun
menyuguhkan teh dan beberapa potong roti tawar yang sudah diolesi selai untuk
yang lainnya.
Waktu terus berlalu, momen yang dinantikan pun
muncul. Sang surya sedikit malu tertutup awan tipis, Sinar orangenya yang
kekuning-kuningan membelah kesepian di awan ufuk timur.
“heey, lihat! Sunrise.” teriak Ando dari luar
Tenda. “sudah bangkitkah sang raja siang” sahut Lena. Mereka pun segera keluar.
“oh my God, amazing” kagum Wika yang kesekian
kalinya, ia pun duduk manis menatap kelembutan sinar raja siang. “cantik dik,
mataharinya? Oh, ya boleh abang duduk?” Ozi pun duduk di samping Wika. “iya
bang, cantik sekali. Tentu aja boleh, sini duduk bang.” sahut Wika, sambil
menggeser duduknya.
Dido, Ando, Dan Lena, mereka mengambil foto
bergantian berlatar belakang Sunrise. Dan aku duduk manis bersama gadis
kecilku.
“Bang Ozi, Wika, senyum dong! Biar aku ambil foto
kalian berdua” teriak Lena, sembari mengarahkan kameranya mengarah Ozi dan
Wika. “ok, sipp” jawab mereka serentak”. Mereka berdua pun difoto oleh Lena,
dengan senyum terbaik yang mereka berikan.
“Oh ya bang, ada sesuatu untukmu, ini udah aku
siapkan waktu kita mau berangkat. Tunggu bentar ya?”, “Apa itu dik?” , “lihat
aja deh.” Wika pun masuk ke tenda untuk mengambil sesuatu.
“Buka bang kadonya!” ucap Wika, “apaan nih dik?”
aku sedikit bingung, dan membuka kado itu. Oh, ternyata tas pinggang Eiger. Tas
pinggang salah satu asesoris yang Ozi sukai.
“Hei dik, kamu kenapa tau abang suka tas
pinggang?” tanya Ozi heran. “ada deh, mau tau aja. Hehe, tapi abang suka kan?”,
“iya abang suka sekali, tapi kan ini mahal?”, “santai aja lagi bang” sahut Wika
enteng.
Ozi sungguh terkejut saat gadis kecil itu membuat
suprise di puncak, sungguh tak bisa dilupakan bagi Ozi. Ia hanya diam, menatap
bening mata yang jeli, pipi yang putih bak pualam, hidung yang tak terlalu
mancung, dan bibir yang tipis, semua indah menyatu di wajah Wika.
“bang Ozi, abang enggak ada yang mau diucapkan
untukku, mengenai perasaan abang?” ucap Wika, dan menatap serius mata Ozi. “a..
a pa ya?” jawab Ozi gugup. Ozi mulai mengerti perasaan Wika terhadapnya, tapi
baginya tidak mungkin mengucapkan ‘I love U’, lalu nembak, terus jadian, dan
akhirnya pacaran. Tidak, tidak mungkin itu terjadi. Ya Tuhan tolong hamba-Mu, tunjukkan
jalan yang lurus” bisik Ozi dalam hati.
“Bang Ozi, tau enggak sebenarnya aku menunggu
ucapan yang terindah dari mulutmu bang?”
“Dik, kamu masih terlalu muda untuk memahami
cinta, di usia muda sepertimu, kamu akan kesulitan memahami cinta. Bukan
berarti abang melarangmu untuk mencintai seseorang, walaupun itu termasuk diri
abang. Dan abang mengerti benar, mencintai dan saling mencintai itu manusiawi
sekali, cinta juga tak bisa ditolak ketika ia singgah di hati manusia. Tetapi
dik, kamu juga bisa menyesuaikan dengan keadaanmu, karena cinta yang
sesungguhnya tidak seperti yang kamu bayangkan, cinta itu bukan sekedar kata ‘I
love U’, lalu jadian, setelah itu pacaran, bukan dik, bukan itu, jauh seperti
yang kamu bayangkan. Cinta itu hanya dalam ikatan pernikahan dik” Ozi
menjelaskan panjang lebar pada Wika.
“Aku mengerti bang, walaupun saat ini masih belum
bisa aku terima.” sahut Wika dengan wajah sedih.
“ada yang lebih penting dari semua itu dik, yaitu
pelajaranmu, karena pelajaranmu ini adalah masa depanmu, jadi bukan cowok masa
depan itu. So, kalau mau sedih, sedih karena pelajaran bukan sedih karena
cowok, hehe. Yuk gabung sama yang lain!” ujar Ozi sambil berdiri.
“Wika, andai kamu tau sebenarnya hati ini, kamu
mungkin tak sedih seperti ini” gumam Ozi dalam hati.
“iya bang, yuk bareng mereka” sahut wika. Dan
mereka berdua pun bergabung dengan yang lain, lalu mereka berlima mengabadikan
momen-momen di puncak Sinabung dengan foto narsis mereka. Wika kembali
menggariskan senyum, bening matanya yang berkaca-kaca tadi pun telah hilang.
Kini ia tertawa bersama teman-teman yang lain.
“Laper nih, masak mie yuk!” ajak Lena. “Kali ini
yang masak jangan aku lagi ya?” sahut Dido, sambil berpose yang difoto oleh
Ando.
“iya, tenang aja, aku yang masak ko’ sama Wika,
iya kan dik?” sahut Lena. “siip kak” jawab Wika. Mereka pun mulai memasak mie.
Beberapa menit kemudian, mie yang dimasak Lena
dan Wika akhirnya siap untuk disajikan. “Abang-abang, mari sini, udah masak nih
mie” teriak Lena. “wah, cepat bener.” sahut Dido, Ando dan Ozi, lalu mereka pun
menuju tenda. Segera mereka lahap mie buatan Lena, karena perut sudah lapar.
Tiba-tiba hp Ozi berbunyi, tanda sms masuk, lalu
ia membacanya. “Ozi, kalau sudah selesai mendaki, langsung pulang ke rumah ya?
Karena pernikahanmu dengan Zahra dipercepat. Ini semua karena memenuhi
permintaan Ayah Zahra yang meninggal beberapa hari yang lalu. Dan keluarga
zahra sekarang di rumah.”
“Innalillahi Wa inna Ilaihi Roji’un, Ayah Zahra
meninggal.” Ucap Ozi sedih. Tanpa ia sadari hpnya terlepas dari genggamannya.
Lalu Wika membaca sms itu karena penasaran.
“Zahra siapa bang?” tanya Wika penasaran. “Zahra
itu saudara jauh abang, dan kami telah dijodohkan setahun yang lalu, oleh kedua
orangtua kami.” Jelas Ozi.
Kembali mata Wika berkaca-kaca, lalu air matanya
pun mengambang di pipinya. “Jadi bang, kamu akan segera menikah dengannya?” tanya
Wika sambil menangis. Dan Lena pun mengelus-elus kepala Wika sembari berucap
“sabar ya dik, kamu harus kuat!”, “Iya dik, kamu haru bisa” dukung Dido dan
Ando.
“Abang juga enggak tau dik, bagaimana ke
depannya. Semua abang serahkan pada Allah, abang hanya mengikuti skenario saja.”
Jawab Ozi. Mendengar jawaban Ozi, Wika pun keluar tenda dan berlari ke tepi
jurang. Lalu Ozi mengejarnya untuk membuatnya tenang.
“Dik, kamu harus paham, apapun terjadi dalam
hidupmu, itu adalah yang terbaik untukmu. Tinggal saja bagaimana kamu
menghadapinya dan belajar dari kesalahan yang lalu.” Ozi menjelaskan sambil
menghapus air mata Wika yang menetes di pipinya dengan tissue.
“tapi bang, apakah kita bisa berkomunikasi lagi?
Kalau abang sudah menjadi suaminya” tanya Wika. “Ya tentu boleh dik, kak Zahra
perempuan yang baik. Nanti abang kenalkan sama kamu.”
“Iya bang” ucap Wika dengan senyumnya yang
terpaksa. “Nah, begitu dong, jadi anak yang baik ya” Ucap Ozi sambil mengelus
rambutnnya. “Iya bang, semoga aku kuat.”
Tak terasa, sinar matahari pun mulai memanas. Waktu
menunjukkan pukul 10:30, mereka pun harus kembali turun, karena kerinduan
mereka telah terbayarkan.
“Oi.. Bang Ozi, Wika, turun yuk!’ udah panas nih”
teriak Lena dari tenda. “ok, sipp” jawab Ozi.
“Oh ya bang, mungkinkah kita bisa mendaki bersama
lagi?” tanya Wika. “Kenapa enggak. Ya bisa lah. Ya udah yuk kita siapkan
barang-barang kita, biar kita turun.” Jawab Ozi sambil tersenyum. “Oke deh
bang” jawab Wika sambil memainkan matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar