MATA-MATA
Oleh
: Ummu Khoiroh Niswatun Ningsih
(1113046000161)
“Kamu tau nggak
Jan, siapa mata-mata Bu Yusi di kelas kita?” tanya Dewi yang duduk di bangku
paling kanan nomor dua dari depan.
“S i Catur ketua
kelas kita kali. Dia kan sering banget ketemu Bu Yusi buat ngasihin absensi
kegiatan,” Rinjani menyahut sambil tetap menyantap makanan ringan yang
dibelinya dari kantin sekolah.
“Kalau menurut
kamu, Ka?” tanya Dewi sambil menghampiri Apika.
“Ah, Mana aku
tahu. Tapi intinya tega banget tuh orang yang mau jadi mata-mata Bu Yusi. Mau
dikeroyok sama anak sekelas apa? Awas aja kalau ketahuan.” ancam si Apika si
super bawel di kelas XII IPS 3 ini.
Tak ada satu kata pun yang hilang dari
telingaku tentang semua pembicaraan mereka. Kebetulan aku sedang membaca
catatan untuk mata pelajaran setelah istirahat. Jadi dengan sengaja aku pun
menyimak pembicaraan mereka. Sama seperti mereka. Penasaran. Teringat kembali
dalam pikiranku tentang kata-kata Bu Yusi kemarin malam, saat kami mengadakan
acara rutin mingguan makan bersama di kedai “Kopi Rasta” yang kebetulan
pemiliknya adalah salah satu guru di sekolah kami.
“Seperti yang
kalian ketahui, di sekolah kita ini sudah mulai tidak kondusif lagi. Banyak
yang melanggar peraturan walau sudah sering ibu peringatkan. Ada yang membawa
benda tajam, ada yang keluar masuk kamar mandi secara bersamaan padahal mereka
berbeda jenis. Kalian tahu kan bahwa pergaulan harus berbatas. Yang paling
memprihatinkan adalah peristiwa bereddarnya foto-foto setengah telanjang dari
kelas kita. Peraturan dibuat untuk
ditaati bukan untuk dilanggar! Ibu kecewa pada kalian semua. Dan tolong
pikirkan kata-kata ibu tadi!.”
Semua diam
mendengar ceramah singkat Bu Yusi di kedai yang selalu kita sewa tiap hari
Kamis malam. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Mungkin sama seperti aku
yang sedang merenungi semua pelanggaran yang pernah kulakukan. Kecuali melihat
foto-foto Novi yang setengah telanjang yang menjadi buah bibir terhangat di
sekolah kami. Belum sampai semua sadar dengan lamunannya masing-masing, Bu Yusi
melanjutkan ceramahnya tadi.
“Sebagai wali
kelas di kelas ini, ibu minta maaf tidak bisa membantu kalian secara langsung
dan terus menerus.” Semua terlihat lega dan sedikit menyunggingkan senyum
kemenangan pertanda kebebasan akan segera dimulai begitu juga aku.
“Untuk itu, ibu
akan pilih dua orang diantara kalian yang akan menjadi mata-mata di kelas XII
IPS 3. Tapi hanya ibu dan dua orang itu yang tahu. Jangan pernah kalian
berpikir dua orang itu terbebas dari pantauan, karena satu sama lain dari
mereka pun tidak saling tahu. Jadi sebenarnya mereka berdua juga saling
memata-matai. Ibu harap kalian mengerti.” Lagi- lagi semua diam saling
memandang seakan-akan ada pertanyaan yang sama dari tiap sorot mata mereka.
“Orang itu kamu
ya?” dan bagi mereka yang mendapat tatapan aneh seakan tersirat jawaban “Bukan!
Bukan aku...sumpah.” setelah peristiwa makan malam bersama, gosip tentag
mata-mata Bu Yusi terus berkembang seakan menjadi alasan untuk saling tuduh dan
mencurigai.
“Aneh...”
batinku “Mereka berubah” tatapan mereka membuatku tersudut seakan ada tuduhan
kejam untukku.
Kusandarkan
kedua bahuku di punggung kursi tempat aku duduk minggu ini, di sekolah kami
tiap hari senin diadakan pemindahan tempat duduk untuk semua kelas. Hampir saja
aku lupa akan sesuatu yang sangat penting. Aku lupa membawa Modul Geografi dan
aku harus segera meminjamnya dari kelas lain. Aku bergegas ke kelas Meta.
Kelasnya berhadapan dengan kelasku. Ketika aku memanggilnya, ada perasaan aneh
dan nggak nyaman menyelinap dalam hatiku.
“Mau apa kamu?”
tanya Meta sinis hingga membuyarkan lamunanku. Hanya suaranya saja yang aku
terima. Seakan-akan dia tak mau melihatku. Aku mendengar temannya
berbisik-bisik nggak jelas. Tapi aku yakin korban pembicaraan mereka adalah aku
“Met, aku mau
pinjem Modul Geografi kamu. Boleh nggak?”
“Nggak boleh
buat kamu!” katanya sambil bergegas pergi dari tempat duduknya dan keluar dari
kelas. Aku takut mengambil Modul Geografinya yang tergeletak begitu saja di
atas mejanya. Aku tak menyerah.
“Ika...Ika...pinjemin
Modul Geografi kamu dong!” kataku sambil berlari mengejar Ika yang terlihat
melintas di depan kelas Meta. Yang sepertinya hendak menuju kantin. Ika
menengok sedikit.
“Ada apa? Mau
apa kamu?” katanya sinis.
“Mau pinjem
Modul Geografi kamu. Boleh kan?”
Kukuatkan hatiku
menerima muka Ika yang aku yakin dia tidak akan mempersembahkan modulnya
untukku. Dan aku makin yakin pasti jawaban yang akan meluncur dari mulut Ika
nggak jauh beda dari Meta tadi.
“Nggak boleh
buat kamu!”. Tepat sekali dugaanku. Aku tetap tak putus asa. Kutegur beberapa
teman yang sekelas dengan Meta dan Ika dengan tujuan yang sama. Tapi hasilnya
nihil. Aku mendapat perlakuan yang sama juga jawaban yang sama. Bahkan ada yang
tega mengeluarkan sindiran-sindiran pedas yang aku sendiri nggak tahu apa
maksud sindiran itu. Kini aku bena-benar kesal. Kuurungkan niat pinjam buku
milik teman-teman dari kelas XII IPS 5, juga milik teman-teman yang sering nongkrong denganku di kedai kopi tiap
pulang sekolah yang perlakuannya nggak jauh beda dengan yang lain. Kecuali
Nindi yang duduknya tepat di sebelahku. Dia masih punya hati. Dia bersedia
berbagi Modul Geografi saat pelajaran berlangsung.
***
“Aku salut sama
kamu...kamu...semua. Ternyata kamu bisa juga menahan orang daerah itu biar
nggak dapet pinjeman Modul Geografi. Kita mesti hati-hati sama dia! Jangan
sampai dia mendapatkan modul kalian semua, cuma alasan dia buat memata-matai
kita. Itu pun juga kalau kamu semua emang nggak mau dilaporkan ke Bu Yusi.”
Apika memprovokasi semua anak-anak di kelas dengan sempurna. Dan bodohnya semua
tesihir oleh bualan Apika si cerewet parah.
“Iya benar...
dia udah mulai aneh, makanya mumpung nggak ada orangnya aku sama Apika kasih
tahu kamu semua bahwa Aulia, orang daerah itu mata-mata Bu Yusi. Kurang baik
apa coba?” Rinjani dengan semangat membara menguatkan peryataan Apika.
“Nggak mungkin.
Aku tahu Aulia seperti apa, dia teman sebangku, teman sekelasku dai kelas X
sampai kelas XII. Dia bukan tipe orang yang bisa dijadikan mata-mata. Percaya
deh sama aku! Di kelas pun dia nggak aneh-aneh sama sekali kan? Biasa aja kok.”
Nindi menyanggah mentah-mentah provokasi Apika dan Rinjani.
“Terus siapa
dong?” tanya Apika penasaran yang juga di”iya”kan oleh seluuh peserta ngerumpi.
“Mana aku tahu.
Yaudah sih nggak usah dibahas lagi. Yang terpenting mulai sekarang kita harus
belajar untuk menaati peraturan. Jadi, ada nggaknya mata-mata di sini nggak
akan ngaruh buat kita. Buat apa juga ngabisin waktu ngomongin, kalau nggak
jelas gini.” kata Nindi lagi. Dia nggak rela lihat temannya difitnah,
diperlakukan tidak adil, bahkan dijadikan sebagai gunjingan.
***
Selang beberapa
hari setelah perang argumen antara Apika, Rinjani, dan Nindi, perkumpulan
antara ketua dan wakilnya alias Apika dan Rinjani serta semua anggotanya termasuk
Nindi berlangsung kembali. Aku yang baru saja selesai mengerjakan tugas di
taman sekolah, tempat berkumpulnya siswa-siswi yang membutuhkan untuk me-refresh pikirannya, ingin ikut nimbrung
di kerumunan mereka. Aku merasa aneh karena pintu kelas tertutup rapat. Baru
aku memegang gagang pintu hendak masuk, aku mendengar sesuatu.
“Sekarang aku
yakin mata-mata itu adalah Dita dan Aulia. Aku udah melakukan penelitian. Bu
Yusi setiap hari ketemu dengan si Dita dan Aulia. Mereka orang daerah. Sifat
orang daerah itu tunduk dan patuh. Selain itu Aulia juga jarang melakukan
pelanggaran.”
Aku kaget
mendengar semua itu. Kuurungkan niatku bergabung dengan kerumunan mereka yang
terlihat jelas dari jendela kelas yang besar. Tubuh ini serasa tak bertulang
lagi. Aku baru mendapat jawaban atas anehnya perlakuan mereka padaku.
“Kenapa sih
kalian semua masih aja ngomongin masalah nggak jelas ini? Terutama kamu... dan
kamu...!” Nindi menunjuk Rinjani dan Apika. Tak tahan, dia pun pindah dari
tempat kerumunan itu.
Aku senang mendengar
sanggahan Nindi yang masih mau membelaku. Dan kini aku memberanikan diri untuk
masuk ke kelas yang tertutup rapat itu.
“Lagi pada
ngomongin apa sih? Ikutan dong.” Aku membaur dengan mereka dan pura-pura nggak
tahu.
“Ngomongin
kamu!” kata Apika ketus.
“Udah deh kamu
ngaku aja! Kamu kan mata-mata Bu Yusi itu? Iya kan?!”
“Iya ngaku aja
kamu!” semua serentak menyudutkankudan menguatkan tuduhan Apika untukku.
“Idih, bukan
aku! Emang kamu nggak tahu kalau aku juga pernah melanggar peraturan. Sama juga
kan seperti kalian? Lalu kenapa kalian menuduhku? Dan tuduhan kalian nggak
masuk akal. Aku udah dengar. Hanya karena aku anak daerah? Ya nggak
nyambunglah. Jangan-jangan malah ada diantara kalian! Coba aja tanya sama orang
yang selalu semangat ngomongin mata-mata Bu Yusi. Nggak ada sejarahnya kanpenjahat ngakuin kejahatannya?” jawabku tak
kalah dengan Apika tadi.
“Kok jadi aku
sih? Kenapa kalian jadi melototin aku?” Apika kebingungan menerima tatapan
semua anak. Dia juga kebingungan mencari tempat untuk muka pucatnya. Semua
tersentak kaget dengan berubahnya muka Apika yang makin menguatkan tuduhanku.
“Belum tentu
Dita juga. Dia kan ketemu Bu Yusi hanya untuk ngasih absensi. Memang
mentang-mentang ketemu tiap hari, Bu Yusi langsung percaya gitu aja sama Dita?
Nggak juga kan?” tambahku semangat.
Dita adalah
satu-satunya anak XII IPS3 yang nggak pernah ikutan ngerumpi. Baginya ngomongin
hal-hal nggak penting adalah buang waktu percuma. Makanya dia jarang ada di
kelas. Sekalinya ada di kelas, bisa di pastikan dia baru saja bertemu Bu Yusi
untuk ngasih absensi. Itu pun hanya sebentar. Waktunya dia habiskan untuk
melahap buku terbaru di perpustakaan.
Suasana jadi
tegang dengan perubahan muka Rinjani yang tak jauh berbeda dengan Apika. Apika
semakin tersudut.
“Kamu, Jan?”
tanya Dewi nggak percaya.
Tak kusangka
Dewi masih ingat perbincangannya saat di kelas beberapa hari lalu. Sebenarnya
aku iba melihat Apika dan Rinjani yang diam tersudut oleh keadaan. Semua
memandang ke arah mereka berdua, kesal merasa dibohongi. Terlihat dari tatapan
mata mereka bahwa mereka ingin menyangkal semua tuduhanku. Tapi tak berani
mereka lakukan. Mungkin karena mereka telah melihat tatapan mataku yang jauh
lebih ganas yang diliputi emosi. Dan aku membaca pikiran mereka. Semakin mereka
membantah tuduhanku, maka merka akan semakin tersudut. Keputusan mereka kurasa
sangat tepat. Memilih diam dan menerima kenyataan.
***
Lama kelamaan
berita tentang mata-mata Bu Yusi hilang tak terdengar lagi. Semua rasa
penasaran seakan-akan telah terjawab. Sejak saat itu, aku jadi pribadi pendiam.
Ada kebiasaan baru dalam hidupku yang selalu ku lakukan setiap malam menjelang
pergantian hari yaitu menulis catatan kecil. Tapi anehnya aku tak mengerti apa
yang kutulis. Hanya ada tiga angka dan tiga huruf tertulis didalamnya. Hanya
aku yang dapat membacanya. Tiap hari aku mengisi buku kecil sedikit tebal
berwarna biru langit ini, hatiku terasa berat. Buku itu kudapat dari Bu Yusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar