Jumat, 01 Mei 2015

MATA-MATA



MATA-MATA
Oleh : Ummu Khoiroh Niswatun Ningsih
(1113046000161)
“Kamu tau nggak Jan, siapa mata-mata Bu Yusi di kelas kita?” tanya Dewi yang duduk di bangku paling kanan nomor dua dari depan.
“S i Catur ketua kelas kita kali. Dia kan sering banget ketemu Bu Yusi buat ngasihin absensi kegiatan,” Rinjani menyahut sambil tetap menyantap makanan ringan yang dibelinya dari kantin sekolah.
“Kalau menurut kamu, Ka?” tanya Dewi sambil menghampiri Apika.
“Ah, Mana aku tahu. Tapi intinya tega banget tuh orang yang mau jadi mata-mata Bu Yusi. Mau dikeroyok sama anak sekelas apa? Awas aja kalau ketahuan.” ancam si Apika si super bawel di kelas XII IPS 3 ini.
 Tak ada satu kata pun yang hilang dari telingaku tentang semua pembicaraan mereka. Kebetulan aku sedang membaca catatan untuk mata pelajaran setelah istirahat. Jadi dengan sengaja aku pun menyimak pembicaraan mereka. Sama seperti mereka. Penasaran. Teringat kembali dalam pikiranku tentang kata-kata Bu Yusi kemarin malam, saat kami mengadakan acara rutin mingguan makan bersama di kedai “Kopi Rasta” yang kebetulan pemiliknya adalah salah satu guru di sekolah kami.
“Seperti yang kalian ketahui, di sekolah kita ini sudah mulai tidak kondusif lagi. Banyak yang melanggar peraturan walau sudah sering ibu peringatkan. Ada yang membawa benda tajam, ada yang keluar masuk kamar mandi secara bersamaan padahal mereka berbeda jenis. Kalian tahu kan bahwa pergaulan harus berbatas. Yang paling memprihatinkan adalah peristiwa bereddarnya foto-foto setengah telanjang dari kelas kita. Peraturan dibuat untuk ditaati bukan untuk dilanggar! Ibu kecewa pada kalian semua. Dan tolong pikirkan kata-kata ibu tadi!.”
Semua diam mendengar ceramah singkat Bu Yusi di kedai yang selalu kita sewa tiap hari Kamis malam. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Mungkin sama seperti aku yang sedang merenungi semua pelanggaran yang pernah kulakukan. Kecuali melihat foto-foto Novi yang setengah telanjang yang menjadi buah bibir terhangat di sekolah kami. Belum sampai semua sadar dengan lamunannya masing-masing, Bu Yusi melanjutkan ceramahnya tadi.
“Sebagai wali kelas di kelas ini, ibu minta maaf tidak bisa membantu kalian secara langsung dan terus menerus.” Semua terlihat lega dan sedikit menyunggingkan senyum kemenangan pertanda kebebasan akan segera dimulai begitu juga aku.
“Untuk itu, ibu akan pilih dua orang diantara kalian yang akan menjadi mata-mata di kelas XII IPS 3. Tapi hanya ibu dan dua orang itu yang tahu. Jangan pernah kalian berpikir dua orang itu terbebas dari pantauan, karena satu sama lain dari mereka pun tidak saling tahu. Jadi sebenarnya mereka berdua juga saling memata-matai. Ibu harap kalian mengerti.” Lagi- lagi semua diam saling memandang seakan-akan ada pertanyaan yang sama dari tiap sorot mata mereka.
“Orang itu kamu ya?” dan bagi mereka yang mendapat tatapan aneh seakan tersirat jawaban “Bukan! Bukan aku...sumpah.” setelah peristiwa makan malam bersama, gosip tentag mata-mata Bu Yusi terus berkembang seakan menjadi alasan untuk saling tuduh dan mencurigai.
“Aneh...” batinku “Mereka berubah” tatapan mereka membuatku tersudut seakan ada tuduhan kejam untukku.
Kusandarkan kedua bahuku di punggung kursi tempat aku duduk minggu ini, di sekolah kami tiap hari senin diadakan pemindahan tempat duduk untuk semua kelas. Hampir saja aku lupa akan sesuatu yang sangat penting. Aku lupa membawa Modul Geografi dan aku harus segera meminjamnya dari kelas lain. Aku bergegas ke kelas Meta. Kelasnya berhadapan dengan kelasku. Ketika aku memanggilnya, ada perasaan aneh dan nggak nyaman menyelinap dalam hatiku.
“Mau apa kamu?” tanya Meta sinis hingga membuyarkan lamunanku. Hanya suaranya saja yang aku terima. Seakan-akan dia tak mau melihatku. Aku mendengar temannya berbisik-bisik nggak jelas. Tapi aku yakin korban pembicaraan mereka adalah aku
“Met, aku mau pinjem Modul Geografi kamu. Boleh nggak?”
“Nggak boleh buat kamu!” katanya sambil bergegas pergi dari tempat duduknya dan keluar dari kelas. Aku takut mengambil Modul Geografinya yang tergeletak begitu saja di atas mejanya. Aku tak menyerah.
“Ika...Ika...pinjemin Modul Geografi kamu dong!” kataku sambil berlari mengejar Ika yang terlihat melintas di depan kelas Meta. Yang sepertinya hendak menuju kantin. Ika menengok sedikit.
“Ada apa? Mau apa kamu?” katanya sinis.
“Mau pinjem Modul Geografi kamu. Boleh kan?”
Kukuatkan hatiku menerima muka Ika yang aku yakin dia tidak akan mempersembahkan modulnya untukku. Dan aku makin yakin pasti jawaban yang akan meluncur dari mulut Ika nggak jauh beda dari Meta tadi.
“Nggak boleh buat kamu!”. Tepat sekali dugaanku. Aku tetap tak putus asa. Kutegur beberapa teman yang sekelas dengan Meta dan Ika dengan tujuan yang sama. Tapi hasilnya nihil. Aku mendapat perlakuan yang sama juga jawaban yang sama. Bahkan ada yang tega mengeluarkan sindiran-sindiran pedas yang aku sendiri nggak tahu apa maksud sindiran itu. Kini aku bena-benar kesal. Kuurungkan niat pinjam buku milik teman-teman dari kelas XII IPS 5, juga milik teman-teman yang sering nongkrong denganku di kedai kopi tiap pulang sekolah yang perlakuannya nggak jauh beda dengan yang lain. Kecuali Nindi yang duduknya tepat di sebelahku. Dia masih punya hati. Dia bersedia berbagi Modul Geografi saat pelajaran berlangsung.
***
“Aku salut sama kamu...kamu...semua. Ternyata kamu bisa juga menahan orang daerah itu biar nggak dapet pinjeman Modul Geografi. Kita mesti hati-hati sama dia! Jangan sampai dia mendapatkan modul kalian semua, cuma alasan dia buat memata-matai kita. Itu pun juga kalau kamu semua emang nggak mau dilaporkan ke Bu Yusi.” Apika memprovokasi semua anak-anak di kelas dengan sempurna. Dan bodohnya semua tesihir oleh bualan Apika si cerewet parah.
“Iya benar... dia udah mulai aneh, makanya mumpung nggak ada orangnya aku sama Apika kasih tahu kamu semua bahwa Aulia, orang daerah itu mata-mata Bu Yusi. Kurang baik apa coba?” Rinjani dengan semangat membara menguatkan peryataan Apika.
“Nggak mungkin. Aku tahu Aulia seperti apa, dia teman sebangku, teman sekelasku dai kelas X sampai kelas XII. Dia bukan tipe orang yang bisa dijadikan mata-mata. Percaya deh sama aku! Di kelas pun dia nggak aneh-aneh sama sekali kan? Biasa aja kok.” Nindi menyanggah mentah-mentah provokasi Apika dan Rinjani.
“Terus siapa dong?” tanya Apika penasaran yang juga di”iya”kan oleh seluuh peserta ngerumpi.
“Mana aku tahu. Yaudah sih nggak usah dibahas lagi. Yang terpenting mulai sekarang kita harus belajar untuk menaati peraturan. Jadi, ada nggaknya mata-mata di sini nggak akan ngaruh buat kita. Buat apa juga ngabisin waktu ngomongin, kalau nggak jelas gini.” kata Nindi lagi. Dia nggak rela lihat temannya difitnah, diperlakukan tidak adil, bahkan dijadikan sebagai gunjingan.
***
Selang beberapa hari setelah perang argumen antara Apika, Rinjani, dan Nindi, perkumpulan antara ketua dan wakilnya alias Apika dan Rinjani serta semua anggotanya termasuk Nindi berlangsung kembali. Aku yang baru saja selesai mengerjakan tugas di taman sekolah, tempat berkumpulnya siswa-siswi yang membutuhkan untuk me-refresh pikirannya, ingin ikut nimbrung di kerumunan mereka. Aku merasa aneh karena pintu kelas tertutup rapat. Baru aku memegang gagang pintu hendak masuk, aku mendengar sesuatu.
“Sekarang aku yakin mata-mata itu adalah Dita dan Aulia. Aku udah melakukan penelitian. Bu Yusi setiap hari ketemu dengan si Dita dan Aulia. Mereka orang daerah. Sifat orang daerah itu tunduk dan patuh. Selain itu Aulia juga jarang melakukan pelanggaran.”
Aku kaget mendengar semua itu. Kuurungkan niatku bergabung dengan kerumunan mereka yang terlihat jelas dari jendela kelas yang besar. Tubuh ini serasa tak bertulang lagi. Aku baru mendapat jawaban atas anehnya perlakuan mereka padaku.
“Kenapa sih kalian semua masih aja ngomongin masalah nggak jelas ini? Terutama kamu... dan kamu...!” Nindi menunjuk Rinjani dan Apika. Tak tahan, dia pun pindah dari tempat kerumunan itu.
Aku senang mendengar sanggahan Nindi yang masih mau membelaku. Dan kini aku memberanikan diri untuk masuk ke kelas yang tertutup rapat itu.
“Lagi pada ngomongin apa sih? Ikutan dong.” Aku membaur dengan mereka dan pura-pura nggak tahu.
“Ngomongin kamu!” kata Apika ketus.
“Udah deh kamu ngaku aja! Kamu kan mata-mata Bu Yusi itu? Iya kan?!”
“Iya ngaku aja kamu!” semua serentak menyudutkankudan menguatkan tuduhan Apika untukku.
“Idih, bukan aku! Emang kamu nggak tahu kalau aku juga pernah melanggar peraturan. Sama juga kan seperti kalian? Lalu kenapa kalian menuduhku? Dan tuduhan kalian nggak masuk akal. Aku udah dengar. Hanya karena aku anak daerah? Ya nggak nyambunglah. Jangan-jangan malah ada diantara kalian! Coba aja tanya sama orang yang selalu semangat ngomongin mata-mata Bu Yusi. Nggak ada sejarahnya kanpenjahat ngakuin kejahatannya?” jawabku tak kalah dengan Apika tadi.
“Kok jadi aku sih? Kenapa kalian jadi melototin aku?” Apika kebingungan menerima tatapan semua anak. Dia juga kebingungan mencari tempat untuk muka pucatnya. Semua tersentak kaget dengan berubahnya muka Apika yang makin menguatkan tuduhanku.
“Belum tentu Dita juga. Dia kan ketemu Bu Yusi hanya untuk ngasih absensi. Memang mentang-mentang ketemu tiap hari, Bu Yusi langsung percaya gitu aja sama Dita? Nggak juga kan?” tambahku semangat.
Dita adalah satu-satunya anak XII IPS3 yang nggak pernah ikutan ngerumpi. Baginya ngomongin hal-hal nggak penting adalah buang waktu percuma. Makanya dia jarang ada di kelas. Sekalinya ada di kelas, bisa di pastikan dia baru saja bertemu Bu Yusi untuk ngasih absensi. Itu pun hanya sebentar. Waktunya dia habiskan untuk melahap buku terbaru di perpustakaan.
Suasana jadi tegang dengan perubahan muka Rinjani yang tak jauh berbeda dengan Apika. Apika semakin tersudut.
“Kamu, Jan?” tanya Dewi nggak percaya.
Tak kusangka Dewi masih ingat perbincangannya saat di kelas beberapa hari lalu. Sebenarnya aku iba melihat Apika dan Rinjani yang diam tersudut oleh keadaan. Semua memandang ke arah mereka berdua, kesal merasa dibohongi. Terlihat dari tatapan mata mereka bahwa mereka ingin menyangkal semua tuduhanku. Tapi tak berani mereka lakukan. Mungkin karena mereka telah melihat tatapan mataku yang jauh lebih ganas yang diliputi emosi. Dan aku membaca pikiran mereka. Semakin mereka membantah tuduhanku, maka merka akan semakin tersudut. Keputusan mereka kurasa sangat tepat. Memilih diam dan menerima kenyataan.
***
Lama kelamaan berita tentang mata-mata Bu Yusi hilang tak terdengar lagi. Semua rasa penasaran seakan-akan telah terjawab. Sejak saat itu, aku jadi pribadi pendiam. Ada kebiasaan baru dalam hidupku yang selalu ku lakukan setiap malam menjelang pergantian hari yaitu menulis catatan kecil. Tapi anehnya aku tak mengerti apa yang kutulis. Hanya ada tiga angka dan tiga huruf tertulis didalamnya. Hanya aku yang dapat membacanya. Tiap hari aku mengisi buku kecil sedikit tebal berwarna biru langit ini, hatiku terasa berat. Buku itu kudapat dari Bu Yusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar