Bercermin, Namun Menutup Mata
Oleh; Elgi Nurfalahi
Di pagi
hari yang cerah itu jam telah menunjukkan pukul tujuh, para pelancong mulai
berdatangan, satu persatu langkah kaki terdengar lalu keramaian mewarnai tempat
pertemuan. Kresna merupakan tempat persinggahan para pelancong yang berada di
jawa timur, Ruangan bangunannya masih berarsitekturkan zaman penjajahan belanda
sehingga tampak suasana seperti tempo dulu. Ujang memperhatikan ruang pertemuan
tersebut, tak ada sofa dan juga pendingin ruangan, yang ada hanyalah hamparan karpet hijau dan dinding-dinding yang
kecoklatan.
Keringat
bercucuran di sekujur tubuh Ujang, padahal daerah itu berada di sekitar dataran
tinggi, sedikit aneh tapi ini bukan karena suasana, namun ini mungkin karena
jarak yang jauh untuk di jangkau dengan sekejap mata, beruntung ujang memiliki
sepeda sewaan di sana, seketika waktu sudah hampir habis ia mengayuh sepedanya
dengan kecepatan melebihi kecepatan angin, jalanan yang sepi semakin membuat
Ujang menambahkan kecepatannya sehingga ketika sampai di tempat perkumpulan Ujang
menghasilkan banyak cucuran keringat dari tubuhnya.
Seperti miniatur Negara kesatuan republik Indonesia yang
kaya akan bahasa dan budaya. Para pelancong itu masing-masing datang dari
daerah yang berbeda-beda, di pojok kiri percakapan khas orang-orang Sumatra
yang fals menutupi sinar mentari pagi dari jendela, cengklokan-cengklokan
bahasa jawa yang mendominasi terdengar ramai dan asik berbincang-bincang
bersama, kekerasan-kekerasan yang terdengar seperti pertengkaran itu mengecoh
pendengarnya bagi yang tidak biasa mendengarnya, namun itu merupakan logak khas
orang Kalimantan dan penduduk asli papua yang seperti itu, di bagian depan
ruangan kelihatan sekumpulan orang-orang sunda mulai memasuki ruangan, logat mereka
terlihat kalem kalau terdengar ketika mengobrol.
Ujang
merupakan pemeran yang mewakili para pelajar, pada perkumpulan tersebut Ujang
dan Kawan-kawan akan bermain peran, dalam ruangan itu semua yang berada di dalam
ruangan dibagikan ke beberapa kelompok yang berbeda, dalam forum perkumpulan
tersebut jenis perannya adalah sebagai perwakilan seputar orang-orang yang
berperan dalam dunia pendidikan, yaitu pemerintah, kementerian, sekolah, orang
tua sampai pelajar. Lalu Ayu di tunjuk sebagai pemeran Orang tua, Dea berperan
sebagai Perwakilan Pihak sekolah, Banmbang yang menjadi Pemerintah, dan Tito
sebagai pihak Kementerian.
Dunia pendidikan
merupakan pokok perbincangan Ujang dan
kawan-kawan di ruangan itu, satu persatu perbincangan pun di awali oleh Orang
tua “Mereka merupakan harapan kami, untuk agamanya, bangsanya, dan Negaranya.
menjadikan mereka soleh merupakan tujuan kami, yang kami inginkan adalah menjadikan
mereka bermoral dan berakhlak, karena kebahagiaan
kami adalah kebahagia mereka” ujar Ayu sebagai
pemeran perwakilan orang tua dalam diskusi.
“Sebenarnya
para pelajar datang ke sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas pengetahuan
dan tingkat pendidikannya, pada umumnya menjadikan
pelajar cerdas dan berwawasan merupakan tujuan utama setiap sekolah. Kami
bahagia apabila setiap pelajar bisa menjadi sukses, maka pesan kami untuk
pelajar apabila sukses nanti jangan lupakan sekolah sebagai tempat awal kalian
berjuang. Gapailah mimpi kalian dan raihlah cita-cita“. Seperti itulah
kata-kata pemeran perwakilan sekolah yang di sampaikan Dea, sontak suara tepuk
tangan meramaikan ruangan.
Ujang sudah
tidak sabar lagi untuk berbicara di hadapan forum, tapi kesempatannya selalu
terpotong oleh perwakilan lain, karena hal itu lalu Ujang terus memperhatikan
dan menilai, berbeda dengan yang lain dari sejak awal forum yang terus di bakar
semangatnya oleh para perwakilan ujang malah terdiam dan sedikit menggelengkan
kepada.
Seakan menimbulkan
persaingan yang sengit di dalam ruangan, lalu pemeran perwakilan kementerian
yang di perankan Tito menunjukkan pesannya di hadapan forum “mengatur sistem pendidikan merupakan tugas yang
selama ini kami emban, tentunya hal tersebut dalam rangka menjadikan pelajar
bangsa indonesia setingkat kualitasnya dengan Negara-negara maju di dunia. Marilah
kita tingkatkan kualitas pendidikan bangsa indonesia“ bagaikan korek api yang
memicu bensin, suara tepuk tangan bergemuruh bersamaan, lalu ruangan pun
menjadi ramai.
Dia berdiri
tegak dan mengangkat tangannya, pemeran perwakilan pemerintah itu adalah
bambang, hampir perawakannya seperti bapak presiden Indonesia, tinggi dan
sedikit gemuk “ kami ingin, generasi bangsa indonesia bisa
menjadikan Negeri ini maju, dengan harapan kepada kalian wahai generasi penerus
bangsa, teruslah belajar raihlah mimpi-mimpi kalian dan berjuanglah untuk
Negara dalam mewujudkan Negara yang berdaya saing yang kuat dan kompeten”.
Gemuruh semangat berkobar-kobar memenuhi ruangan, seolah masa depan yang cerah
berada di depan mata. Tidak di sangka semangat para pelancong bisa menggetarkan
ruangan, tawa dan senyuman saling
bergantian menghiasi forum di pagi itu.
Hampir
semua perwakilan sudah menyampaikan argumen dan kata-kata motivasinya,
akhirnya Ujang mendapat kesempatan berdiri di hadapan forum, seraya menyatakan “Lalu
mengapa yang terjadi malah cenderung peningkatan tindak tauran, pergaulan bebas
dan kekerasan di dunia pelajar?”. Ujang memperkeruh suasana, “itu merupakan
kesalahan pelajar yang tidak mau di didik” jawab bambang dengan tenangnya
sambil megelus janggutnya yang jarang, sontak Ayu berdiri dari tempat duduknya
karena tidak terima dengan pernyataan bambang yang sedikit menjurus menyalahkan
orang tua dan pelajar. Suara lantang Ayu membuat hening suasana, sambil
memasang muka yang penuh belas kasih Ayu mengutarakan bahwa kesalahan bukan
sepenuhnya milik pelajar dan orang tua, tapi
ada faktor pemerintah, sekolah, kementerian dan pihak lainnya yang menurut Ayu
menyebabkan hal negatif terjadi terhadap pelajar.
Para pelancong sejenak terdiam dan sedikit menganggukkan
kepala, sedikit merasa tapi Seolah tidak mau di jadikan kambing hitam yang
selalu diam, Dea tidak diam setelah itu,
ia merasa benar lalu membela diri dengan dalihnya, dia mengalihkan tanggung jawab
kesalahan pelajar kepada orang tua karena pembentukan akhlak dan karakter
merupakan tanggung jawab orang tua sepenuhnya dan sekolah hanya berperan dalam
sisi Akademiknya saja. Tak tahan dengan
perseteruan tersebut, bambang angkat bicara untuk membela dirinya dia
menilai sistem pendidikanlah yang mestinya terus di perbaiki, namun kurikulum
pun tidak mesti terlalu sering juga untuk di gonta-ganti, karena bentuk
penyampaian bambang yang terlihat keras dengan suara yang agak tinggi, Tito merasa
tersinggung namun dia hanya diam saja.
Jam yang menempel di dinding ruangan pertemuan itu pun ingin
segera melerai perseteruan mereka, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul
Sembilan, jarum jam yang sudah lelah menyaksihkan mereka, memberikan tanda
perpisahan dengan memberikan suara tanda pukul sembilan, para pelancong
berikutnya sudah menunggu di depan ruang pertemuan yang Ujang dan kawan-kawan
pakai, di pukul Sembilan sudah waktunya untuk keluar, seakan tidak mengenal
habis waktu yang di tentukan mereka masih bertahan di ruangan, namun karena di waktu berikutnya giliran para
pelancong baru yang memakai ruangan itu,
raut kegelisahan terlihat mengelilingi pintu ruangan, tanpa basa-basi akhirnya perdebatan di
akhiri, seperti diskusi yang panjang dan abadi sambil keluar dari ruangan masih
diantara mereka berdiskusi.
Sudut ruangan berbicara Ujang terdiam dan merenung akan perseteruan
yang terjadi di ruangan itu, pada awalnya masing-masing perwakilan banyak menyatakan
hal yang baik, ingin meningkatkan kualitas pendidikan dan memajukan bangsanya, namun apa yang terjadi di forum tersebut malah
perseteruan yang terjadi, mereka saling tembak kanan dan tembak kiri,
berlindung di punggung kawan setelah melempar bom waktu kedalam ruangan yang
penuh dengan generasi muda Negara ini, pada hakikatnya kesadaran ada pada diri
setiap pribadi, namun tidak banyak ketidakpedulian justru sebab hambatan dalam
menjadikan tujuan yang hakiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar