Jumat, 01 Mei 2015



Bercermin, Namun Menutup Mata
Oleh; Elgi Nurfalahi
            Di pagi hari yang cerah itu jam telah menunjukkan pukul tujuh, para pelancong mulai berdatangan, satu persatu  langkah  kaki terdengar lalu keramaian mewarnai tempat pertemuan. Kresna merupakan tempat persinggahan para pelancong yang berada di jawa timur, Ruangan bangunannya masih berarsitekturkan zaman penjajahan belanda sehingga tampak suasana seperti tempo dulu. Ujang memperhatikan ruang pertemuan tersebut, tak ada sofa dan juga pendingin ruangan, yang ada hanyalah  hamparan  karpet hijau dan dinding-dinding yang kecoklatan.
            Keringat bercucuran di sekujur tubuh Ujang, padahal daerah itu berada di sekitar dataran tinggi, sedikit aneh tapi ini bukan karena suasana, namun ini mungkin karena jarak yang jauh untuk di jangkau dengan sekejap mata, beruntung ujang memiliki sepeda sewaan di sana, seketika waktu sudah hampir habis ia mengayuh sepedanya dengan kecepatan melebihi kecepatan angin, jalanan yang sepi semakin membuat Ujang menambahkan kecepatannya sehingga ketika sampai di tempat perkumpulan Ujang menghasilkan banyak cucuran keringat dari tubuhnya.
Seperti miniatur Negara kesatuan republik Indonesia yang kaya akan bahasa dan budaya. Para pelancong itu masing-masing datang dari daerah yang berbeda-beda, di pojok kiri percakapan khas orang-orang Sumatra yang fals menutupi sinar mentari pagi dari jendela, cengklokan-cengklokan bahasa jawa yang mendominasi terdengar ramai dan asik berbincang-bincang bersama, kekerasan-kekerasan yang terdengar seperti pertengkaran itu mengecoh pendengarnya bagi yang tidak biasa mendengarnya, namun itu merupakan logak khas orang Kalimantan dan penduduk asli papua yang seperti itu, di bagian depan ruangan kelihatan sekumpulan orang-orang sunda mulai memasuki ruangan, logat mereka terlihat kalem kalau terdengar ketika mengobrol.
            Ujang merupakan pemeran yang mewakili para pelajar, pada perkumpulan tersebut Ujang dan Kawan-kawan akan bermain peran, dalam ruangan itu semua yang berada di dalam ruangan dibagikan ke beberapa kelompok yang berbeda, dalam forum perkumpulan tersebut jenis perannya adalah sebagai perwakilan seputar orang-orang yang berperan dalam dunia pendidikan, yaitu pemerintah, kementerian, sekolah, orang tua sampai pelajar. Lalu Ayu di tunjuk sebagai pemeran Orang tua, Dea berperan sebagai Perwakilan Pihak sekolah, Banmbang yang menjadi Pemerintah, dan Tito sebagai pihak Kementerian.
            Dunia pendidikan merupakan  pokok perbincangan Ujang dan kawan-kawan di ruangan itu, satu persatu perbincangan pun di awali oleh Orang tua “Mereka merupakan harapan kami, untuk agamanya, bangsanya, dan Negaranya. menjadikan mereka soleh merupakan tujuan kami, yang kami inginkan adalah menjadikan mereka bermoral dan berakhlak, karena  kebahagiaan kami adalah kebahagia mereka”  ujar Ayu sebagai pemeran perwakilan orang tua dalam diskusi.
            “Sebenarnya para pelajar datang ke sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas pengetahuan dan tingkat  pendidikannya, pada umumnya menjadikan pelajar cerdas dan berwawasan merupakan tujuan utama setiap sekolah. Kami bahagia apabila setiap pelajar bisa menjadi sukses, maka pesan kami untuk pelajar apabila sukses nanti jangan lupakan sekolah sebagai tempat awal kalian berjuang. Gapailah mimpi kalian dan raihlah cita-cita“. Seperti itulah kata-kata pemeran perwakilan sekolah yang di sampaikan Dea, sontak suara tepuk tangan  meramaikan ruangan.
            Ujang sudah tidak sabar lagi untuk berbicara di hadapan forum, tapi kesempatannya selalu terpotong oleh perwakilan lain, karena hal itu lalu Ujang terus memperhatikan dan menilai, berbeda dengan yang lain dari sejak awal forum yang terus di bakar semangatnya oleh para perwakilan ujang malah terdiam dan sedikit menggelengkan kepada.
            Seakan menimbulkan persaingan yang sengit di dalam ruangan, lalu pemeran perwakilan kementerian yang di perankan Tito menunjukkan pesannya di hadapan forum  “mengatur sistem pendidikan merupakan tugas yang selama ini kami emban, tentunya hal tersebut dalam rangka menjadikan pelajar bangsa indonesia setingkat kualitasnya dengan Negara-negara maju di dunia. Marilah kita tingkatkan kualitas pendidikan bangsa indonesia“ bagaikan korek api yang memicu bensin, suara tepuk tangan bergemuruh bersamaan, lalu ruangan pun menjadi ramai.
            Dia berdiri tegak dan mengangkat tangannya, pemeran perwakilan pemerintah itu adalah bambang, hampir perawakannya seperti bapak presiden Indonesia, tinggi dan sedikit gemuk   “ kami ingin, generasi bangsa indonesia bisa menjadikan Negeri ini maju, dengan harapan kepada kalian wahai generasi penerus bangsa, teruslah belajar raihlah mimpi-mimpi kalian dan berjuanglah untuk Negara dalam mewujudkan Negara yang berdaya saing yang kuat dan kompeten”. Gemuruh semangat berkobar-kobar memenuhi ruangan, seolah masa depan yang cerah berada di depan mata. Tidak di sangka semangat para pelancong bisa menggetarkan ruangan,  tawa dan senyuman saling bergantian menghiasi forum di pagi itu.
            Hampir semua perwakilan sudah menyampaikan argumen dan kata-kata motivasinya, akhirnya Ujang mendapat kesempatan berdiri di hadapan forum, seraya menyatakan “Lalu mengapa yang terjadi malah cenderung peningkatan tindak tauran, pergaulan bebas dan kekerasan di dunia pelajar?”. Ujang memperkeruh suasana, “itu merupakan kesalahan pelajar yang tidak mau di didik” jawab bambang dengan tenangnya sambil megelus janggutnya yang jarang, sontak Ayu berdiri dari tempat duduknya karena tidak terima dengan pernyataan bambang yang sedikit menjurus menyalahkan orang tua dan pelajar. Suara lantang Ayu membuat hening suasana, sambil memasang muka yang penuh belas kasih Ayu mengutarakan bahwa kesalahan bukan sepenuhnya  milik pelajar dan orang tua, tapi ada faktor pemerintah, sekolah, kementerian dan pihak lainnya yang menurut Ayu menyebabkan hal negatif terjadi terhadap pelajar.
Para pelancong sejenak terdiam dan sedikit menganggukkan kepala, sedikit merasa tapi Seolah tidak mau di jadikan kambing hitam yang selalu diam,  Dea tidak diam setelah itu, ia merasa benar lalu membela diri dengan dalihnya, dia mengalihkan tanggung jawab kesalahan pelajar kepada orang tua karena pembentukan akhlak dan karakter merupakan tanggung jawab orang tua sepenuhnya dan sekolah hanya berperan dalam sisi Akademiknya saja. Tak tahan dengan  perseteruan tersebut, bambang angkat bicara untuk membela dirinya dia menilai sistem pendidikanlah yang mestinya terus di perbaiki, namun kurikulum pun tidak mesti terlalu sering juga untuk di gonta-ganti, karena bentuk penyampaian bambang yang terlihat keras dengan suara yang agak tinggi, Tito merasa tersinggung namun dia hanya diam saja.
Jam yang menempel di dinding ruangan pertemuan itu pun ingin segera melerai perseteruan mereka, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul Sembilan, jarum jam yang sudah lelah menyaksihkan mereka, memberikan tanda perpisahan dengan memberikan suara tanda pukul sembilan, para pelancong berikutnya sudah menunggu di depan ruang pertemuan yang Ujang dan kawan-kawan pakai, di pukul Sembilan sudah waktunya untuk keluar, seakan tidak mengenal habis waktu yang di tentukan mereka masih bertahan di ruangan, namun  karena di waktu berikutnya giliran para pelancong baru  yang memakai ruangan itu, raut kegelisahan terlihat mengelilingi pintu ruangan,  tanpa basa-basi akhirnya perdebatan di akhiri, seperti diskusi yang panjang dan abadi sambil keluar dari ruangan masih diantara mereka berdiskusi.
Sudut ruangan berbicara Ujang terdiam dan merenung akan perseteruan yang terjadi di ruangan itu, pada awalnya masing-masing perwakilan banyak menyatakan hal yang baik, ingin meningkatkan kualitas pendidikan dan memajukan bangsanya,  namun apa yang terjadi di forum tersebut malah perseteruan yang terjadi, mereka saling tembak kanan dan tembak kiri, berlindung di punggung kawan setelah melempar bom waktu kedalam ruangan yang penuh dengan generasi muda Negara ini, pada hakikatnya kesadaran ada pada diri setiap pribadi, namun tidak banyak ketidakpedulian justru sebab hambatan dalam menjadikan tujuan yang hakiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar